Perlunya Sensitivitas Da'i - bagbudig

Breaking

Thursday, January 30, 2020

Perlunya Sensitivitas Da'i

Oleh : Roni Haldi

Roni Haldi

Berhenti sejenak untuk merenungi dan memahamkan diri atas semua ucapan yang telah terlontar keluar, sikap raut muka yang membekas tampak sebagai pertanda dari gambaran isi hati. Silap dan salah mesti cepat disadari, agar diri tak lewat jumawa hingga keras hati sulit menarik ucapan mengubah sikap. Itulah sensitivitas seorang da’i dalam kehidupannya.

Tersebutlah kisah kawan se-organisasi se-persyarikatan yang mengalami ketidakcocokan yang berawal dari sebuah pilihan sulit di masa yang juga sulit. Berawal dari pengumuman kabinet karya atau yang populer dengan kabinet Djuanda,8 April 1957 pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Nama Muljadi; orang penting di organisasi Muhammadiyah dan pengurus partai Masyumi yang jelas-jelas bertolak belakang dengan pemerintah, namanya diumumkan duduk di kabinet Djuanda sebagai Menteri kesejahteraan rakyat.

Diceritakan bahwa Muljadi bukanlah seorang yang buta agama, namun mau menerima ajakan bergabung dalam kabinet pemerintahan yang terang tak sehaluan dengan konstituante dan masyarakat organsisinya. Mungkin, Muljadi ber pemahaman tidak memusuhi Soekarno secara pribadi tapi berada prinsip saja. Akan tetapi, bagi pengurus dan warga Muhammadiyah sikap itu dinilai menempatkan Muljadi telah “tunduk bertekuk” pada penguasa. Sama halnya dengan partai Masyumi. Ditambah lagi sikap berikutnya yang diambil Muljadi memilih mundur dari anggota Masyumi.

Mulai muncul cerca dan cela, salah satunya yang paling sengit datang dari kawan se organisasi dan partai. Lewat Harian Abadi, Hamka menuliskan kritikan tajam terhadap sikap Muljadi dan para pendukung kebijakannya diantaranya K.H. Farid Ma’ruf yang disinyalir sebagai pemberi nasehat pada Muljadi hingga memilih bergabung menyeberang ke Soekarno.

Banyak opini tajam yang dituliskan Hamka mengkritik keputusan salah dari kawan se organisasi se persyarikatan, ibarat minyak yang dituangkan ke atas api. Hingga memperuncing suasana dikalangan pengurus dan warga Muhammadiyah. Tibalah saat sidang Tanwir tahun 1960 di Yogyakarta. Hamka diundang dipertemukan dengan K.H. Farid Ma’ruf. Agar keduanya saling adu argumen dan mempertanggungjawabkan semua yang berlaku ditengah organisasi agar tak liat kesana kemari hingga meresahkan persatuan persyarikatan.

Hamka dipersilahkan lebih dulu maju menaiki mimbar. Suasana berubah hening. Semua yang hadir diam tak sabar menanti penjelasan dari pembicara pertama. Hamka berdiri tenang, yang mengawali pembicaraan adalah mata dan wajahnya. Makin menambah keheningan suasana Tanwir pada saat itu. Wajah Hamka mulai berkerut, bibirnya terasa bergetar kecil dan kedua matanya mulai terasa basah. Dengan terbata-bata Hamka meminta maaf telah menyinggung perasaan Saudaranya Farid Ma’ruf. Tidak ada maksud buruk di hatinya, hanya dorongan kecintaan kepada organisasi lah tergera tangannya untuk menulis opini tersebut. Hamka mengaku bahwa emosinya yang menjadikan dirinya mudah tersinggung dan reaktif terhadap persoalan itu. Begitulah Hamka mengakhiri pembicaraan yang sangat menyentuh seluruh peserta Tanwir.

Tiba giliran K.H. Farid Ma’ruf tampil berbicara. Ternyata isi penyampaian pembicara pertama jauh dari sangkaan nya. Padahal pertahanan secukupnya telah disiapkan sebagai balasan. K.H. Farid Ma’ruf membawa sebuah map namun memulai pembicaraannya tanpa membuka map yang di bawa. Wajahnya ceria berbalut takjub terhadap sesuatu yang tidak diduga. Lama beliau terdiam seakan tampak sukar untuk memulai. Dengan tersendat-sendat, K.H. Farid Ma’ruf berkata bahwa putusan Muljadi adalah demi itikad baik bagi oraganisasi. Mudah-mudahan dia akan membantu segala amal sosial Muhammadiyah. Tidak ada maksud jahat sama sekali. Menjalin hubungan dengan pemerintah tentu bukan berkerjasama dalam kebaikan bukan sebaliknya. Dan beliau mengakhiri pembicaraannya dengan kalimat: “Apabila saya berbuat demikian dinyatakan salah dan akan membawa Muhammadiyah ke Istana, baiklah saya katakan bahwa saya mengundurkan diri dari pimpinan pusat Muhammadiyah…”

Belum selesai Kiyai Farid melanjutkan katanya, tiba-tiba seorang peserta berdiri dari kursinya dan berkata: “Pimpinan, janganlah saudara farid mundur! Saya Hamka yang harus mundur!”

Farid menghentikan pembicaraannya dan langsung turun dari mimbar menjumpai Hamka dan memeluknya. Suasana bergeming, ada haru yang membuncah di dada, ada tetesan air mata yang keluar tak terasa menyaksikan sebuah peristiwa langka dari dua orang tokoh besar organisasi panutan Ummat.

Sungguh pelajaran berharga dari dua orang yang punya nama besar dan luas pengaruhnya. Kisah itu dituliskan Yusuf Maulana dalam Buya Hamka Ulama Umat Teladan Rakyat, 2018. Berawal dari sangkaan saudara se organisasi se persyarikatan dari sebuah putusan yang keluar tanpa diketahui duduk persoalan dibelakangnya. Sangkaan tajam kemudian berubah menjadi kritikan opini karena kebenaran bukan berbalut busuknya kebencian. Sebuah potret kedewasaan bersikap telah dilakonkan oleh Buya Hamka dan K.H. Farid Ma’ruf dihadapan kita. Kedewasaan bersikap yang mesti lah dimiliki oleh seorang Da’i ilallah.

Sebuah prasangka yang bangkit dari ketinggian iman dan cinta organisasi telah dicontohkan Buya Hamka. Namun ketinggian imannya dan cinta kepada organisasi tidak menghilangkan sensitivitas sebagai seorang Da’i. Mu’adz bin Jabal berkata pada sahabatnya:

اجلس بنا نؤمن ساعة

Mari kita duduk untuk beriman sesaat

Kalimat itu kemudian dipakai oleh Ibnu Rawahah, maka berkata ia kepada Abu Darda’ radhiyallahu anhu sambil memegang tangannya:

تعال نؤمن ساعة، إن القلب أسرع تقلبا من القدر إذ استجمعت علينا

“Marilah kita beriman sesaat, sesungguhnya hati itu berbolak balik lebih cepat daripada berbolak baliknya air mendidih dalam periuk.”

Seorang Da’i ilallah mesti tetap pendirian dalam bersikap terhadap keburukan. Namun sikap sensitif seorang Da’i sangat dibutuhkan dalam kehidupan dakwahnya. Bersikap tak sepakat terhadap pendapat seseorang atau organisasi tertentu adalah hal lumrah tak dilarang. Bersikap beda dengan seseorang atau organisasi tertentu bukanlah menjadikan seorang Da’i saling membenci. Apalagi membenci yang diikuti oleh caci maki sampai mati. Contoh lah Buya Hamka dan Kiyai Farid Ma’ruf dalam perbedaan sikap keduanya. Mengambil putusan bukan karena nafsu berkuasa miliki jabatan lewat kendaraan organisasi yang telah membesarkannya, namun ijtihad mensikapi situasi dan kondisi negeri untuk kepentingan organisasi bukan kemaslahatan diri dan kelompok pendukung. Itulah pilihan putusan Muljadi yang direstui K.H. Farid Ma’ruf kemudian dikritik ditentang oleh Buya Hamka. Tengok juga sikap Buya Hamka, ketika sensitivitas menyadarkannya untuk tak berat malu mengucapkan kalimat maaf kepada Kiyai Farid Ma’ruf dihadapan ramainya peserta Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta. Berbeda dalam mensikapi kondisi dan situasi tapi tak memutuskan hubungan persaudaraan sesama.

Muhammad Ahmad ar Rasyid mengatakan dalam al Munthalaq: “Seorang Da’i yang beriman tidak lepas dari dua tarikan. Yaitu tarikan imannya yang mendatangkan semangat, pemikiran, dan rasa tanggungjawab. Sehingga ia akan selalu terdorong untuk melakukan amal shalih. Dan tarikan beriku nya adalah tarikan setan. Dijadikan baik berubah buruk, ujub menjadi pakaian, panjang angan-angan dijadikan visi kehidupan. Sehingga seorang Da’i ajan berubah menjadi hakim bukan penyeru. Yang berbeda dengannya atau kelompok organisasnya akan dijatuhkan “palu gada penghukum kesesatan” tanpa melihat sejenak akar permasalahan. Sifat “ujub tingkat dewa” telah merubah wajah seorang Da’i dari semestinya ramah penuh tasamuh (toleransi) berubah sangar bak malaikat Izrail mendatangi pendurhaka.

Sensitivitas Da’i itu berangkat dari ketinggian iman dan keluasan ilmu ditambah kemuliaan akhlak. Tegas terhadap keburukan bukan berarti menghilangkan hadirnya peluang kebaikan. Memang keburukan takkan bersua bersatu dengan kebaikan. Tapi kebaikan, jika ingin ditularkan mesti mempertimbangkan nilai sensitivitas iman seseorang. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Susoh, 31 Januari 2020

Ilustrasi : Pinterest

No comments:

Post a Comment