Minoritas Ahlussunnah di Iran - bagbudig

Breaking

Saturday, February 15, 2020

Minoritas Ahlussunnah di Iran

Oleh: Fajri

Syah Ismail Shafawi

Sembilan abad sebelum jatuhnya Khilafah Abbasiyah, Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah telah hidup dan berkembang di Iran. Baru setelah jatuhnya Khilafah Abbasiyah Mazhab Syia’h mula-mula mewabah. 

Ismail Shafawi yang naik tahta dan menduduki singgasana di kota Tibriz pada tahun 906 H dan mengambil gelar Syah secara resmi mendeklarasikan berdirinya negara Shafawi Syi’ah dan melebarkan pengaruhnya ke seluruh bumi Iran.

Dalam rangka membumikan agama Syi’ah, Syah Ismail Shafawi berubah menjadi monster dengan melakukan berbagai pembunuhan dan pembantaian yang begitu kejam. Cara kejam lainnya adalah mengutus pengacau untuk menyebar ke tengah-tengah masyarakat untuk memaki-maki Khulafaurrasyidin.

Pola yang dijalankan para pengacau utusan Shafawi ini adalah memaki-maki empat orang Khulafaurrasyidin, kecuali Ali. Kemudian orang-orang yang mendengarnya harus mengikuti dan mengatakan “tambah dan jangan kurangi.” Adapun yang melawan tidak mau patuh akan dicincang dengan golok dan pedang. Menghadapi kenyataan yang sangat suram orang-orang Persia hanya punya dua pilihan menerima mazhab Syi’ah secara terpaksa atau melarikan diri.

Cerita kekejaman Syah Shafawi sampai ke meja Sultan Ustmani Salim I yang membuatnya marah dan terjadilah perang duel antara Daulah Utsmaniyyah dan Shafawiyah yang berakhir pada kemenangan Sultan Salim. Namun setelah tentara Ustmaniyyah keluar dari kota Tibriz orang-orang shafawiyyin bangkit kembali dengan membantai orang-orang Sunni secara membabi buta di mana dalam satu hari saja orang-orang Syi’ah Syafawiyyin sukses membantai 140 ribu orang Sunni.

Mendengar pembantaian terhadap kaum Sunni yang begitu mengerikan di kota Tibriz, Sultan Salim I membalasnya dengan aksi yang sama kepada Qazlabasy di Anatoli. Kemudian negara Shafawi jatuh kepada Mahmud Asyraf Al-Afghani. Setelah sekian lama berkuasa muncullah dinasti-dinasti lain seperti Dinasti Zandiyah, Qajariyah, dan Pahlevi dan berlanjut hingga hari ini ke Dinasti Khomeini.

Lakon-lakon kekerasan ditempuh semua secara bergilir oleh dinasti-dinasti yang berkuasa di Iran dan tidak ada pilihan bagi kaum Sunni yang tersisa selain melarikan diri ke negara-negara terdekat. Pemerintah Iran sangat berbahagia dengan aksi pelarian orang-orang Sunni dan menempatakan orang-orang Syi’ah dari Khuzestan wilayah-wilayah yang di tinggalkan orang-orang Sunni. Dan mewabahlah Syi’ah secara merata dan menyeluruh di seluruh Iran.

Orang-orang Sunni Sebelum Revolusi

Keberlangsungan hidup kaum Sunni di Iran sejak Ismail Shafawi naik tahta memang sudah terancam. Namun nasib kaum Sunni tidak lebih parah sebelum Revolusi Khomeini. 

Orang Sunni memiliki kebebasan mempraktikan akidah mereka, bebas berkegiatan seperti membangun masjid, sekolah, berceramah, menerbitkan buku walau dibatasi dengan batasan-batasan mazhab pada masa Syah dan sebelum revolusi khomeini.

Pada masa pemerintahan Syah dilarang keras bagi kedua mazhab saling menyinggung soal akidah. Pernah seorang Syi’ah membagikan buku yang menghina Aisyah Binti Abu Bakar kemudian ditangkap oleh orang Sunni kemudian dipukul. Lalu dipenjara oleh aparat pemerintah. Orang-orang Sunni memiliki kebabasan total untuk menyebarkan Mazhab Sunni.

Kondisi demikian adalah karena pemerintahan Syah berpaham sekuler yang tidak terlalu peduli dengan urusan Syi’ah dan Sunni.

Orang-orang Sunni Pasca Revolusi

Saat Revolusi khomeini menggema di seluruh bumi Iran pada 1979 orang-orang Sunni ikut serta mendukung berdirinya Republik Islam Iran, namun setelah syah tumbang, Khomeini dan bersama kawanannya memonopoli kekuasaan dengan mendirikan Republik etnik Syi’ah Iran. Dengan serta merta menindas minoritas Sunni. 

Pasca revolusi nasib minoritas Sunni berubah 90 derajat. Kaum Sunni dilarang mendirikan masjid. Untuk mendirikan salat sesuai dengan ajaran Sunni juga tidak memilki tempat. Begitu juga untuk kegiatan amal lainnya. Teheran adalah satu-satunya kota di dunia yang tidak terdapat mesjid Sunni di dalamnya. Sedangkan gereja, sinagog, rumah api, serta kuil bagi penganut Zeroaster terdapat di jantung kota Teheran.

Misbah Al-Yazdi seorang petinggi Syi’ah dan memiliki jabatan di pemerintahan Iran ditanya mengenai larangan mendirikan masjid Sunni di Ibukota Teheran, ia menjawab, “Jika dibolehkan bagi kami masjid Syi’ah di Makkah, maka kami akan membolehkan pendirian mesjid Sunni di Teheran. 

Di samping itu pula para imam dan ulama Sunni juga dilarang melaksanakan kegiatan dakwah. Sementara para imam dan juru dakwah Syi’ah diberi kebebasan secara mutlak bahkan menyerang akidah Ahlussunnah dalam dakwahnya. 

*Disarikan dari buku Minoritas Etnis dan Agama di Iran karya Samih Said Abud (judul asli Al-Aqalliyat Ad-Diniyyah Wa Al-‘Urqiyyah Wa Al-Madzhabiyyah Fi Iran)

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: brookings.edu

No comments:

Post a Comment