Soal Rohingya, Provokasi dan Kemanusiaan Kita - bagbudig

Breaking

Friday, December 8, 2023

Soal Rohingya, Provokasi dan Kemanusiaan Kita

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 8 Desember 2023

Tulisan ini tidak memiliki tendensi apa pun, kecuali pada satu hal, yaitu pada kemanusiaan kita yang akhir-akhir ini kian tergerus oleh narasi-narasi rasialisme. Kita seperti terjebak pada stigmatisasi yang entah dari mana ia bermula. Kondisi demikian sama sekali bertolak belakang dengan tabiat kita dahulu yang dikenal ramah pada tamu-tamu yang datang—yang kemudian menjadi satu kearifan yang dipuji banyak orang. Kearifan yang dulu kita berbangga dengannya, kini telah repas diempas api kemarahan—yang lagi-lagi tak jelas siapa yang memulai. Dengan kondisi demikian tentunya kita patut berduka, sebab kita telah kehilangan sisi terdalam dari kemanusiaan kita.

Dalam tulisanini saya tidak ingin mempercakapkan apakah sikap demikian layak atau tidak danbiarlah penilaian itu muncul dari kita sendiri. Saya hanya ingin mengomentarisatu hal, tentang perubahan sikap kita; tentang kemanusiaan kita yang hilang.Kemanusiaan yang lenyap ditelan narasi-narasi kebencian yang terus berkecambah.Lenyap seperti api yang padam, tak bersisa. Kasih sayang yang dulunya mendorongkita untuk menerima tamu-tamu, kini berganti dengan penolakan membabi buta yangdiiringi kutukan-kutukan.

Di mediasosial, penolakan terhadap pengungsi Rohingya semakin masif dan melibatkanbanyak orang dari berbagai latar belakang. Video-video bullying terhadap mereka laku keras dan diminati hampir segala usiayang kemudian menjadi pemantik bagi munculnya penolakan dan pengusiran terhadapetnis yang dulunya diterima dengan baik layaknya saudara kandung. Berbagaiargumentasi dikonstruksi dengan apik dan dirasionalisasi. Alasan pun dicari dengansegenap tenaga, daya dan upaya; dengan ketekutan; agar pengusiran memilikilegitimasi.

Beberapa sikap yangdianggap “buruk” dari pengungsi ini dikemas dan dianalisis dengan metodecocoklogi, dan lalu “provokasi” pun menjalar bagai api. Akhirnya framing pundimulai; bahwa mereka malas, suka buat rusuh, kotor, tidak tahu balas budi danembel-embel lainnya yang bermuara pada satu konklusi bahwa mereka memang layakdiusir. Akibatnya, stigma pun terbentuk dan narasi-narasi negatif terhadappengungsi Rohingnya seketika menjadi apriori yang harus diterima tanpa reserve.

Jika sudahdemikian, siapa pun yang memiliki persepsi berbeda akan digulung oleh kemarahanyang sama bahwa kah hana meufom, kah hanakaturi awaknyan, kacok kapuwo u rumoh kah dan umpatan-umpatan senada gunamenegasikan pembelaan-pembelaan terhadap pengungsi sekaligus menampikkeberadaan mereka sebagai kaum pelarian yang butuh perlindungan. Diakui ataupun tidak, ini adalah kegilaan yang tidak seharusnya kita emban. Namun, apaboleh buat, kewarasan kita telah hanyut dan tenggelam ke dasar laut. Kita telahmenjadi sosok lain, sosok yang kehilangan kasih sayang akibat stigmatisasi dannarasi-narasi provokatif—yang mungkin tidak pernah kita sadari.

Kita menjadibangsa pelupa tentang bagaimana kita dahulu—ketika perang berkecamuk—berlarianmencari perlindungan, bahkan ke tanah Jawa, tanah yang dalam kesadaran kolektifkita masa itu adalah “musuh.” Kita juga lupa bagaimana kita mengiba ketikagempa tsunami menghantam daratan dan menggulung segala yang hidup. Kita lupabagaimana kita menyemak di kamp-kamp pengungsian dan lalu orang-orang datangmenolong tanpa pernah bertanya “Apa agamamu” dan “Apa bangsamu.” Orang-orangyang tak kita kenal itu—yang datang memberi harapan—juga tak pernah bertanya “Apakahkamu malas?” atau “Apakah kamu diselundupkan?” Namun, mereka membantu denganpenuh kerelaan, walau kemudian kita juga melupakan mereka.

Saya pikir ada yang salah dengan pikiran kita sekarang ini. Diakui atau pun tidak, stigmatisasi yang saat ini kita sematkan pada pengungsi Rohingya acapkali hanyalah generalisasi dari sikap beberapa individu yang lalu kita asosiasikan pada etnis secara keseluruhan. Tentunya pola semacam ini sama sekali tidak adil karena menafikan karakteristik masing-masing individu yang sudah pasti berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Kita terlalugegabah. Kita lupa bagaimana karakter kita sendiri ketika menjadi pengungsi dimasa lalu. Bantuan sudah di depan mata tapi kita enggan beranjak dan laluberkata pada pembawa bantuan, Kaba lajukeuno, nyan tugas awakkah. Bayangkan, kita menghardik orang yang menolongkita, tapi mereka tetap saja tersenyum. Kenapa? Karena mereka tahu, pengungsi tidaksaja menderita fisik, tapi juga mengalami trauma yang membuat mentalnya tidakberada pada jalur yang benar-benar normal; ada kecemasan, kegelisahan dankebosanan yang membuat sikap mereka terkadang menjadi lain.

Saya sendiriingat betul ketika pada tahun 2000 terlibat dalam penanganan pengungsi konflikyang menumpuk di Darussalam. Beberapa di antara mereka tidak bisa diatur, sukamengamuk dan marah-marah tanpa alasan yang jelas. Namun, setelah ditelititernyata mental mereka tertekan karena tidak bisa melakukan hubungan seksualdengan istri mereka di tenda-tenda yang ditempati banyak orang. Akhirnya kamimenyediakan satu rumah kosong agar mereka bebas naik ke bulan, dan lalu kemarahanyang membakar amarahnya berubah menjadi senyuman yang bermekaran. Ini bukancerita cabul, tapi hanya hendak menegaskan bahwa para pengungsi, apalagi pengungsiperang, sudah pasti menanggung banyak beban yang membuat emosi mereka kadangterganggu. Jangan kemudian sikap mereka ini kita timbang dengan keadaan kitayang sekarang hidup dalam damai. Tidak adil.

Karena itu tidak perlu melakukan labeling bahwa mereka jahat, kurang ajar dan sengaja lari untuk mencari keuntungan, untuk menguasai tanah kita dan lalu mengusir kita dari kampung kita sendiri. Prasangka demikian terlalu jauh, terlalu picik dan tak sejalan dengan ajaran endatu kita. Namun, begitu saya tidak mengatakan bahwa mereka harus ditampung sampai kiamat, harus diberi tanah atau dijadikan warga tempatan. Akan tetapi, hanya sekadar mengajak kita semua untuk kembali menyalakan rasa kemanusiaan kita yang sebentar lagi akan hirap, diserap narasi provokasi yang bertubi-tubi.

Sumber Foto. NYT

No comments:

Post a Comment