Ottoman: Daulah atau Khilafah? - bagbudig

Breaking

Wednesday, July 8, 2020

Ottoman: Daulah atau Khilafah?

Oleh: Ibn Rajab

Ada beberapa argumentasi untuk meluruskan penisbatan khilafah bagi Ottoman.

Pertama, sultan Ottoman bukan dari suku Quraisy sebagaimana hadits “Para imam dari Quraisy.”

Yang menggunakan dalil tentang hak Quraisy ini adalah manusia termulia setelah para nabi dan rasul, yaitu Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu anhu. Makanya Imam al-Mawardi tidak menganggap pendapat di luar pendapat ini. Jumhur fuqaha sepakat tentang syarat Quraisy ini.

Adapun Ottoman berasal dari suku Kayi, salah satu suku Mongol di Asia Tengah. Mereka meninggalkan kampungnya karena kekeringan.

Kedua, Ottoman tidak menaungi umat Islam secara keseluruhan.

Selain Ottoman, juga ada Daulah Andalusia, Daulah Mughal, dan beberapa daulah di Afrika. Ottoman bagian Timur dibatasi oleh Daulah Safawi. Ottoman hingga saat terakhir tidak pernah memimpin seluruh wilayah umat Islam. Baik Mughal maupun Safawi tidak mengakui Ottoman sebagai khilafah.

Banyak wilayah muslim yang tidak dibawahi Ottoman. Nejed, Afrika barat, Persia, Asia Tengah, Asia Selatan atau anak benua India, dsb. Intinya, wilayah yang tidak dijangkau Ottoman jauh lebih luas dan penduduknya jauh lebih banyak.

Ketiga, raja Ottoman sejak awal tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai khalifah.

Daulah Mamluk yang melanjutkan Daulah Abbasiyah tidak menyebut raja-raja mereka dengan khalifah. Mereka sadar bahwa mereka bukan orang Quraisy. Begitu juga raja-raja Ottoman juga tidak menyebut diri mereka khalifah.

Ottoman di era Salim I menyerbu Daulah Mamluk dan menggantung raja Mamluk terakhir di Kairo tahun 1517. Saat itu tidak ada berita perayaan berpindahnya kekhalifahan ke Ottoman.

Buku-buku sejarawan Ottoman seperti Ulaya Shalabi atau Ibrahim Effendi, tidak ada yang menyebut soal perpindahan jabatan khalifah. Begitu juga sejarawan Mamluk, yaitu Ibnu Iyas.

Baiat sebagai khalifah baru dilakukan di era Sultan Abdul Hamid II ketika diangkat pada tahun 1876. As-Shalabi menerangkan proses baiat khalifah dilakukan di Istanbul dan dihadiri internal Ottoman sendiri. Baiat khalifah ini menjadi ironi karena saat itu Ottoman telah jaut merosot. Muzakkirat Sultan Abdul Hamid II menunjukkan kelemahan sultan yang sangat parah.

Ketika Al-Afghani yang menjadi penasehat meminta Sultan Abdul Hamid II untuk mengubah sistem syura, Sultan tidak mau. Hingga Al-Afghani menganggap Ottoman memang tidak layak menjadi khilafah.

Di sisi lain, keyakinan bahwa khalifah haruslah dari Arab Quraisy mengkhawatirkan Sultan Abdul Hamid II. Dia kemudian memerintahkan pelarangan kitab-kitab ilmu kalam, aqidah, hadits, atau tafsir yang isinya berbicara tentang khilafah.

Keempat, komitmen terhadap penegakan syariat Islam.

Tujuan pokok khilafah adalah menjaga pelaksanaan syariat Islam. Hal ini ditunjukkan dengan pemberlakuan hukum Islam dalam segala lini kehidupan.

Sejarah Ottoman menunjukkan hal-hal kontroversial. Raja Orkhan yang berkuasa setelah Osman, mengembangkan sekte Bektashi yang merupakan sinkretisme sufi wihdatul wujud, Syiah dan Nasrani. Memang sempat dibubarkan oleh Sultan Mahmud II tahun 1826, tapi dihidupkan lagi sultan Abdul Majid I pada tahun 1839.

Begitu pula Ottoman telah mengganti hukum-hukum Islam. Contohnya hukum rajam bagi pezina diganti dengan denda atau penjara. Akibatnya tempat prostitusi dapat bebas dengan hanya membayar sejumlah uang. Di era Sultan Abdul Hamid II, tampak bahwa pesta-pesta minuman keras juga tidak bisa dihapuskan oleh sultan. Wazir Agung, Midhat Pasha, adalah seorang pemabuk dan sering menyelenggarakan pesta miras di rumahnya. Parahnya, hal ini diketahui sang sultan namun tidak mampu dilarang.

Kelima, sistem keuangan.

Menurut sejarawan Irak Dr. Abdul Aziz ad-Douri, pada sistem kekhalifahan sistem keuangan terdesentralisasi. Uang, pajak, dan hasil-hasil dari seluruh wilayah bagian, seluruhnya kembali ke wilayah itu dan dipergunakan untuk kepentingan wilayah itu sendiri. Hanya sejumlah kecil yang dikirim ke pusat. Inilah yang terjadi pada Bani Umayyah dan Abbasiyah.

Adapun sistem kekaisaran dan kolonial, seluruh pendapatan dikirim ke pusat. Selanjutnya daerah-daerah tidak mendapatkan apa-apa kecuali apa yang dibagikan dari pusat. Jadi pusat bertambah kaya, sedang daerah tetap terbelakang.

Pendapatan pejabat Ottoman fantastis, memiliki banyak properti dan ratusan bahkan ribuan budak. Pejabat-pejabat itu juga mendapat bagian dari upeti dari wilayah-wilayah bawahan.

Kesimpulan

Ottoman bukanlah sebuah khilafah karena secara syariat dan fakta, tidak memenuhi kriteria. Ottoman adalah sebuah kerajaan (daulah) di antara kerajaan-kerajaan lain yang pernah ada.

Jadi tanggal 3 Maret 1924 bukanlah runtuhnya khilafah terakhir, namun runtuhnya Daulah Ottoman. Wallahu a’lam.

Bacaan-bacaan dari karya:

  • Al-Mawardi
  • Ad-Dumaiji
  • As-Shallabi
  • Fathi Zagrut
  • Muzakkirat SAH-II
  • dll

*Dikutip penuh dari FB Ibn Rajab

Diedit seperlunya oleh Bagbudig.com

Ilustrasi: hurriyet

No comments:

Post a Comment