Menunggu Cak Nun di TIM - bagbudig

Breaking

Thursday, September 17, 2020

Menunggu Cak Nun di TIM

Jumat, pukul 19.30, dari Fakultas Kopi di Setia Budi, saya bersama Aris Yunandar akan pergi ke Taman Ismail Marzuki. Kami merencanakan hendak melihat Emha Ainun Najib, atau Cak Nun, dengan Kyai Kanjengnya. Niat awalnya, kami akan memesan Gojek. Tetapi, Rahmad Saputra, mahasiswa Pascasarjana di Unpad, berbaik hati untuk mengantarkan kami ke TIM. Dia sendiri, katanya, memiliki janji untuk berjumpa teman di tempat yang sama.

Jalanan Jakarta, saat itu, sudah mulai merangkak. Suara klakson kendaraan bertubi-tubi. Sepertinya semua berlomba untuk sampai ke tujuan dengan cepat. Tidak lama, kami pun sampai di lokasi. Orang sudah mulai berdatangan; tua, muda, anak-anak, laki-laki dan perempuan. Para pedagang pun menggelar lapak. Terlihat, ada kaos dengan tulisan khas Kyai Kanjeng yang digantung dengan hanger guna menarik perhatian pengunjung. Di sudut lain, juga ada pedagang yang menjual buku-buku karya Cak Nun. Terlihat antusiasme.

Perut saya mulai terasa lapar. Lihat kanan-kiri, ada angkringan. Gerobak jajanan ringan khas Yogyakarta. Nasi kucing, tempe, bakwan dan jahe disajikan di sana. Itu penganan khas Yogyakarta, kota di mana Cak Nun menapaki diri sebagai budayawan besar Indonesia.

Saya mengajak Aris ke angkringan. Dia menolak. Mungkin dalam benaknya angkringan hanya tempat makan biasa. Pun, sepertinya dia sudah mulai kenyang. Walau nanti, juga ke angkringan, untuk memesan kopi tubruk dan membeli dua bakwan.

Namun, bagi saya yang pernah dua tahun tinggal di Yogyakarta, angkringan adalah sesuatu hal yang berbeda, Melihat angkringan, sedikit mengobati rasa rindu untuk kembali menjenguk kota itu; Malioboro, Sagan, KABY, Balai Gadeng, Lempuyangan, dan tentu saja Sapen. Saya kemudian memesan jahe susu, 3 bungkus nasi kucing dan 2 potong bakwan. Lumayan mengganjal perut. Selesai membayar, kami mencari tempat duduk lesehan yang nyaman. Orang yang datang belum terlalu ramai. Kami pun duduk di atas spanduk bekas yang digelar.

Acara masih belum dimulai. Cak Nun belum juga tampak, walau waktu sudah mulai bergerak semakin malam. Lalu, mulai ada yang berbicara di atas panggung. Namun, bukan Cak Nun — orang yang membuat kami datang ke TIM. Saya memperhatikan lekat-lekat, sepertinya para santri Cak Nun.

Ada sekitar enam sampai tujuh orang di atas panggung. Pakaian mereka terlihat santai. Dengan logat Jawa Timuran, mereka meminta kepada para hadirin untuk membuat lingkaran, yang berisi tujuh sampai sepuluh orang. Lingkaran dibuat dengan cepat. Sepertinya para peserta itu, sudah terbiasa dan akrab dengan acara ini. Saya dan Aris bergeming. Duduk saja.

Dari atas panggung, kami diarahkan — untuk menyambut tahun 2018 yang sebentar lagi akan tiba– perlunya menyusun satu gagasan untuk Indonesia. Mereka menamakan dengan Piagam Maiyah. Piagam ini diharapkan dapat menekan ketegangan akhir-akhir ini di Indonesia, akibat politik yang semakin tidak bersahabat. Piagam tersebut akan disusun dari pandangan para jamaah yang hadir di TIM malam itu.

Lingkaran itu dibuat. Kurang lebih, ada sekitar 100 lingkaran. Kami masih mematung, sampai lingkaran itu yang datang menghampiri kami. Tiga puluh menit untuk mendiskusikan gagasan tersebut. Ada yang bersemangat. Ada yang biasa saja.

Setelah dibicarakan di dalam lingkaran, maka ada beberapa wakil menyampaikannya di depan umum. Berbicara tentang hal-hal apa yang harus dilakukan. Banyak ide-ide yang ditampilkan. Namun, kami hanya menunggu Cak Nun, yang belum juga muncul.

Waktu sudah mulai bergerak. Saya gelisah. Rasa ngantuk mulai menyerang. Aris terlihat santai. Tetapi sepertinya, dia sudah mulai bosan.

Tidak lama, yang ditunggu pun tiba, Cak Nun bersama personel kyai Kanjeng naik ke atas panggung. Lalu dimulailah musik khas dari Kyai Kanjeng, yang penuh dengan nuansa etnik.

Orang semakin ramai. Tidak ada lagi tersisa tempat untuk duduk. Semakin sesak. Asap rokok mulai menyerang, kanan dan kiri. Namun, Cak Nun masih belum juga berbicara.

Para personel Kyai Kanjeng mulai melakukan lakon yang satire. Para penonton tak berhenti tergelak. Saya juga ikut. Aris juga tertawa, tapi tidak selalu. Para pelakon lebih sering menggunakan bahasa Jawa. Ada beberapa kosakata yang saya paham, walau lebih banyak yang tidak mengerti. Namun, tetap ikut tertawa, karena sepertinya lucu. Saya kira, Aris merasa, saya paham dengan baik bahasa Jawa. Padahal tidak.

Waktu sudah mulai bergerak. Semakin larut. Aris akhirnya lebih memilih pulang. Sepertinya dia tidak terlalu menikmati. Terlebih, karena Cak Nun yang kami tunggu belum juga berbicara. Walau dia sudah duduk di atas panggung dari tadi. Sementara itu, asap rokok mengepul tanpa ampun, bahkan semakin ganas.

Saya masih duduk. Mencoba menikmati berbagai lakon. Orang semakin ramai. Datang tiada putus. Tidak terlihat penat. Malah semakin antusias. Lontaran-lontaran berbahasa Jawa dari para pelakon disambut dengan tawa yang keras. Sepertinya, walau di Jakarta, menggunakan bahasa Jawa tetap lebih mengena. Terutama ketika membuat humor.

Saya akhirnya menyerah, memutuskan menarik diri. Susah payah keluar dari kerumunan penonton yang semakin menyemut. Sampai di pintu gerbang TIM, saya melihat ke arah panggung, mencari Cak Nun. Ternyata, Cak Nun yang ditunggu-tunggu itu, masih belum juga berbicara. Apes benar.

BA, Jakarta 2017.

Catatan: Saya menulis ini, di sela-sela megikuti pelatihan Junalisme Sastrawi Yayasan Pantau. Tulisan ini awalnya, sudah dipublikasikan di platform Steemit tiga yang lalu. Setelah merapikan beberapa hal, baik teknik maupun alur penulisan, kembali dipublikasikan di media ini.

Ilustrasi: Republika

No comments:

Post a Comment