Guinea Ekuatorial sedang melaksanakan duka nasional tiga hari untuk memberi penghormatan kepada para korban ledakan hari Minggu yang telah merenggut sedikitnya 105 nyawa sejauh ini dan melukai lebih dari 600 orang.
Pada hari Rabu dilakukan pengibaran bendera setengah tiang seperti yang diinstruksikan oleh pemerintah dalam keputusan Selasa malam.
“Pada 10, 11, 12 Maret, bendera nasional akan dikibarkan setengah tiang di semua pangkalan militer dan di gedung-gedung resmi,” kata keputusan itu.
Serangkaian ledakan pada hari Minggu mengguncang gudang senjata Nkuantoma Gendarmerie dan barak militer di Bata, kota komersial Guinea Ekuatorial, menyebabkan kerusakan luas pada bangunan tempat tinggal.
Orang-orang yang terluka dirawat di Rumah Sakit Regional Bata, Pusat Medis La Paz dan Poliklinik Guinea Salud, menurut Kementerian Kesehatan negara itu.
Setelah ledakan tersebut, Menteri Luar Negeri Simeon Oyono Esono Angue memohon dukungan internasional dan menggambarkan situasi tersebut sebagai bencana.
Pada hari Selasa, kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Afrika mengatakan pihaknya membantu negara untuk “menangani krisis korban massal”.
Sistem kesehatan di negara itu sudah terganjal oleh respons COVID-19, yang membuat keadaan darurat ini kritis, kata Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) pada hari Senin.
Guinea Ekuatorial, sebuah negara kecil berpenduduk sekitar 1,2 juta orang, sangat bergantung pada industri minyak dan gas alamnya.
Negara Afrika Tengah terdiri dari daratan Rio Muni dan lima pulau lepas pantai vulkanik. Ibukotanya, Malabo, di Pulau Bioko, adalah pusat industri minyak negara yang makmur.
Bata adalah kota pelabuhan dan komersial di daratan negara.
Sumber: Anadolu Agency
Terjemahan bebas Bagbudig
No comments:
Post a Comment