Berhubung hari ini diperingati sebagai Hari Guru Nasional yang terus diulang setiap 25 November, maka saya akan mencoba menyinggung satu hal terkait guru, profesi yang sudah saya geluti selama 17 tahun.
Tentu saya akan berusaha untuk tidak masuk ke dalam persoalan klasik atawa klise terkait kesejahteraan guru yang meskipun dikampanyekan sampai berbuih-buih akan tetap saja begitu. Tidak akan ada perubahan soal itu, kecuali beberapa perubahan kecil yang hanya “mengenyangkan” sebagian guru, sementara sebagian lainnya tetap saja “kelaparan” sembari menekan perut mengurut dada.
Saya akan masuk dalam topik “dosa warisan” para guru yang terbilang cukup jarang disentuh dan bahkan dianggap sebagai sesuatu yang sudah seharusnya begitu. Mesti diterima tanpa reserve.
Dalam konteks teologi, istilah dosa warisan sepertinya hanya dikenal dalam teologi Kristen, bahwa setiap manusia membawa dosa asal atau dosa warisan yang diwariskan dari kesalahan Adam dan Hawa di awal-awal penciptaan manusia. Dalam teologi Kristen, dosa warisan ini terus melekat pada manusia dan hanya bisa dihilangkan dengan pembaptisan oleh pimpinan gereja.
Sementara dalam Islam, sebagai agama yang dianut luas di Indonesia, sama sekali tidak mengenal ajaran dosa warisan atawa dosa asal. Kecuali bagi Muslim yang kemudian memilih murtad dan masuk Kristen.
Nah, meskipun istilah dosa warisan identik dengan teologi Kristen, namun dalam praktiknya, dosa warisan ini juga berlaku dalam dunia pendidikan, khususnya dalam dunia keguruan. Bedanya, istilah dosa warisan dalam teologi Kristen itu bersifat sakral alias suci, sedangkan dosa warisan yang sering dilekatkan pada sebagian guru bersifat profan alias duniawi.
Seperti kita tahu, guru sering diidentikkan dengan sosok panutan yang mesti digugu dan ditiru. Terkadang dalam kondisi lebay, guru juga sering dipersepsikan sebagai sosok mulia nan suci; yang mesti menampilkan diri sebagai sosok ideal dan sempurna ~ nyaris satu digit di bawah “malaikat.” Artinya menjadi guru adalah menjadi sempurna dan sami’na wa atha’na kepada atasan tanpa reserve.
Padahal, guru juga manusia, bukan patung, apalagi mesin yang bisa diprogram sedemikian rupa dan lalu dikontrol melalui tombol-tombol.
Sebagai manusia, seperti halnya presiden, gubernur, bupati, kepala dinas dan Pak Camat, guru juga memiliki dua hal yang juga dimiliki oleh segenap manusia di seluruh muka bumi.
Dua hal itu adalah akal dan rasa.
Selama dua hal ini masih ada, maka guru bukanlah mesin, bukan robot, apalagi patung yang mampu berdiri tegak tak bergerak, meskipun dilempari batu dan tahi kucing.
Dua hal tadi, akal dan rasa, akan mendorong setiap manusia, termasuk guru untuk memberi respons atas apa saja yang menimpanya.
Nah, dalam memberi respons inilah terkadang guru terjebak dalam dosa, yang kemudian menetap abadi menjadi dosa warisan yang terus dipikulnya hingga purnabakti.
Padahal kehidupan manusia itu dinamis, terkadang ia baik dan di lain waktu dia buruk. Seperti kata Nurcholish Madjid, manusia itu bukan malaikat yang padanya berkumpul segala kebaikan, dan bukan pula setan yang padanya bertumpuk kejahatan. Tapi, manusia adalah perpaduan keduanya, dimensi kebaikan dan dimensi kejahatan yang terus berkelindan.
Sayangnya dunia pendidikan kita punya tradisi unik dengan merujuk pada pepatah usang, “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya.” Pepatah ini bukan saja usang, tapi juga bertentangan dengan prinsip terdalam dari naluri kemanusiaan karena menafikan perubahan-perubahan pada manusia.
Pepatah yang berasal dari pantun melayu ini, secara destruktif dan absurd seringkali digunakan untuk menghukumi guru yang pernah terjebak dalam kesalahan untuk kemudian diabadikan sebagai dosa warisan yang tak terampuni.
Nah, agar tulisan ini tidak simpang siur, saya akan memberi contoh.
Si A adalah seorang guru di sekolah Z. Pada suatu ketika, si A terlibat cekcok dengan si B yang menjadi atasannya di sekolah. Cekcok ini bisa saja karena persoalan kedinasan dan tak jarang pula soal pribadi.
Usai terlibat cekcok, akhirnya si A pun dimutasi alias dipindahkan dari sekolah Z ke sekolah X. Dan ketika si A belum lagi menginjakkan kaki di sekolah baru, informasi “buruk” tentang si A telah terlebih dulu ditransfer oleh si B (kepala sekolah asal) ke si C (kepala sekolah baru).
Nah, dalam kondisi inilah, “dosa” si A di sekolah Z diwariskan oleh atasannya ke sekolah X sehingga terbangunlah satu persepsi di sekolah baru bahwa si A begini dan begitu. Seiring perjalanan waktu, persepsi ini berubah menjadi stigma. Melalui stigmatisasi inilah dosa bawaan si A menjadi abadi.
Meskipun di kemudian hari si A berubah dan tidak melakukan kesalahan apapun di sekolah barunya, namun stigma tadi akan terus melekat.
Karena stigma ini telah melekat, maka kepala sekolah dan guru di sekolah baru itu akan selalu mencari cara untuk menemukan kesalahan si A. Dan ketika kesalahan kecil dari si A ditemukan, langsung saja kesalahan itu menguap dan dibesar-besarkan dengan narasi-narasi hiperbolik, meskipun terkadang si A sudah berusaha melakukan yang terbaik.
Lalu, si A kembali dimutasi ke sekolah lain. Seperti sebelumnya, kesalahan kecil si A tadi akan segera ditransfer kembali ke sekolah baru sehingga stigma baru pun muncul di sana. Begitu seterusnya.
Inilah yang saya maksud dengan dosa warisan yang pada prinsipnya memperburuk wajah pendidikan kita karena mental negatif oknum-oknum penjilat yang sok suci.
Terakhir, tulisan ini mungkin tidak populis karena menyinggung “status qou.” Tapi ia adalah fakta yang sering hadir di depan kita, meskipun terkadang kita tidak menyadarinya atau mungkin telah menganggapnya sebagai tradisi suci yang mesti dilestarikan.
Selamat Hari Guru Nasional dan teruslah bersikap waras!
Ilustrasi: The Age
No comments:
Post a Comment