Sabun Lolo dan “Budaya” Kita - bagbudig

Breaking

Wednesday, November 16, 2022

Sabun Lolo dan “Budaya” Kita

Bireuen, 16 November 2022

Baru-baru ini publik Aceh dihebohkan dengan sebuah video viral yang memperlihatkan seorang perempuan sedang mempromosikan produk sabun bagi laki-laki. Menurut sejumlah media, sosok dalam video tersebut berinisial CB, seorang selebgram Aceh yang tengah naik daun. Video ini seketika menjadi heboh karena produk sabun yang dipromosikan terbilang unik dan menggelitik. Bagi sebagian pihak, video dimaksud bisa menjadi hiburan di tengah mahalnya harga BBM. Sementara bagi sebagian pihak lainnya, video tersebut justru dianggap kurang etis karena si promotor menggunakan narasi vulgar dan kurang mendidik dalam promosinya.

Alhasil, video promosi sabun yang diperankan selebgram Aceh itu pun direspons dengan berbagai komentar dari netizen. Bagi para penggemar, apa yang dilakukan CB adalah “biasa saja” sebab selama ini narasi-narasi yang muncul di video CB tidak jauh berbeda dengan video viral itu. Artinya, CB memang kerap menampilkan dirinya “apa adanya” yang dalam bahasa Aceh disebut dengan kiban crah meunan beukah (bagaimana retak begitu pula pecah). Namun bagi masyarakat luas yang tidak menjadi penggemar CB, tentunya mereka punya pendapat lain, bahwa CB telah melakukan sesuatu yang “tidak pantas” dan tidak sesuai dengan kearifan lokal dan adat istiadat Aceh. Akhirnya CB pun dikecam oleh sebagian publik.

Tidak hanya publik, promosi “sabun lolo” juga mendapat kecaman dari Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. Faisal Ali. Menurutnya setiap masyarakat Aceh, termasuk selebgram wajib memperhatikan etika, adat dan budaya Aceh. Ketua MPU juga menyesalkan tindakan selebgram tersebut karena tidak menggunakan bahasa yang santun dalam videonya. Menurutnya, tidak mengapa mencari uang asal dilakukan dengan cara-cara yang halal dan bukan menghalalkan segala cara.

“Budaya” Kita

Penggunaan terminologi “budaya” di sini tentunya tidak dimaksudkan sebagai kebudayaan dalam pengertian maenstream, tapi hanya sekadar kata ganti dari kebiasaan sebagian kita yang terus diulang-ulang sehingga menjadi bagian dari karakteristik. Dalam konteks inilah kata “budaya” ini digunakan. Penjelasan ini penting untuk menghindari “gugatan” dari budayawan bahwa apa yang nantinya kita sebut sebagai “budaya” pada hakikatnya bukanlah budaya yang mereka pahami.

Dalam konteks viralnya video CB yang kemudian mendapat kecaman dari sejumlah pihak, seandainya kita mau jujur, sebenarnya apa yang dilakukan CB adalah “lumrah” belaka, sebab dalam ruang berbeda, sebagian kita mungkin juga melakukan hal serupa. Dengan kata lain, narasi “kurang senonoh” yang keluar dari mulut CB hampir saban hari kita ucapkan sendiri, baik di ruang tertutup maupun di ruang terbuka. 

Di media sosial misalnya, kita bisa dengan mudah menemukan komentar-komentar bernada caci maki terhadap sesuatu yang tidak kita senangi. Seolah kata-kata makian telah menjadi satu-satunya cara untuk merespons sesuatu. Bahkan dalam konteks Aceh, ada sebagian oknum masyarakat yang menganggap makian atawa “teumeunak” sebagai identitas Keacehan. 

Tidak saja masyarakat awam, praktik serupa juga kerap dilakukan oleh beberapa oknum tokoh agama di Aceh, di mana minbar dan panggung dakwah tak jarang berubah fungsi menjadi medium untuk mengisahkan soal-soal “selangkangan” plus caci-maki kepada kelompok lain. Hal ini dapat dengan mudah didapati di sebagian tempat dan bahkan sebagiannya terekam dengan sangat baik di media sosial semisal YouTube. Uniknya ketika cerita-cerita “selangkangan” itu diumbar oleh oknum tokoh agama, para pendengar bersorak-sorai tanda gembira. Demikian pula ketika caci-maki menggema pun disambut dengan penuh euforia sembari berucap bereh that teungku nyan, langsong geuteunak (mantap sekali teungku itu langsung dicaci). Ironisnya ada pula oknum tokoh agama yang menggunakan kata-kata tak pantas itu di dalam masjid yang notabene rumah Tuhan.

Dalam konteks kekinian, jika kita rajin berkunjung ke media sosial bernama “Tiktok” fenomena serupa juga menyemak di sana. Bahkan ada beberapa pengguna Tiktok yang khusus membuat “konten teumeunak” yang kemudian mendapat komentar dari sebagian kalangan yang juga memiliki kepakaran dalam teumeunak. Uniknya akun-akun serupa ini memiliki jumlah follower yang fantastis. Artinya apa? Artinya sebagian kita memang gemar dengan perilaku demikian, meskipun kita segan dan malu-malu untuk mengakuinya secara terbuka. Sebagian kita memang cenderung menampilkan kesalehan di ruang publik, tapi memendam segudang kesalahan dalam ruang-ruang gelap. Atau jangan-jangan secara diam-diam kita juga menjadi penggemar CB?

Dari sudut pandang ini, apa yang dilakukan CB sebenarnya hanyalah replika atau mungkin miniatur dari perilaku sebagian kita, di mana memaki (teumeunak) telah kita anggap sebagai budaya yang tidak hanya dipraktikkan oleh awam, tapi juga oleh sebagian oknum orang-orang terdidik hanya untuk mendapatkan tepuk tangan dari audiens. Jika demikian, lantas apa yang salah dengan CB? Apakah adat istiadat dan kearifan lokal menjadi penting untuk dijadikan argumen mengecam CB, sementara praktik caci maki terus membudaya di tengah kita?

Namun demikian, kita tetap mendukung apa yang disampaikan MPU Aceh bahwa konten yang dibuat CB adalah sesuatu yang tidak patut, apalagi di ruang publik. Cuma saja, kita berharap agar MPU Aceh juga tegas kepada oknum-oknum tokoh agama yang kerap memamerkan caci-maki di ruang publik, apalagi di masjid dan ruang-ruang pengajian yang tentunya harus dihormati. Jika ini sudah dilakukan MPU, maka argumen “menyalahi adat istiadat” dalam menolak tindakan semisal CB menjadi relevan digunakan.

Ilustrasi: epicpxls

No comments:

Post a Comment