Guru Pinto: Ulama Sufi Kontekstual Singkel - bagbudig

Breaking

Wednesday, July 15, 2020

Guru Pinto: Ulama Sufi Kontekstual Singkel

Oleh: Zulfikar RH Pohan

Dari empat ulama Aceh Singkil kontemporer, Abuya Zamzami, Abuya Batu Korong, Abuya Tanah Merah, dan Guru Pinto ~ masing-masing mereka mempunyai kepribadian dan gaya pemikiran keislaman yang berbeda-beda. Tulisan ini tidak sedang membandingkan ulama-ulama Singkel, namun lebih sebagai upaya reflektif menuju (semoga) penelitian akademik pada salah satu ulama Singkel, yaitu Guru Pinto.

Beliau adalah ulama yang low profile, pun banyak perbuatannya melampaui zaman, juga pandangannya kepada dunia kesenian yang melawan arus pemikiran keislaman di zamannya. Guru Pinto masih dibicarakan secara sayup-sayup, sebagian memanggilnya Abuya Pinto dan sebagian besar lainnya memanggilnya Guru.

Sampai saat ini sangat sedikit ulasan akademik maupun reflektif mengenai Guru Pinto. Yang ada hanya tuturan-tuturan lisan mengenai dirinya.

Beliau mendirikan pandangan Islam yang progresif, alih-alih mendirikan Islam yang dekat dengan populisme. Memang, kecenderungan ulama-ulama karismatik pasca kemerdekaan, ialah menghindari populisme. Anehnya, seperti lazim terlihat saat ini di mana maraknya pandangan ulama maupun ustaz yang mendirikan gagasannya atas dasar banyaknya umat yang condong berpikir pada opini umum.

Nadirsyah Hosen sering membuat olok-olokkan terhadap jenis pemuka agama seperti itu, ia menyebutnya ‘ulama yang menjilat umat’.

Sosok Guru Pinto sama sekali tidak condong pada bagaimana umat memandangnya, dan bagaimana ia seharusnya memberikan ceramah dan pandangannya agar tetap diikuti umat. 

Dari Sulampi ke Labuhan Haji

Sebelum belajar ke pesantren Darussalam, Guru Pinto belajar pada Guru Nuh dari Sulampi, Khanto Panjang. Siapa Guru Nuh? Guru Nuh merupakan tokoh agama Singkel yang jarang sekali disebutkan, juga lebih tenar sebagai si penembak jitu, beberapa orang tua Singkel menyebutnya ‘Nuh si Tukang Tembak’.

Disebutkan, bahwa ketika Guru Pinto belajar Tarekat ke Darussalam al-Waliyah Labuhan Haji, keilmuannya telah melampaui Khalifah, sampai kemudian dalam kurun waktu satu malam bersama Guru Pinto, sang Khalifah merasa ketinggian ilmu Guru Pinto melampaui apa yang ia ajarkan. Guru Pinto kemudian diserahkan kepada Abu Muda Waly. Menariknya, Abu Muda Waly merasa kagum dengan pengalaman dan pengetahuan makrifat Guru Pinto, dan mengganti kupiah Guru Pinto yang tadinya hitam, menjadi putih. Sampai akhir hayatnya, Guru Pinto tetap mengenakan kupiah putih atas petuah Abu Muda Waly. 

Abu Muda Waly penasaran, siapa gerangan gurunya Guru Pinto, Guru Pinto menyebutkan ‘Nuh’, ialah Guru Nuh. Kemudian Guru Nuh, dipanggil untuk bertemu secara terhormat kepada Abu Muda Waly. Setelah melewati pembicaraan empat mata, Abu Muda Waly memaklumi ketinggian ilmu makrifat Guru Pinto dengan gurunya yang sekelas Guru Nuh. 

Tak banyak yang bisa penulis sebutkan mengenai Guru Nuh, penulis berharap mendapatkan banyak hal mengenai keilmuan Guru Nuh untuk diangkat ke permukaan sebagai bagian dari khazanah keislaman Singkel. Namun, menarik untuk melihat bagaimana pengaruh Guru Nuh dalam diri Guru Pinto. 

Guru Pinto tidak menjadikan dirinya sebagai profil yang harus diagung-agungkan, ia hanya mengajari orang-orang yang datang berguru padanya, biasanya hanya sejumlah orang-orang yang tak sebanyak pesantren Abuya Batu Korong, Abuya Tanah Merah, juga Abuya Zamzami.

Pernah satu kali ada bantuan kepada pemuka agama Singkel berupa sepeda motor dari salah satu pengusaha. Ketiga Abuya Singkel mendapatkan motor, kecuali Guru Pinto. Kemudian ada yang melaporkan kepada Camat Usman Arifin tentang Guru Pinto yang tak kebagian motor. Saat itu Camat Usman Arifin buru-buru memberikan motor miliknya agar semua pemuka agama Singkel mendapatkan motor. Guru Pinto menolak habis-habisan, sampai beberapa orang berkali-kali membujuk Guru Pinto untuk menerimanya.

Guru Pinto dalam penuturan yang lain, jarang terlihat duduk sejajar dengan ketiga Abuya Singkel dalam undangan dari pesta-pesta adat. Ia lebih memilih duduk dengan masyarakat biasa. Hal ini, sangat aneh dan ganjil pada masanya. Bisa-bisa, tuan rumah pesta dituduh tak menghormati posisi pemuka agama. Namun, toh memang Guru Pinto saja yang tidak memedulikan penghormatan semacam itu. 

Guru Pinto dan Dua Kerat Pisang

Guru Pinto disebutkan pernah berjualan pisang untuk membeli kebutuhan dapur. Saat Guru Pinto hendak menjajakan pisangnya yang hanya dua kerat dengan sepeda kayuhnya, orang-orang langsung mengerubunginya, menawarkan harga yang tinggi untuk dua sisir pisang. Guru Pinto menolak, bagi Guru Pinto, pisangnya adalah pisang biasa, tak layak untuk dibayar dengan harga yang amat tinggi, bahkan sampai sebesar 50.000 rupiah (saat ini kira-kira kisaran 300.000 rupiah). Tapi pelanggannya tetap memaksa. 

Setelah itu, Guru Pinto enggan kembali berjualan pisang sendirian. Guru Pinto tidak ingin orang-orang membeli dagangannya hanya karena ia pemuka agama yang dihormati.

Penghormatan manusia memang cenderung palsu. Di samping itu, tak elok jika nantinya seorang pemuka agama berjualan suatu produk dengan mendompleng pada penghormatan masyarakat kepadanya, meskipun masyarakat di sekitarnya tidak menganggap demikian. 

Dari sini, kita mendapatkan pelajaran bahwa perihal akhirat seyogyanya dipisahkan dengan kepentingan dunia, tampak seperti ajaran sekulerisme. Tapi, dari respons Guru Pinto kita dapat belajar untuk mewaspadai keuntungan duniawi yang diobral habis-habisan dengan justifikasi keulamaan. ‘Ulama’ yang menjual produk jualannya dengan menyandingkannya dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis ialah kelompok-kelompok yang menjual agama dengan harga murah (al-Baqarah: 41).

Kita dapat melihat saat ini banyak oknum tokoh agama yang berjualan atau pun memberi endorse parfum, madu dan agen travel umrah misalnya lalu membawa pesan-pesan agama yang sakral agar produknya dibeli.

Satu-satunya Ulama yang Membolehkan Dendang

Salah satu kebijakan Guru Pinto yang dapat dikatakan kontroversial adalah membolehkan adanya Dendang Singkel. Di sisi yang lain, ketiga ulama Aceh Singkel sangat mengharamkan adanya Dendang Singkel di setiap pagelaran pesta-pesta adat di Aceh Singkil.

Sebagai catatan, Dendang Singkel dianggap sebuah ‘ritual’ tabu pada masanya, karena mengumbar syair-syair berisi rayuan kepada lawan jenis, juga roman cinta-cintaan Melayu, bahkan sebagian dari syairnya seringkali menyelipkan pesan-pesan cabul.

Abu Muda Waly sendiri sebagai patokan ulama-ulama Aceh Bagian Barat-Selatan termasuk Aceh Singkil, ketika berkunjung ke Singkel dan memberikan dakwah di lapangan Mariam Sipoli, memberikan fatwa bahwa Dendang Singkel haram dimainkan, karena merupakan kesenian dengan roman percintaan, tak hanya Dendang Singkel, berikut Tari Ambe-ambeken dari Singkel juga diharamkan. Abu Muda Waly, hanya membolehkan Takhi Biahat dengan kategori sunnah, karena menurut beliau merupakan kesenian yang mengajarkan bela diri.

Bahkan di masa pasca kedatangan Abu Muda Waly ke Singkel, banyak ustaz-ustaz lokal juga mengharamkan lagu-lagu Qasidah Islami. Di sini, Alm Abuya Batu Korong ikut berkomentar memberikan analogi menarik bahwa Dangdutan ibarat kotoran babi, sedangkan Qasidahan ibarat kotoran kerbau.

Sementara Guru Pinto, membolehkan Dendang Singkel, dan Tari-tarian lainnya. Menurut penuturannya, semua kesenian tergantung niat pendengar, dan niat pemain musik. Jika memang Dendang Singkel memuat syair-syair yang cabul, hal tersebut takkan mengganggu orang yang sama sekali tak tertarik dengannya. Guru Pinto alih-alih membatasi pemain dendang, beliau justru memberikan penekanan khusus pada niat si pendengar.

Kesenian memang tak bisa dibendung dengan apa pun, Guru Pinto tahu benar hal itu. Maka, mustahil untuk membatasi kebutuhan dasar manusia yang senang dengan hiburan-hiburan berupa dendang.

Sekali lagi, tanpa bermaksud membandingkan dengan ketiga Abuya Singkel lainnya, penulis memiliki pandangan yang menarik mengenai Guru Pinto sebagai prototipe Islam Singkel masa peralihan menuju Singkel yang lebih kompleks dengan dimulainya Singkel sebagai salah satu kabupaten di Aceh.

Guru Pinto memberikan pandangan baru yang progresif dalam memandang soal sosial kemasyarakatan sebab ia pemuka agama yang tak membuat jarak pada rakyat kebanyakan. Guru Pinto ialah pekerja, memanjat pohon mencari buah-buahan untuk kebutuhan keluarganya, dengan peci putih, kemeja putih lengan pendek yang kedodoran, dan sarung yang kependekkan mendakwahkan agama di setiap tanah Singkel. 

Guru Pinto tak ingin dikenal, tak ingin dihormati sebagai ulama yang berilmu tinggi. Tapi, toh orang Singkel tetap menaruh hormat dan menyebut namanya dengan sehormat-hormatnya sampai kini. Bagi saya, dan orang Singkel lainnya, Guru Pinto meskipun telah meninggal dunia sejak lama, beliau terlanjur berubah menjadi abadi. Wallahu a’lam

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: deviantart

No comments:

Post a Comment