Meninjau Ulang Acehnologi Sampai Berulang-Ulang (Apa Gak Capek?) - bagbudig

Breaking

Thursday, August 13, 2020

Meninjau Ulang Acehnologi Sampai Berulang-Ulang (Apa Gak Capek?)

Beberapa hari yang lalu, Acehnologi sebagai karya berjilid-jilid mengenai studi keacehan ditulis oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) dibicarakan oleh  kedua muridnya yaitu Ramli Cibro dan Zulfata. Diskusi itu berjudul ‘Meninjau Ulang Acehnologi’ yang melayang-layang atau meminjam istilah Leslie A. White “Ibarat pelaut tanpa kompas dan jangkar.”

Ramli Cibro memberikan pendapat bahwa Acehnologi adalah aktivitas akademis biasa yang dimasak dengan linguistik-semantik dan antropologi-fenomenologi, sedangkan Zulfata tidak mempunyai posisi yang jelas, sembari mencibir Acehnologi karena doyan ‘memborong teori’, dan sekaligus tak mempunyai manifesto yang jelas.

Kedua-duanya (bahkan Acehnologi yang dibicarakan pun) masih bermain-main di tafsir dan takwil mengenai Aceh terkait makna-pemaknaan, identitas dominan dan identitas devian, yang dilengkapi dengan berbagai pendadaran dengan gaya tukang dongeng yang fasih tanpa menyentuh realitas objektif Aceh itu sendiri.

Sebagai tambahan, saya benar-benar tidak tertarik dengan Acehnologi melalui penjelasan Zulfata yang pada hakikatnya Zulfata tidak menjelaskan Acehnologi melainkan cenderung berbicara mengenai Agapolisme berdasarkan landasan teologi-interkonektif dan menganggap Agapol telah mampu menghakimi Acehnologi, padahal keduanya hanya narasi yang dibangun sebatas mistifikasi ideologis atas realitas di Aceh.

Dari Abstrak ke Abstrak

Acehnologi, dan pembicaraan kedua narasumber terkait Acehnologi belum berusaha menyentuh realitas objektif-material, sebab keasyikan bermain-main dengan semantik Descartes dan ide-ide yang terlalu abstrak untuk dibawa ke dalam alam riil. Sehingga membicarakan Aceh, kebanyakan terjaring dalam relativisme dogmatis. Wacana keacehan harus melewati bentukan dari realitas yang terjadi pada sosial kemasyarakatan orang Aceh, sehingga studi mengenai Aceh tidak lagi-lagi menganut sistem relativisme.

Realitas objektif inilah yang mestinya dikemukakan lebih dahulu, sehingga jika Acehnologi hendak dijadikan sebagai ilmu keacehan atau studi yang dijadikan kurikulum, kita harus bertanya apakah Acehnologi yang diposisikan sebagai kerangka pemikiran telah sanggup menjelaskan realitas. Untuk itu, saya meragukan keabsahan Acehnologi sebagai landasan ilmu otentik mengenai keacehan, karena Acehnologi bukan alat perkakas, tapi wadah yang mengumpulkan kasus-kasus keacehan dan memanennya di wadah. Hal itu tidak dapat dikatakan ilmu, begitupula antropologi tidak dapat dikatakan ilmu karena sejak dedengkot antropologi seperti Hume dan Comte memang mendirikan antropologi sebagai wadah bagi ‘tukang panen buah’.

Aceh tentu saja menjadi Aceh karena stuktur objektif yang tidak kasat mata, yang dimanifestasikan menjadi mekanisme kehidupan sosial orang Aceh. Realisme kritis tepat untuk menuliskan Aceh, karena ia bersumber dari muara singularitas dan pluralitas pengindraan yang membentuk struktur metodologis dengan dialektika.

Aceh bukan sesuatu yang sifatnya sui generis, justru Aceh melalui strukturnya mengikuti perubahan sembari berusaha untuk terus-menerus menjadi Aceh. Realitas tentu bisa menjadi tipuan, oleh karena itu dalam kerangka historis, realitas harus dibekukan atau diabstraksi agar dapat mengurai kategori-kategori yang bertumpu pada stuktur yang dapat dijadikan sebagai jawaban.

Setelah memahami realitas objektif inilah maka tersingkap secara aktual peristiwa-peristiwa ruang dan waktu mengenai Aceh. Sehingga dapat dicari kesimpulan untuk studi keacehan bahwa infrastrukturlah yang membentuk suprastruktur. 

Jadi, kita tak perlu menjelaskan realitas orang Aceh melalui pembahasan ‘kearifan lokal’ (atau bahasa agapolnya ‘romantisisme’), lalu berduyun-duyun mendefinisikannya dengan semantik dan lain-lain itu. Pun, kalau memang masih mekhakhat (bahasa Indonesia: bersikeras) antropologis dan studi wilayah tak ubahnya juru dongeng di mimbar keliling.

Sepanjang amatan saya, fokus kajian Acehnologi adalah filologi, etnografi, dan lokalitas. Di sini, Acehnologi menolak konsep universalime Aceh yang diwariskan oleh kolonialisme.

Acehnologi berisi Aceh sebagai kajian eksperiental, bahwa heterogenitas itu memang terdapat dalam budaya dan agama, tapi di situlah letak curam itu, KBA dalam Acehnologi masuk pada perangkap esensialisasi Aceh. KBA menyajikan Aceh dalam Acehnologi berasal dari sumber data teks (kitab kuning, pesantren, dll), pengalaman (seputar GAM dan tsunami), dan ritual (kenduri, peusijuk) sebagai bentuk dari agama.

Acehnologi, seharusnya tidak hanya dipandang sebagai studi kawasan semata, tetapi juga sebagai objek sejarah yang dibentuk, disubjektivikasi. Jika diterawang lagi, disinyalir memiliki sifat tersembunyi bernama reduksionistifikasi Aceh secara luas. Yang jangan-jangan telah menjangkiti segenap intelektual Aceh untuk mencumbui imajinasi pribadi atau kelompok mengenai Aceh itu sendiri, tanpa sadar juga mengekor gaya kolonial dalam menuliskan Aceh.

Perbincangan mengenai Acehnologi memang belum selesai, sebagai karya ‘giring-menggiring’ Acehnologi cukup sebagai gambaran kita dalam menemui Aceh secara mentah, sebagai jalan utama untuk mengungkat realitas objektif dalam diri Aceh. Tapi ya, kalau kamu tetap bermain-main dengan hal abstrak tanpa peduli bahwa sejak dahulu Aceh memang dibentuk oleh struktur kapital, ya sudah silakan! Apapun itu, aku tetap sayang kamu, meskipun kamu suka merajuk. 

Ilustrasi: Steemit KBA

No comments:

Post a Comment