Rizieq dan Gerakan Neo-Islamisme - bagbudig

Breaking

Friday, December 11, 2020

Rizieq dan Gerakan Neo-Islamisme

Oleh: Mulyadi

Gerakan habaib merupakan sebuah “gerakan millenialistik” dalam panggung dakwah kontemporer di Indonesia. Munculnya gelombang habaib telah memunculkan getaran psikologis, gebrakan politik identitas, gerakan dakwah kontemporer dan kepanikan pemerintah.

Meskipun sempat meredup pasca kepergian sang Imam Besar, Habib Rizieq, namun gerakan itu kembali menggentarkan bumi pertiwi sekembalinya dari bumi padang pasir.

Kehadiran gerakan habaib ditandai dengan bergemanya ritual zikir, dakwah dengan penuh semangat jihad, penuh retorika teologis dan berpegang teguh pada ideologi nasab.

Gebrakan retorika dakwah habaib ditandai dengan tema-tema populer terkait fenomena sosial modern, seputar perkembangan media sosial, dan perubahan secara fundamental dalam berbagai sisi serta perjuangan seputar teologi pembangunan, romantisisme jihad, juga doktrinasi keislaman lainnya.

Namun dengan bungkus sebagai pewaris dakwah kenabian, Rizieq terlihat berhasil mendoktrin para pengikutnya untuk berjuang dan berhasil menggerakan masa untuk mempertahankan ideologi bangsa, dan berhasil memiliki pasukan yang militan dan berjiwa laskar.

Doktrinasi mosi apatis terhadap pemegang kekuasaan negara sudah menipis, ditambah lagi dengan kepergian regu pengawal secara tidak jelas, gerakan politik identitas di bawah komando Rizieq semakin bergejolak. Bahkan jika elite penguasa semakin mendesak, maka gerakan ini akan semakin jantan untuk mempertahankan eksistensi habaib.

Jihad bagi mereka adalah mempertahankan keutuhan negara di bawah kendali elite politik yang dianggap tidak sesuai dengan amanah bangsa.

Gerakan Rizieq dan kelompoknya dapat digolongkan menjadi golongan noe-Islamisme sebab konsep Islamisme sendiri adalah sekumpulan gerakan sosial yang berupaya untuk menerapkan doktrin persatuan Islam dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dalam lingkup seluas mungkin, termasuk pada aspek hukum yang bersifat syariah sebagai dasar pemerintahan sebuah negara.

Gerakan Islamisme mulai marak diusung kembali pasca jatuhnya rezim otoriter dan dimulainya era reformasi pada tahun 2000-an, ditandai dengan gerakan kelompok Islam yang hadir dengan mengibarkan simbol identitas, ajakan yang massif dan munculnya berbagai gerakan identitas teologis dalam bingkai kebebasan berdemokrasi.

Terkait dengan hal tersebut, gerakan Islamisme atas nama perjuangan mempertahankan keutuhan bangsa, negara, maupun tanah air dan atas dasar idelogi apapun, tidak akan bisa dibenturkan dengan idiologi hyper-nasionalisme. Ditambah lagi gerakan Rizieq merupakan kelompok kecil yang dibentuk dalam tubuh Islam yang dominan.

Dengan tidak ada celah tersebut, maka percuma saja gerbong neo-Islamisme habaib muncul ke permukaan menghadapkan diri secara terbuka dengan hyper-nasionalisme.

Apakah Rizieq yang berindentitas habaib tidak takut bahwa gerakan politik identitasnya akan bernasib sama dengan Hizbut Tahrir, atau seperti gerakan Mursi yang dibungkam tanpa perlawanan di Mesir, demikian juga seperti orator sesama keturunan yaitu habib Bahar yang berakhir di balik jeruji?

Dengan gerakan bawah tanah yang santai tapi akurat, pemerintah saat ini tampaknya sedang melakukan strategi untuk “menyergap” Rizieq Shihab.

Terlihat sorotan media dan komentar menohok pemerintah serta pengamat terhadap Rizieq yang begitu fokus di tengah berbagai macam kasus dalam lambung elite Jokowi.

Dengan merangsang kembali gerakan Islamisme melalui identitas habaib sepertinya cukup menyibukkan elite penguasa untuk melancarkan aksi nasionalismenya melalui sitem demokrasi.

Sepertinya gerakan Rizieq hanya sekadar bentuk ekspresi identitas kehabiban, tapi rancu untuk membangun politik dengan bayang-bayang identitas religius. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan habaib di bawah Imam Besar Rizieq cukup berhasil menggerakkan massa dan simpatisan militan dari berbagai kalangan untuk terus berdakwah dengan identitas dan cara mereka sendiri.

Jika gerakan perjuangan neo-Islamisme di bawah komando Rizieq berhasil membentuk retorika dan perubahan dunia baru dalam bingkai keindonesiaan dan kebhinnekaan yang mereka usung, maka Rizieq akan menjadi tokoh utama yang mampu mepertahankan dan menjaga politik identitasnya untuk tumbuh dan berkembang.

Namun sebaliknya, jika gerakan itu terbungkam oleh elite penguasa dengan segala upayanya maka tidak hanya Rizieq yang bungkam melainkan identitas habaib juga akan tergoyahkan bahkan hilang kepercayaanya di mata publik.

Akhir drama ini sungguh dinantikan, ibarat film menanti seri selanjutnya, tentu ini tentang identitas dan gebrakan Islamisme.

Kepulangan Habib Rizieq dipandang kurang tepat saat ini, di tengah pergulatan politik yang tidak menentu. Namun perjuangan Rizieq dan pengikutnya yang berupaya untuk menunjukkan eksistensi habaib semakin panas, di mana gerakan perlawanan melalui aksi dan retorika dakwah semakin terlihat layaknya “genderang perang” yang sedang dikumandangkan.

Mari melihat bagaimana drama ini berakhir, apakah Rizieq yang bertahan dengan gerakan Islamismenya atau elite pemerintah yang justru gagal mempertahankan hyper-nasionalismenya.

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: Reuters

No comments:

Post a Comment