Oleh: Muhammad Ihsan Sulis*
“Peran ulama dan santri dalam perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa dan negara sangat besar, juga dalam menjawab serangan imperialisme Barat dan Timur,” (Ahmad Mansur Suryanegara, Sejarawan & Penulis Buku Api Sejarah).
Berbicara sejarah Indonesia, maka tak dapat dipungkiri pesantren memiliki pengaruh yang tak bisa dipandang sebelah mata. Dari rahim pesantren telah banyak tokoh dilahirkan. Saifuddin Zuhri, H. Abdul Karim Amrullah (Hamka), Abdurrahman Wahid, hanya beberapa contoh dari produk pesantren.
Kiprah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua juga telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan ummat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah eksis di tengah masyarakat selama enam abad (mulai abad ke 15 hingga sekarang) dan sejak awal berdirinya pesantren telah menawarkan pendidikan kepada mereka yang masih buta huruf. Pesantren juga pernah menjadi satu-satunya institusi pendidikan milik masyarakat pribumi yang memberikan konstribusi sangat besar dalam membentuk masyarakat melek huruf (literacy) dan melek budaya (cultural literacy).
Jalauddin (Kapita Selekta Pendidikan Indonesia, 1990) bahkan mencatat bahwa paling tidak pesantren telah memberikan dua macam kontribusi bagi sistem pendidikan di Indonesia. Pertama, adalah melestarikan dan melanjutkan sistem pendidikan rakyat. Kedua, mengubah sistem pendidikan aristokrasi menjadi sistem pendidikan demokratis.
Kajian tentang pesantren dewasa ini juga gencar dilakukan. Beberapa Riset mengenai pesantren yang telah dilakukan, di antaranya oleh: (1). Zamakhsyari Dhofir, ditulis pada tahun 1980 dengan menggunakan pendekatan antropologis dalam penelitiannya yang dipersembahkan untuk The Department of Antropology and Sosiology, Australian Nasional University, Canbera; (2). Tahun 1970, riset tentang pesantren dilakukan sarjana Jerman, Alois Moosmuller dengan pendekatan historis dalam karyanya Die Pesantren Auf Java (Frankfurt, 1989) ;(3). Koleksi isu kontemporer dunia pesantren juga bisa ditemukan dalam dua karya Manfred Oepen and Karcher Wolfgang, The Impact of Pesantren in Education and Comminity Development in Indonesia (Jakarta,1988); (4). Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren, (Jakarta : 1985); (5). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, yang ditulis pada tahun 1995 oleh sarjana Belanda Martin Van Bruinessen; (6). Dan terbaru oleh Ahmad Baso, Pesantren Studies, Pustaka Afid.
Para peneliti menaruh minat yang besar pada kajian ini bukan tanpa alasan, melainkan karena pesantren telah banyak memainkan peran penting dalam perjalanan bangsa Indonesia khususnya. Baik secara sosio-historis maupun sosio kultural. Sehingga wajar jika Abdurrahman Wahid memosisikan pesantren sebagai subkultur tersendiri dalam pelataran dan kultural masyarakat dan bangsa Indonesia.
Menurut Abdurrahman Wahid ada tiga elemen yang mampu membentuk pondok pesantren sebagai sebuah subkultur, yaitu: pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooperasi oleh negara, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dan sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas (prolog Abdurrahman Wahid dalam Pesantren Masa Depan, 1999).
Di luar pulau Jawa, pesantren disebut dengan nama lain, seperti surau di Sumatera Barat, dayah di Aceh dan pondok di Thailand dan beberapa daerah lain. Kata dayah sendiri yang akan menjadi objek kajian ini secara etimologi berasal dari bahasa Arab zawiyah. Istilah zawiyah secara literal bermakna sudut, yang diyakini oleh masyarakat Aceh pertama sekali digunakan adalah sudut masjid Madinah ketika Nabi memberi pelajaran kepada para sahabat di awal Islam. Kata zawiyah/dayah dipahami sebagai pusat aktivitas agama dan kehidupan sufi yang memiliki kebiasaan menghabiskan waktu di perantauan (atau dikenal dengan istilah meudagang).
Pesantren dalam Panggung Kemerdekaan Indonesia
Tanpa terasa kemerdekaan negara Republik Indonesia sejak diproklamirkan 17 agustus 1945 silam, kini telah memasuki usia 75 tahun. Usia yang tak lagi muda tentunya, namun tak terlalu tua juga jika dibandingkan dengan negara adikuasa Amerika Serikat yang telah berusia 238 tahun sejak diproklamirkan kemerdekaannya 4 juli 1776.
Berbagai lika-liku pun telah dilalui bangsa ini, dimulai dari masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), masa demokrasi terpimpin (1959-1966), Orde Baru (1966-1998), Era Reformasi 1998-sekarang, hingga pergantian presiden untuk yang ketujuh kalinya dimulai dari Soekarno hingga Joko Widodo.
Telah banyak asam-manis yang dirasakan bangsa ini menapaki usia kemerdekaan yang ke 75 kali ini. Cobaan dan rintangan perlahan dapat diatasi dengan kesabaran dan berbagai kenikmatan dilalui dengan penuh rasa syukur. Di balik kemerdekaan negara Indonesia, kita patut menapak tilasi aktor-aktor yang berjasa didalam menyukseskan kemerdekaan.
Pesantren adalah salah satu lembaga yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh kemerdekaan yang selanjutnya juga menjadi tokoh bangsa, dari rahim pesantren lahir para pejuang yang dengan semangat fisabilillah, mereka tak gentar melawan para kolonialis.
Sebut saja di antaranya; HOS Cokroaminoto pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah juga alumni pesantren. KH. Mas Mansur, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Kahar Muzakkir adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh.
Sesudah kemerdekaan, alumni pesantren terus memainkan perannya dalam mengisi kemerdekaan. Di antaranya, H.M. Rasyidi (alumnus Pondok Jamsaren, Menteri Agama RI pertama), Mohammad Natsir (alumnus Pesantren Persis menjadi Perdana Menteri), KH. Wahid Hasyim (alumnus pondok Tebuireng), KH. Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi (alumnus Jamsaren, anggota Dewan Perancang Nasional), KH. Idham Khalid (alumnus Pondok Gontor, wakil Perdana Menteri dan Ketua MPRS).
Di era reformasi ini juga telah muncul sejumlah nama tokoh yang tidak lepas dari peran pendidikan pesantren, baik langsung maupun tidak langsung. Di antaranya, Amien Rais (pendiri PAN, ketua MPR RI), Abdurrahman Wahid (pendiri PKB, Presiden RI), Hidayat Nur Wahid (Presiden PKS, Ketua MPR RI), Hasyim Muzadi (Ketua PB NU), Nurcholis Madjid (Rektor Paramadina), Emha Ainun Najib (Budayawan) dan bahkan presiden SBY sendiri besar dari tradisi pesantren, ayahnya alumnus pondok moderen Gontor dan ibunya alumnus pondok pesantren Tremas. Demikian segelintir tokoh yang dilahirkan dari rahim pesantren dan masih banyak lagi para tokoh yang tidak mungkin kita sebutkan seluruhnya.
Dengan total jumlah sekitar 27 ribu pondok pesantren dan enam juta santri di seluruh Indonesia, kalangan pesantren memainkan peranan penting sebagai agent of change, agen perubahan ke arah manusia Indonesia yang berkeadaban tentunya. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pesantren tak dapat diragukan lagi peranannya bagi perkembangan Islam dan dinamisasi kebangsaan.
Sehingga tidak salah jika Dokter Soetomo pendiri Budi Utomo menjatuhkan pilihanya pada sistem pesantren untuk mengisi idealisme kaum pergerakan dan untuk menimba banyak hal dari sistem pesantren, terutama untuk mengisi ideologi kebangsaan kita dan memperkuat “keboedajaan kita jang tidak ataoe sedikit sekali diperhatikan dalam sistem sekolah barat”. Dalam hal ini, gerakan Dokter Soetomo mampu menghadirkan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memberikan kontribusi besar terhadap kemerdekaan.
Dokter Soetomo (1888-1938) berhasil mempertahankan tradisi lama yang dimiliki pesantren tanpa menafikan inovasi di era kekinian. Soetomo menyebut sejumlah karakter yang hidup pada sistem pesantren sehingga layak mengisi ideologi kebangsaan dan keindonesiaan, di antara karakter tersebut; Pertama, “Pengetahoean pada moerid-moeridnja”, Kedua, “memberi alat-alat goena berdjoang di doenia dan ini”, Ketiga, “pendidikan jang bersemangat kebangsaan tjinta kasih pada noesa dan bangsa choesosnya dan pada doenia dan sesama oemmatnja oemumnja”, Keempat, “ moerid-moerid akan menjediakan diri oentoek menundjang keperloean oemoem”, Kelima, “kekuatan batin dididik; ketjerdasan roh diperhatikan dengan soenggoeh-soenggoehnja, sehingga pengetahoean jang diterima olehnja itu akan dapat dipergoenakan dan disediakan oentoek menjalani keperloean oemoem teroetamanja.”
Selain itu, menurut Soetomo ada beberapa hal yang mesti dipertahankan oleh pesantren sebagai ciri khas dan karakternya; Pertama, pesantren sebagai pusat pendidikan kebangsaan. Pendidikan Islam yang berkarakter ke-Indonesia-an. Penuh dengan semangat pengabdian; mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Meningkatkan kecerdasan emosional, spritual, dan intelektual.
Kedua, tentang persatuan dan kesatuan. Dengan persatuan, kekuatan akan semakin utuh. Dalam kehidupan bangsa ini, penuh dengan keberagaman: budaya, paham pemikiran, agama, partai politik, dan seterusnya. Namun, perbedaan akan menjadi kekuatan jika memiliki semangat kebersatuan dalam memajukan bangsa.
Semboyan yang mesti menjadi pegangan menurut Soetomo: ”Bergerak dan bersatoe kalaoe mesti, berpisah kalaoe perloe.” Dengan kata lain, pesantren sebagai elemen pemersatu dengan menusukkan nilai-nilai keislaman pada ideologi kebangsaan. Dengan ini, akan lahir kesetaraan pemberdayaan.
Ketiga, Anti kolonialisme. Pesantren diposisikan sebagai lembaga yang mandiri tanpa mengantungkan diri pada pemerintah. Hingga saat ini, tanpa pemerintah pun pesantren akan terus berkembang, tetap merdeka dari segala doktrin pihak lain termasuk pemerintah. Bahkan, pesantren terus melakukan perlawanan melalui gerakan tradisi, sehingga bangsa ini benar-benar merdeka tidak hanya sekadar nama, tapi merdeka seutuhnya. Bahkan, bagi Soetomo, sekolah model HIS adalah ”racun bagi anak Indonesia”.
Keempat, kitab klasik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Kitab berbahasa arab, apa pun warnanya, merupakan identitas pesantren yang jika tiada, mengurangi kesaktiannya.
Bagi Soetomo, pesantren tak cukup hanya bertahan dengan kesalafannya. Pesantren mesti ikut andil dalam mengisi kemerdekaan di era kekinian tanpa menafikan karakter yang menjadi ciri khas pesantren itu sendiri.
Dalam konteks kekinian, Pertama, pesantren menjadi motor penggerak kebangsaan. Pesantren dihadirkan olehnya tanpa membaur dengan pergulatan modernisasi. Pesantren dikokoh-tegakkan dengan pendiriannya yang asli. Pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang kolot yang harus tunduk pada penjajah.
Kedua, Gerakan-gerakannya mampu memberdayakan masyarakat di berbagai lini, politik, pendidikan, ekonomi, agama, dan budaya. Inilah cikal bakal kemerdekaan yang seutuhnya.
Peran pesantren telah tampak kepada kita sejak pra kemerdekaan hingga saat ini. Pesantren ikut andil dalam pemberdayaan masyarakat, lebih-lebih dalam persoalan pendidikan. Pesantren merupakan bagian dari pendidikan nasional yang telah ada sebelum kemerdekaan dan bahkan sejak kedatangan Islam ke negeri ini. Karena Secara historis, keberadaan pesantren hampir bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia.
Islam sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transformasi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim). Dan di Indonesia proses ini berlangsung melalui pesantren. Pesantren berakar pada kepercayaan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikannya pun bergantung pada animo masyarakat. Tak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada pesantren, hingga pada pandangan bahwa pesantren adalah milik masyarakat, maka eksistensi pesantren tetap terjaga dengan baik dan sempurna.
Begitu urgennya pengaruh pesantren dalam meraih kemerdekaan, sehingga wajar jika pemerintah menetapkan Hari Santri Nasional. Terlepas dari tanggal yang mestinya, apakah 1 muharam yang bersamaan dengan hijrah Nabi, ataukah tanggal 21 oktober yang merupakan hari lahirnya resolusi jihad yang dipelopori oleh Kiai. Hasyim Asy’ari dan para santrinya, yang selanjutnya melahirkan peristiwa 10 November yang kita kenal dengan hari pahlawan. Yang jelas hal tersebut adalah sebuah upaya mempertergas eksistensi kiai, santri, dan pesantren dalam mewujudkan kemerdekaan di negeri ini, juga sebagai wujud balas jasa. Wallahua’lam.
*Muhammad Ihsan Sulis adalah Founder Santriglobal.com, Dewan Pengajar di Dayah MUQ Bustanul ‘Ulum, Langsa.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: Majalah Santunan, 1980
No comments:
Post a Comment