Sepak Bola Bukan Agama - bagbudig

Breaking

Wednesday, December 14, 2022

Sepak Bola Bukan Agama

Bireuen, 14 Desember 2022

Menuju detik-detik terakhir, semangat para pecinta bola terus bergelora. Pertandingan demi pertandingan tak pernah dilewatkan meskipun harus bergadang dan menumpang mata. Bagi pecinta bola, event Piala Dunia yang diselenggarakan empat tahun sekali adalah momentum penting yang tidak bisa disia-siakan begitu saja. Piala Dunia tidak hanya sekadar menjadi tontonan untuk menghabiskan waktu belaka, tapi ia akan melahirkan cerita, kisah heroik dan bahkan anekdot yang akan diceritakan berulang-ulang hingga Piala Dunia berikutnya.

Selain itu, ajang nonton bareng Piala Dunia juga kerap menghadirkan kisah-kisah tersendiri yang terkadang berada di luar nalar. Aksi pukul meja, teriakan histeris dan bahkan aksi baku hantam antarpendukung tak jarang menjadi “hiburan” tersendiri dalam meramaikan event Piala Dunia. Fanatisme para pendukung tim idola begitu kentara dan bahkan vulgar. Ia telah menghadirkan kemeriahan yang memiliki keunikan tersendiri walau terkadang dihiasi berbagai insiden menggelikan.

Tidak sekadar itu, Piala Dunia yang kali ini diselenggarakan di Qatar yang notabene salah satu negara Muslim juga turut menambah histeria sebagian pecinta bola. Histeria ini bahkan menyasar mereka-mereka yang sebelumnya tidak begitu menaruh perhatian pada dunia bola. Histeria dan fanatisme itu kian menyusup dan menghentakkan kesadaran identitas yang sulit dimengerti. Isu agama pun menggeliat menggelinding seiring dengan guliran bola di lapangan. Pengamat dadakan pun bermunculan bersama narasi-narasi religi yang sulit dipahami.

Kemenangan Arab Saudi di fase awal yang mengalahkan Argentina segera saja ditafsirkan sebagai wujud “dukungan Tuhan” atas pemain-pemain tanah Arab. Demikian pula dengan kekalahan Arab Saudi oleh Meksiko di fase berikutnya juga ditakwil oleh sebagian pengamat dadakan sebagai “hukuman Tuhan” sebab Arab Saudi anti maulid. Narasi-narasi berbau agama ini kian meletup dan terbang liar entah ke mana.

Bagi pengamat dadakan, fenomena demikian menjadi menarik untuk didiskusikan dan diulang-ulang dalam setiap kesempatan. Keberhasilan Maroko menuju semi final setelah mengalahkan Portugal juga tak lepas dari tafsir religi yang membingungkan. Yang menjadi perbincangan bukan lagi skill dan semangat tim Maroko yang begitu bergelora, tapi topik segera beralih pada “dukungan Tuhan.” Bahkan uniknya ada yang mencoba memprediksi bahwa pemain Maroko akan menjadi pengganti Thariq bin Ziyad di era kejayaan Islam masa lalu dengan menyebut kemenangan Maroko sebagai awal kebangkitan Islam.

Tentu tidak ada yang melarang untuk menyebarkan narasi-narasi demikian ke muka publik, namun ada hal prinsipil yang tidak bisa diabaikan begitu saja, bahwa sepakbola adalah sebuah permainan yang berada di ruang sekular (duniawi), sementara agama adalah sesuatu yang kudus dan sakral. Keduanya tidak memiliki kaitan apa pun, baik secara substantif maupun dalam realitas historis. Dengan demikian, mencampur-aduk sepakbola dan agama adalah sesuatu yang absurd dan bahkan konyol. Bagaimana mungkin sepakbola yang berada dalam ranah duniawi bisa bercampur dengan agama yang notabene suci?

Namun demikian, kita tidak menafikan bahwa Piala Dunia 2022 di Qatar memang memberikan satu cerminan Islam yang sebenarnya sebagai agama yang humanis dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Islam juga agama yang bisa mempersatukan perbedaan-perbedaan antar ras, etnis dan golongan dalam satu ukhuwah. Dalam hal ini, kampanye tentang wajah Islam yang dilakukan Qatar memang mesti diapresiasi di tengah gelora Islamopobhia di Barat dan Eropa. Selain itu, kita juga terpesona dengan keharuan yang dihadirkan pemain Maroko yang mencurahkan kegembiraan dengan memeluk ibu mereka, satu gambaran kasih sayang abadi di tengah euforia ala hedonisme yang dipamerkan pemain-pemain Eropa.

 Tapi, “menyeret-nyeret” nama Tuhan dalam pertandingan tetap saja absurd.

Bagi masyarakat Aceh, mungkin masih ingat dengan “tragedi” yang dialami Persiraja beberapa waktu lalu yang melakukan ziarah ke makam Syiah Kuala sehari sebelum pertandingan melawan PSMS Medan. Kala itu mereka menyebut ritual ziarah tersebut sebagai upaya mendapatkan keberkahan agar bisa menang melawan PSMS. Namun yang terjadi kemudian Persiraja dinyatakan kalah pasca aksi pembakaran di Stadion Dimurtala.

Lalu bagaimana jika seandainya Persiraja menang dan insiden tidak terjadi? Tentu akan ada sebagian kalangan yang menafsirkan kemenangan Persiraja sebagai wujud keberkahan yang didapatkan dari makam Syiah Kuala. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya, terjadi insiden dan Persiraja kalah. Dalam kondisi demikian patutkah kita menyalahkan Syiah Kuala, seorang ulama besar yang sama sekali tidak mengenal sepakbola? Patutkah ia disalahkan atas kekalahan Persiraja yang baru saja berziarah ke sana?

Tentu pertanyaan ini membingungkan. Tapi, di sini kita bisa menyimpulkan bahwa menyeret-nyeret agama yang suci dalam ruang sekular adalah tindakan lebay dan bahkan konyol. Karena itu, biarkan sepakbola hanya menjadi sekadar hiburan dan permainan belaka tanpa menghubungkannya dengan agama karena memang keduanya tidak kompatibel.

Adapun penggunaan spirit agama atau pun dukungan kepada pemain dan negara-negara Muslim tentu tidak menjadi masalah dan bahkan “harus” sebagai wujud “solidaritas identitas” yang mana hal serupa juga dilakukan oleh identitas-identitas lain. Dengan kata lain, mendukung Maroko agar beroleh kejayaan sebagai juara Piala Dunia 2022 adalah wajar agar dunia sepakbola tidak lagi didominasi oleh Eropa dan Amerika Selatan tapi bisa berbalik ke belahan dunia Asia dan Afrika. Dukungan dengan argumen semacam ini tentu tidak aneh dan bisa dimengerti sejauh tidak membawa sentimen agama dalam pertandingan apalagi sampai mengaitkannya dengan kebangkitan Islam. Sebab jika Maroko nantinya kalah pastinya kita tidak akan sepakat jika kekalahan itu kemudian disebut sebagai simbol kemunduran Islam, bukan?

Dan sekali lagi, sepakbola bukan agama!

Ilustrasi: Vintagefootball

No comments:

Post a Comment