Miswari dan Gadis Terakhir - bagbudig

Breaking

Monday, July 19, 2021

Miswari dan Gadis Terakhir

Sore itu, angin bertiup cukup kencang menggoyangkan dedaunan di pohon depan rumah. Aku melihatnya dari sela-sela pintu yang sedikit terbuka. Semenjak positif covid beberapa waktu lalu, aku agak segan untuk membuka utuh pintu rumah. Sehingga ketika seorang kurir ekspedisi datang membawakan paket, aku pun tak membuka utuh pintu, dari dalam rumah, anakku yang kelas 2 akan bertanya, “Buat siapa Bang ?” Taruh saja di teras ya Bang!” Dan paket sore itu, ternyata adalah sebuah buku puisi karya Miswari Usman Banta Leman, Kandidat Doktor Filsafat Islam dan buku tersebut ternyata diedit oleh Doktor Filsafat Islam lainnya, Teh Doktor Nani Widiawati dua nama yang sudah akrab dalam beberapa tahun terakhir hidup saya.

Miswari, penulis buku ini, adalah kakak kelas saya di kelas Master Filsafat Islam. Namanya saya jumpai mirip legenda yang dibawa angin dari berbagai penjuru. Kepala Biro Akademik, Dosen, Senior, Teman dan juga sumber kabar angin yang lain. Miswari adalah legenda bagi para Pecinta Ilmu. Baginya tidak ada kata menyerah atau lelah dalam mengarungi ilmu. Ia tak pernah menyerah pada keterbatasan. Di tengah kegiatan menyelesaikan studi masternya, di sela-sela akalnya berdialektika dengan konsep-konsep filosofis, dirinya berdialektika dengan kenyataan hidup. Dia berjualan pakaian dalam dan dia bangga dengan profesinya.

Berbeda dengan penjual pada umumnya, di sela berjualan dia menulis dengan handphonenya. Hasilnya tak main-main, sebuah buku pengantar filsafat yang komprehensif dengan judul Filsafat Terakhir. Para mahasiswa filsafat Islam akan sangat terbantu memasuki belantara filsafat dengan membaca buku tersebut.

Filsafat Islam hadir dalam kehidupan Miswari tidak dengan sederhana, tapi melalui dialektika dan pergulatan pemikiran yang tajam. Miswari adalah aktivis PII yang “meniti karier” dari daerah sampai Pengurus Besar (PB) organisasi yang cenderung berhaluan ke kanan. Namun Miswari berani mengambil haluan yang berbeda. Dari sudut Serambi Mekah Aceh, dia hijrah ke Jakarta. Dia mengambil S2 jurusan filsafat Islam di kampus yang saat itu didirikan oleh para pendekar filsafat Islam, Cak Nur, Haidar Bagir dan Alm Kang Jalal. Bukan tidak sedikit suara nyinnyir yang harus dihadapinya. Tapi dia menghadapi dengan enteng saja, meminjam bahasa dia, “Saya adalah seniman kehidupan”.

Sebagai seniman kehidupan dia tak merasa gengsi berjualan pakaian dalam berkeliling pasar, mungkin dalam kepalanya, dia telah menjelma Nietzsche yang keliling pasar di siang hari dan menjajakan pikiran filsafatnya. Dia melakukan transendensi diri, dan mungkin tengah menjadi Zarathustra. Dengan segala keterbatasan dan kesulitan yang melingkupi studinya, tak menghalanginya menghasilkan karya serius yang berbobot tinggi.

Tesis masternya yang telah dibukukan dengan judul “Wahdatul Wujud Hamzah Fansuri” membuktikan kualitas tangguh intelektualnya. Orang takkan pernah menyangka ada drama dirinya dan sepatunya menjelang sidang master.

Miswari sekali lagi, tak pernah menyerah pada keadaan. Dia petarung hidup, yang demi ilmu apapun akan dia tempuh selagi tak melanggar perintah Ilahi.

Miswari juga saya temukan berbeda dengan aktivis filsafat pada umumnya, yang dalam obrolan atau diskusi suka mencari celah kelemahan lawan bicara, Miswari berbeda. Ia cenderung diskusi untuk menyempurnakan pikirannya, dia tidak suka menyerang argumen kawan atau lawan. Sikap hikmatnya kepada para guru dan dosen, serupa sikap santri Nahdliyin kepada para Kyai.

Miswari tak henti berlari menyusuri semesta kata, sekitar 18 buku telah ditulisnya, dan 50 artikel ilmiah ditulisnya di jurnal. Ia mewarisi darah Aceh yang begitu antusias menjalani pertarungan hidup. Namun harus saya katakan, saya sangat senang ketika dia menulis buku puisi. Bagi saya, buku puisi adalah pilihan terbaik untuk menemani perjalanan, atau saat mengisi waktu senggang yang tak panjang.

Saat isoman kemarin, saya memilih puisi Subagio Sastrowardoyo dan Maria Rilke sebagai selingan demam tinggi. Kenapa saya katakan saya senang Miswari menulis puisi, karena ini berarti Miswari telah sampai pada kesadaran untuk “turun ke bumi”. Filsafat terlalu mengawang-awang dan elitis, sangat segmented orang yang menyukainya. Tanah antah berantah antara entah dan mengapa. Maka ia harus diturunkan ke bumi, dan puisi atau senandika adalah media yang pas untuk khalayak umum saat ini.

Atas pertimbangan itu, saya sendiri tidak tertarik menulis buku serius (selain karena saya memang tidak mampu) karena saya berpikir filsafat harus diturunkan dalam karya yang bisa dinikmati sebanyak umum orang.

Miswari telah menulis belasan buku serius yang segmented pembacanya, yang bertema pemikiran Islam. Maka sudah saatnya dia menulis untuk publik yang lebih luas, dan Gadis Terakhir sangat pas untuk menandai genre lain karier kepenulisan dia. Dia menulis puisi dengan menarik. Latar belakang filsafatnya membuat puisinya sarat dengan renungan dan menantang pembaca untuk berpikir. Penyair menurutnya adalah juga filsuf pada dirinya sendiri. Sebagaimana kata Miswari dalam Gadis Terakhir, “Siapakah penyair itu, ia adalah manusia-manusia sepi. Dalam sepi mereka mengajak diri sendiri berinteraksi” (Hal. 102).

Bukankah sastra dan filsafat memang lahir karena adanya dialog dengan diri sendiri? Puisi-puisi dalam Gadis Terakhir cukup kental semangat spiritualitas dan kemanusiaannya, yang bisa mudah kita temukan dalam hampir setiap halamannya. Namun spiritualitas yang diusung Gadis Terakhir adalah, meminjam bahasanya Mbak Ayu Utami, spiritualitas kritis. Ia tak membedakan sisi vertikal ketuhanan dan horizontal kemanusiaan.

Simak saja bait puisinya yang berjudul “Malammu” berikut: “Sukakah kau mencium bau usuh anak-anak gembel, pengemis, gelandangan yang mengganggu penciuman hingga menusuk hidung naik ke otak…. masih betahkah jantungmu menancap di dekat parumu melihat setiap malam para gelandangan menginap di sembarang tempat, dan hanya dengan bayaran sesuap nasi. Dan saudaranya yang lain menyekap mulut mengantarkannya untuk dikuras seluruh organ tubuhnya untuk dijual pada saudagar kaya yang telah berusia renta” (Hal. 103).

Daya tarik Gadis Terakhir tidak hanya pada kepiawainnya memotret realitas kritik sosial, namun ia tak lupa juga berkisah tentang kisah cinta. Cinta pertama yang umumnya picisan itu, dirangkai indah oleh Miswari. Simak untaian kata-kata indahnya berikut, “Cinta pertama takkan dimiliki, tetapi takkan pergi, Cinta pertama itu satu-satunya cinta yang suci. Kita mencintai dengan kepolosan. Cinta pertama tidak punya apapun selain cinta itu sendiri ” (Hal. 40).

Maka selain cocok bagi yang suka merenungi hidup dan merajut makna dengan renungan-renungan filosofis, Gadis Terakhir juga cocok untuk anak muda yang sedang berusaha memahami cinta atau sedang galau. Seolah teringat mantan terindah, Miswari bersyair dengan parau, “Aku terus berlari dengan hati yang luka. Bayanganmu hadir selalu. Membuat aku semakin tersiksa” (Hal. 33).

Saya akan berhenti di sini untuk mengutip puisi Miswari dan silakan bagi yang penasaran untuk berdialog sendiri dengan Gadis Terakhir. Puisi-puisi Miswari sangat bermakna bagi saya, pertama dan terutama karena Miswari telah menulis dengan menghadirkan seluruh dirinya secara apa adanya. Bahkan bagi yang kenal Miswari akan tahu bahwa dia sesungguhnya telah menulis puisi dalam hidupnya sehari-hari melaui tindakannya, sebelum ia menuangkan dalam kata dan karya.

No comments:

Post a Comment