Jessi, Pahlawan Akil-Baligh Kami - bagbudig

Breaking

Sunday, January 26, 2020

Jessi, Pahlawan Akil-Baligh Kami

Oleh: Diyus Hanafi

Mengapa bukan kita? Kok pakai kami?Sebab aku tak mau mengatasnamakan semua orang. Itu saja.

Jawara dari pertempuran gagasan dalam benakku adalah perempuan bernama Jessica Andrea Steinhausser. Ya. Para patriarkis mungkin menelan kecewa sebab bukan kaum kita yang menang ini kali. Tapi tunggu dulu… usah pula langsung merajuk dan pergi, Wahai Para Lelaki…

Jessica yang satu ini mungkin punya peran dalam menemani masa akil-baligh kita; sama seperti peran media Niaru atau stensilan, beberapa merk lotion dan sabun (baik cair maupun padat). Tepat! Jessica yang satu ini adalah pemeran film porno.

Mengingat ia berkelamin perempuan, baiklah kita sebut saja ia seorang pornowati untuk menempelkan sejumput nuansa Nusantara dalam dirinya.

Meski terlahir sebagai perempuan yang menggetarkan dari sisi software dan hardware ia memilih jalan menjadi penghibur yang menghadirkan kecabulan, ketelanjangan dan persenggamaan sebagai tontonan khalayak lelaki dan perempuan di penjuru dunia.

Jessi sempat menggunakan nama ranjang Jessica Bennet. Ternyata Jessica Bennet juga nama karakter opera sabun Amerika berjudul Passions yang ditayangkan NBC Tahun 1999-2007 (diperankan oleh Mary Elizabeth Winstead), juga nama gitaris Lash (1996-2003), band punk-rock asal Perth (Australia), pun nama seorang jurnalis The New York Times yang kerap menulis mengenai isu gender, seksualitas dan budaya, juga penulis Feminist Fight Club: A Survival Manual for a Sexist Workplace.

Mungkin itu sebab utama Jessica mengganti nama-ranjangnya…

Apa pentingnya Pornowati yang satu ini? Ini pertanyaan yang sukar kujawab; sebab, bagi seorang nihilis-fatalistik, tak ada hal yang penting, tapi bagi seorang filsuf, semua hal penting untuk dipikirkan. Bukan pula berarti aku mendapuk diri sebagai filsuf saat aku mencoba mengulik sisi lain seorang Jessica.

Mari melanjutkan start yang tersendat di paragraf ketiga. Perpaduan akurasi fisik, mental dan kecerdasan. Terlahir dengan IQ 156. Jessi mendapat beasiswa penuh di Rutgers (The State University of New Jersey), perguruan tinggi yang menduduki peringkat 52 dari 100 universitas dunia dan peringkat 34 di Amerika. Mengambil 2 jurusan, Bisnis dan Bahasa Jepang. Saat masih berusia 16 tahun, ia pernah mengajar Bahasa Inggris-Kolokial di Tsuruga College, Jepang.

Satu fakta lagi yang ia sebut sebagai ”Most Over-Publicized Fact” adalah keanggotaannya dalam organisasi MENSA, komunitas kutu-buku ber-IQ tinggi. Nilai SAT saat akan memasuki perguruan tinggi adalah 1440 dalam skala sempurna 1600. Itu artinya, Jessi memenuhi 98% semua hal yang diujinya.

Jessi bukanlah satu-satunya pesohor yang masuk dalam jajaran organisasi bergengsi tersebut. Masih ada Julie Peterson, Geena Davis, Glenne Headly, Sharon Stone dan James Woods. MENSA adalah komunitas yang hanya mengakui 2 uji kecerdasan untuk masuk dalam daftar mereka: Stanford-Binet dan Cattell.

***

Sebagai putri sulung dari 4 bersaudara, Jessi mengalami tekanan untuk menjadi serba bisa di segala bidang. Ia kerap menerima kemarahan saat mendapat nilai B! Kedua orangtuanya memaksanya hingga titik jenuh.

Hasil pertama, ia menuai beragam prestasi yang disebutnya sebagai pencapaian culun, juara lomba mengeja, menjadi anggota liga matematika nasional, masyarakat kehormatan nasional Spanyol, seni-bahasa dan olimpiade matematika. Di ranah seni, pencapaian yang terbilang prestisius, memainkan komposisi piano Malagueña, karya pianis dan komposer Kuba, Ernesto Lecuona pada usia 13 tahun; dan komposisi piano Bach’s 13th Invention karya Johann Sebastian Bach, saat masih berusia 14 tahun.

Ia mempertunjukkan kebolehan memainkan kedua komposisi tersebut di Carnegie Hall, gedung konser yang menjulang megah di tengah Kota Manhattan, New York. Bukan di panggung acara kawinan atau pertunjukan keyboard koplo.

Memang… dunia adalah padang penuh pilihan. Tiap orang boleh jadi apa saja selama sanggup menerima akibat. Itu pula yang mungkin mendorong Jessi remaja memilih jalan-ranjang sebagai bentuk pemberontakan terhadap orangtuanya yang selalu dan terlalu menuntut kesempurnaan dari sang anak. Orangtua yang menuntut anak serba-bisa, serba-menonjol dan serba nomor 1.

Jessi memberontak. Ia minggat dari zona nyaman yang mengekang. Memilih hidup menggelandang sebelum berusia 17 tahun. Ia hidup luntang-lantung, tertangkap petugas sosial dan dipaksa menerima orangtua asuh yang sama keras dengan keluarga aslinya. Ia minggat lagi, bekerja sebagai bartender dan mencoba membangun keberanian untuk menjadi penari bugil. Sempat menjadi model majalah khusus lelaki, sebelum bertemu Bud Lee, sutradara (tentu saja film porno) yang sempat menjadi suami pertamanya (1995-2003).

Selaku pornowati, totalitasnya juga telah terbukti dengan membintangi lebih dari 400 film dalam durasi karir 10 tahun. Tentu saja bergenre porno semua. Pengakuan para pelaku industri dan konsumen berupa:

1995 AVN Female Performer of the Year
2000 AVN Best Couples Sex Scene – Film (Search for the Snow Leopard)
2000 AVN Award (nominator) – Best Actress – Film
2001 AVN Hall of Fame (ditunjuk)
2007 XRCO Hall of Fame (ditunjuk) – XRCO Members’ Choice

Kini… di masa senggangnya, Jessi mengisi waktu untuk melukis, bermain piano dan membaca buku bertema sejarah, biografi, kisah inspiratif dan kisah kriminal nyata.

P4 (Pornowan, Pornowati, Pelacur dan Politikus)

Kupikir, tak sedap menilai Jessi dari segi moralitas. Sebab, menilainya dengan standard moral akan menempatkan kita (para penikmat akting yang kebanyakan merasakan jasanya secara gratis), sebagai penghakim yang kejam. Lebih elok mengukurnya dengan lirik lagu Kupu-Kupu Malam milik Titiek Puspa:

Dosakah yang dia kerjakan?
Sucikah mereka yang datang?

Lebih elok menyikapinya sebagai fenomena yang akan membuat kita menempatkan diri sebagai pengamat saja. Jessi adalah sebuah paradoks atau anomali. Perempuan yang terlahir dengan anugrah kecantikan di paras dan kecerdasan di benak. Perempuan yang dengan telunjuknya mampu menggerakkan kehendak dan hasrat lelaki untuk melakukan apapun pintanya; namun lebih memilih menjadi penghibur. Atau ia justru ingin mengabadikan diri dalam imajinasi tiap lelaki atau perempuan dengan setiap aksinya nan mengguncangkan syahwat yang bersemayam dalam kebanyakan penghuni cawat.

Mari memandang setiap fenomena dari aspek bisnis. Sejenak saja. Industri porno dan pelacuran kerap mendapat tempat sebagai bilik-rahasia tiap orang, sementara industrialisasi politik oleh para politikus mendapat ruang yang lebih mudah gebyar dan digembar-gemborkan, dibedaki dan dipajang pada etalase publik. Padahal, kedua aspek ini (dan banyak aspek hidup lain) sama-sama persoalan pilihan. Jika ingin menghakiminya dengan standar moral, kita mesti adil menggunakan timbangan Dewi Justisia atau panduan nilai agama mana pun.

Entah mengapa, kebanyakan manusia cenderung malu (atau setidaknya jengah) saat orang lain mengetahui kegemarannya mengkonsumsi kepornoan secara tulisan, gambar dan video, tetapi tak malu saat memilih pimpinan yang salah dalam mengelola kekuasaan yang menyebabkan kehancuran.

Setidaknya, pelacur, pornowan dan pornowati menyalahgunakan fungsi tubuh mereka sendiri untuk menghibur para pemirsa demi meraup keuntungan. Bandingkan dengan kebanyakan pejabat yang kerap menyalahgunakan kekuasaan mereka –bahkan mempertaruhkan hajat hidup orang banyak– demi memuaskan hasrat pribadi dan golongan. Anehnya lagi, kebanyakan orang menghormati pejabat dengan moralitas korup ketimbang pelacur, pornowan dan pornowati yang menggunakan tubuh mereka sendiri sebagai modal usaha.

Pernyataan ini bukanlah pembelaanku terhadap seorang idola. Ia sungguh tak perlu pembelaan. Aku yakin ia tak peduli terhadap bela dan hujat dari siapa pun. Ia yang telah menyatakan tak merasa marah pada kedua orangtuanya. Ibu dan Ayah yang memaksa untuk menjadikan Harvard sebagai standar keberhasilan di dunia pendidikan; maksud baik dan benar dengan cara yang tak dapat diterimanya.

Meski menyatakan diri sebagai seorang atheis, belakangan ini, pornowati yang akhirnya memilih nama-ranjang-permanen Asia Carrera tersebut mengaku menganut Agama Pastafarian (penggabungan antara Pasta dengan Rastafarianisme) atau agama yang bertuhankan The Flying Spaghetti Monster.

Pernyataan yang ditunjukkannya dengan membuat pas foto di SIM-nya dengan memakai sangku di kepala, lambang resmi penganut Pastafarian yang diakui Negara Bagian Utah.

Jadi, jika seseorang di antara kalian memiliki hubungan korespondensi dengan perempuan yang lahir 6 Agustus 1973 ini, tolong sampaikan padanya, aku ingin menyeduhkan segelas kopi tubruk untuknya, dari kopi yang kutuai, kuolah dan kusajikan dengan tanganku sendiri.

Ehm… Jadi, siapakah pahlawan akil-balighmu?

Salam Waras,

Diyus
Pengagum Ilegal Asia Carrera

Sumber Tulisan: Facebook Diyus Hanafi

Foto: Imdb.com

No comments:

Post a Comment