Mengubah Yang Bukan, Menjadi Milik Kita - bagbudig

Breaking

Sunday, June 19, 2022

Mengubah Yang Bukan, Menjadi Milik Kita

Ketika mendengarkan lagu, membaca buku, curhatan teman, kata-kata motivasi, ceramah, omelan bahkan tangisan dan sejenisnya pada dasarnya itu semua bukanlah milik kita. Itu semua; seperti nyanyian, adalah milik penyanyi. Tulisan yang dibaca milik penulis. Curhatan milik teman dan seterusnya. Ketika itu semua sampai atau terdengar di telinga dan terproses dalam jiwa maka sejauh mana input tersebut dapat menjadi milik kita, berdaya guna untuk kehidupan kita, itulah proses mengubah yang bukan, menjadi milik kita.

Nyanyian merupakan seruling jiwa. Melalui itu manusia mengekspresikan rasa jiwa. Tangis dan tawa, galau, bergairah bahkan marah dapat dipicu oleh nyanyian. Tapi yang jelas, rasa tak pernah berdusta. Lagu adalah milik penyanyi, lebih tepatnya milik pencipta, walau tak jarang penyanyi bukan pencipta. Tapi fokus tulisan ini bukan pada hal itu.

Lagu (nyanyian) bukan milikku, tapi sejauh mana itu dapat berdaya guna bagi eksistensiku saat ini? Membaca, tulisan yang dibaca adalah milik penulis, tapi sejauhmana ia berdaya guna untuk eksistensiku saat ini?

Tulisan kali ini akan difokuskan untuk membahas dua hal tersebut yaitu nyanyian dan bacaan. Sejauh mana nyanyian berdaya guna? Sebatas hiburan? Jika sebatas ini maka tepat seperti ibarat buah kelapa yang hanya dimanfaatkan tempurungnya saja untuk dibuatkan asbak rokok atau sendok gulai tradisional, sedangkan isi (daging) dan air kelapa tidak dimanfaatkan. Tidak sebatas hiburan, lagu sebenarnya dapat diberdayakan sebagai bahan refleksi kehidupan, belajar dari pengalaman penyanyi atau pencipta bahkan ada lagu-lagu tertentu yang dapat menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan. Saya tidak ingin menunjukkan contoh konkretnya lagu apa, tapi fakta sejarah para ulama dan pujangga zaman dulu menjadikan nyanyian sebagai media yang efektif dalam penanaman nilai-nilai pendidikan kehidupan dapat menjadi argumentasi bahwa nyanyian itu tidak sebatas hiburan melainkan juga pendidikan. Dari sini, ketika jiwa seseorang disentuh oleh nyanyian maka sejauhmana bait-bait dan liriknya itu berguna bagi orang tersebut. Bait-bait dan lirik bukan milikku tapi makna dan rasa dari itu adalah milikku. Ketika makna dan rasa diberdayakan semaksimal mungkin maka dapat diilustrasikan melalui kalimat “batu jadi permata” dialah Sang Alkemis sejati.

Tulisan yang dibaca juga demikian. Tulisan milik penulis. Makna yang muncul adalah milik pembaca. Tulisan yang dibaca semaksimal mungkin harus dapat berdaya guna sebagai bahan refleksi kehidupan. Kesadaran bahwa penulis bukan aku yang membaca atau sebaliknya sangatlah penting. Dengan itu, pembaca tidak terjebak pada kata-kata yang tertulis melainkan dapat mengontekstualisasikan dalam kehidupannya. Kata-kata yang tertulis tentunya berguna, akan tetapi jika terjebak di situ maka sangatlah berbahaya, karena kata-kata tersebut muncul dari jiwa penulis dan penulis bukan kita yang membaca. Hal ini harus disadari betul, karena kehidupan yang dijalani penulis, yang kemudian melahirkan karya tersebut, tidaklah sama dengan kehidupan yang kini dijalani pembaca.

Suatu tulisan berdaya guna ketika pembaca mampu mengubah, menstranformasi kata-kata di atas kertas menjadi refleksi kehidupannya di sini dan saat ini. Menghafal itu untuk anak-anak. Jika keutamaan ada pada menghafal maka MP3 dan Tape Recorder lebih utama ketimbang manusia.

Dalam keseharian, apa yang didengar, dilihat, dirasa dan sebagainya tidak hadir sebagai suatu kebetulan. Itu semua bermakna dan memuat nilai-nilai pendidikan. Itu semua bukan milik kita. Namun, itu semua akan sia-sia jika jiwa seseorang tidak atau belum mampu menstranformasikannya menjadi miliknya sehingga berdaya guna. Mengubah yang bukan menjadi milik kita adalah tugas Alkemis, tidak ada yang sia-sia di tangan Alkemis. Batu dapat menjadi logam mulia, racun dapat menjadi obat, sampah menjadi barang berharga dan pada akhirnya semua tidak ada yang sia-sia.

No comments:

Post a Comment