Cipetir, Misteri Titanic dan Revolusi Komunikasi - bagbudig

Breaking

Sunday, January 19, 2020

Cipetir, Misteri Titanic dan Revolusi Komunikasi

Oleh: Dida Hudaya

Dari dataran tinggi Priangan tertoreh suatu catatan panjang yang berhubungan dengan budaya dan peradaban manusia.

Catatan tersebut menjadi penting dikarenakan dari sebidang tanah yang dikenal dengan PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Sukamaju, Afdeling III Cipetir dihasilkan budidaya yang sangat spesifik; yakni Gutta Percha.

Tanaman Gutta Percha adalah tumbuhan hutan yang tersebar di pegunungan Kepulauan Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia, dan tergolong kepada Savotaceae.

Keluarga Savotaceae ini terdiri dari berpuluh jenis, di antarnya adalah suku Palaquium, yang mana dari suku ini yang terbaik adalah jenis Palaquium Oblongifolium Burck dan terdiri dari beberapa varietas diberi nama sesuai tempat tumbuh asalnya, seperti Sumatraensis, Bornensis dan Malayaensis.

Di Jawa Gutta Percha yang disebut Kayu Nagasari dianggap sebagai salah satu pohon bertuah yang berkhasiat sebagai anti tenung.

Gutta Percha di beberapa daerah di Indonesia disebut dengan beberapa nama yang berbeda seperti Balam Bakulo (Palembang), Balam Pucung (Kubu), Nyatoh Darat (Bangka), Nyatoh Pisang (Bangka Belitung), Balam Pucung, Nyatoh Terung, Pulai Pipit (Minangkabau), Nyatoh Terung (Lampung), Nagasari (Jawa).

Gutta Percha mempunyai pohon yang besar dengan ketinggian hingga 30 M, dan diameter mencapai 120 Cm. Batangnya lurus, bulat torak dengan banir tipis, lebar. Kayunya coklat kemerahan, mengkilat, berurat indah dan ringan. Buahnya hijau memanjang dan berisi biji yang memanjang pula.

Gutta Percha banyak tumbuh di hutan tropika di dataran rendah sampai ketinggian 1500 M DPL. Seringkali tumbuhan ini didapati tumbuh di hutan-hutan yang berawa. Perkembangbiakan pohon ini dengan menggunakan biji, namun dapat juga diperbanyak dengan menggunakan stek.

Jajaran Pimpinan Land Caoutchoucs Bedrijf  Tjipetir

Pemanfaatan Gutta Percha antara lain kayunya yang banyak digunakan untuk perabot di dalam rumah, lantai, dan mebel. Kayunya kadang-kadang dipakai juga untuk membuat perahu. Sedangkan buahnya (Palaquium rostratum) dapat dimakan dan bijinya mengandung lemak yang banyak untuk memasak.

Selain itu bunga Gutta Percha dapat dimanfaatkan sebagai obat anti diare, aromatik, ekspektoran, gangguan jiwa. Minyak biji untuk lampu, obat koreng, encok, kulit menggerisil, biji untuk eksim, urat darah membesar, benangsasi untuk sakit panas.

Oleh masyarakat Jawa, kayu Nagasari diyakini sebagai salah satu kayu yang bertuah yang bermanfaat untuk keselamatan, kewibawaan, pengobatan, perlindungan terhadap orang jahat/jin jahat, binatang berbisa, anti tenung. Karena itu tidak jarang pohon ini ditemui tumbuh di area pemakaman kuno atau tokoh-tokoh sejarah.

Tahun 1856 hingga 1896, penggunaan Gutta Percha di dunia untuk insulasi kabel dasar laut sudah mencapai 16.000 ton yang direntangkan sepanjang 184.000 mil laut di sekitar pantai Benua Amerika, Eropa, Asia, Australia, pantai timur dan barat Afrika, dan sepanjang antar samudera.

Kegunaan utama pada saat ini adalah untuk instalasi kabel dasar laut, pelapis luar bola golf, campuran gips untuk pembalut tulang, perawatan gigi dan pembuatan gigi palsu.

Karena melihat prospek komersial yang baik , pada tahun 1885, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penelitian dengan cara menanam beberapa varietas pohon Gutta Percha, untuk kemudian diseleksi di Kebun Cipetir. Pada saat itu Kebun Cipetir adalah kebun percobaan yang menjadi bagian dari Kebun Raya Bogor. Kebun Cipetir tersebut, saat ini menjadi Afdeling III PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Sukamaju, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.

Lanschaap Tjipetir

Sekitar tahun 1901, karena peningkatan kebutuhan akan Gutta Percha, dan merasa sudah cukup berpengalaman, maka Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun Perkebunan Negara Gutta Percha Cipetir .

Mulai 1901 hingga tahun 1906, terjadi penambahan seluas 1000 ha, yang kemudian pada tahun 1919 penanaman Gutta Percha diperluas lagi 250 ha.

(Dari berbagai sumber & Dokpri JSS)

Sumber tulisan dan foto: Dida Hudaya

No comments:

Post a Comment