Senja Kala Mengaji Senja di Aceh - bagbudig

Breaking

Tuesday, July 26, 2022

Senja Kala Mengaji Senja di Aceh

Oleh: Khairi Maulidya

Kala pengajian senja di daerah lain dihampiri senja, bahkan tidak sedikit yang lenyap ditelan hitamnya awan malam, Aceh seharusnya berada di puncak orbit sinar pelitanya.

Mengapa? Karena penyelenggaraan pendidikan Islam untuk anak-anak Aceh sudah menyejarah. Tiga jenis pendidikan tradisionalnya, yakni meunasah, rangkang, dan dayah, mengundang daya magnet dari berbagai peneliti dunia. Adalah C. Snouk Hurgronje dalam karya lawasnya berjudul “The Atjehnese” memberikan atensi khusus mengenai itu. Meskipun tidak absen dari berbagai kritik, ketiga tonggak pendidikan Islam Aceh tersebut memancarkan pesona yang distingsi.

Namun kini senyatanya sudah berbeda. Pendidikan Islam tradisional Aceh dihadapkan pada tuntutan modernitas. Modernisasi meniscayakan bermetamorfosisnya ketiga tonggak pendidikan Islam Aceh, dayah menjadi pesantren, sedangkan rangkang dan meunasah berubah menjadi Taman Pendidikan Alquran (TPA). Meskipun begitu, pengelolaan pendidikan Islam di Aceh tetap saja menghadapi sejumlah masalah. 

TPA Nurul Hafizah yang berada di Gampong Teungoh Kota Langsa, Aceh, misalnya. Taman ini telah berdiri sejak tahun 1998. Semula anak-anak Aceh di Gampong mengaji senja di rumah pimpinan. Seiring berjalannya waktu, berkat dukungan warga dan donasi salah satu Calon Anggota DPR RI, Ilham Pangestu, TPA tersebut punya balai tersendiri yang berada di belakang Masjid Istiqomah. Di balai yang beridri di atas tanah wakaf inilah anak-anak Aceh belajar Alquran sekata demi sekata.

Ketiadaan anggaran memang seringkali menjadi persoalan dalam pengelolaan pendidikan Islam. Alhasil para pengelola dituntut untuk melakukan kreasi politik. Langkah politis yang ditempuh TPA Nurul Hafizah, di satu sisi memang menuai keuntungan tetapi di sisi lain mengandung resiko. Sebab, bantuan yang diterima dari seorang politisi umumnya bukanlah cek kosong. Akan ada saja konsekuensi-konsekuensi politik yang harus ditunaikan. Pun ruang intervensi akan terbuka dari pihak-pihak luar jika bantuan tersebut telah diterima.

Persoalan lain yang menimpa pendidikan Islam adalah sistem pembelajaran. Tidak sedikit diantara pendidikan Islam yang ada masih mempertahankan metode pembajaran klasikal. Demikian halnya TPA Nurul Hafizah, yang mengajarkan Alquran dan kitab-kitab seperti matan taqrib, awarnel, matan bina, dan lain-lain, namun masih menggunakan metode pembelajaran lama, yakni sorogan. Metode sorogan ini menurut Abdullah Aly (2011) dalam bukunya “Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren” adalah pembelajaran kitab yang dilakukan secara individual, dimana para santri secara bergiliran menyetor bacaannya di hadapan kiyai, termasuk hafalan materi sebelumnya disertai penjelasannya.

Hanya saja TPA Nurul Hafizah juga menggunakan metode konvensional. Dua metode konvensional yang digunakan adalah tilawah dan iqra’. Kedua metode ini digunakan untuk mengajarkan santri membaca Alquran sesuai kaidah dan pakemnya. Di sinilah para santri bisa mengembangkan diri melalui seni baca quran. Dalam konteks ini, Zuwairiyah dan Tengku Taufik Hidayat selaku pengajar membuka ruang kreativitas kepada para santri. Meskipun demikian, metode tradisional dan konvensional secara umum tetap saja akan menghadapi tantangan modernitas.

Pengajian senja di TPA Nurul Hafizah memang menuai sejumlah prestasi. Beberapa diantara 78 anak Aceh yang mengaji di sana memenangkan lomba azan dan syahril quran di Tingkat Kecamatan. Bahkan TPA ini selalu saja mengirim utusan dalam setiap penyelenggaraan tahunan MTQ atau lomba keagamaan lainnya. Akan tetapi, minimnya pendanaan dan penggunaan metode pembelajaran yang masih bersifat klasikal, alih-alih menyingsingkan TPA Nurul Hafizah ke titik kulminasinya, justru senja kala kian tiba, jika tidak terjerembab dalam kubangan pragmatisme politik.

Solusi 

Sedikitnya dua langkah signifikan perlu dilakukan. Pertama, Pemerintah Aceh sebagai teritori muslim absolut berpotensi untuk mengalokasikan anggaran bagi upaya revitalisasi lembaga-lembaga pengajian. Secara politik upaya penganggaran tersebut tidak akan menuai resistensi dari pihak yang berbeda agama. Sehingga proses pemutusannya dapat ditempuh dengan mudah. Penganggaran yang dimaksud tidak hanya mengenai kesejahteraan gurunya, tetapi juga biaya operasional, sarana dan prasarana.

Perjuangan yang demikian itu dapat diawali melalui pembentukan Asosiasi Guru Ngaji (AGN) Kota Langsa. Melalui organisasi inilah komunikasi-komunikasi politik dilakukan baik dengan Pemerintah Kota maupun pihak DPRK. Akhir dari perjuangan tersebut harus melahirkan Qonun mengenai Pendidikan Agama dan Keagamaan yang di dalamnya menuangkan anggaran penyelenggaraan pengajian. Bila perlu, upaya-upaya yang demikian itu dilakukan dalam skala Provinsi Aceh.

Kedua, pengajian-pengajian di Aceh sejatinya mulai beradaptasi pada metode pembelajaran modern, atau instrumen teknologi mutakhir sebagai pendukung pembelajaran. Lembaga-lembaga pengajian dalam menguatkan aspek fonetik dan fonologi santri dapat menggunakan full digital berupa kelas online dengan aplikasi instant massaging, atau dengan menggunakan system hybrid, yang menggabungkan metode klasikal dengan perangkat teknologi modern. 

Kolaborasi antara metode klasikal dengan modern diharapkan dapat menghadirkan pengajian yang tidak hanya terhenti pada pengajaran (transfer of knowledge), keahliannya bersifat tekno-struktur, dan melanggengkan penindasan (F. O’Neil, 1981). Akan tetapi pengajian yang disuguhkan sejatinya membuka ruang kemerdekaan, dimana santri dengan penuh kebahagiaan dapat mengembangkan kreasi dan potensi diri.

Lembaga-lembaga pengajian yang masih menggunakan cara-cara lama akan tersisih di ufuk senja. Jika tidak segera berbenah, lambat-laun Aceh secara umum akan kehilangan identitas pendidikan tradisionalnya.  

Acuan Pustaka

Aly, Abdullah. 2011. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Belajar.  

Neil, William F. O. 2008. Educational Ideologis: Contempory Expressions of Educational Philosophies. Diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi, Ideologi-Ideologi Pendidikan. Cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 

No comments:

Post a Comment