Pancasila Sebagai Ilmu - bagbudig

Breaking

Wednesday, June 17, 2020

Pancasila Sebagai Ilmu

Oleh: Miswari

Indonesia dibangun berdasarkan kesamaan nasib yakni sama-sama dijajah Belanda. Kita semua se-Indonesia ini tidak ada yang sama. Warna kulit kita berbeda, bahasa kita tidak sama, dan tentunya budaya kita beda. Kita punya peluang memudahkan proklamasi karena ketika itu dideklarasikan, secara otomatis yang diproklamasikan itu secara teritori adalah semua negara bekas koloni Belanda.

Katakan saja kita punya kemudahan dalam urusan teritori. Tapi rumit soal budaya. Sumatera punya budaya yang lebih identik dengan Malaka ketimbang Sunda dan Jawa. Tetapi Sumatra diproklamasikan bersama Jawa dan lainnya. Kerebaragaman ini adalah tantangan bagi kita. Sekaligus peluang. Dengan perbedaan itu kita terus mengasah diri sehingga dapat tumbuh menjadi sebuah identitas baru-bersama sebagai identitas kebangsaan.

Semangat kesatuan-kebangsaan itu pernah tumbuh dengan baik tetapi dengan makna yang keliru dan itu hampir saja menghancurkan kita. Semangat persatuan bangsa Indonesia itu bukan menanggalkan budaya dan kearifan lokal masing-masih daerah. Justru persatuan itu adalah pengakuan akan adanya kemajemukan, keberagaman yang disatukan dalam bentuk integrasi. Tetapi selama ini tidak dipahami demikian.

Bahasa saja kita jadikan contoh. Seseorang yang nasionalis dan memiliki kesadaran persatuan bangsa bukan berarti harus melupakan bahasa daerahnya dan hanya belajar bahasa Indonesia. Tetapi dia harus memahami bahasa daerahnya tetapi juga menguasai dengan baik bahasa persatuan.

Demikian juga dengan adat istiadat dan kearifan lainnya. Masing-masing budaya harus tegak sebagai solusi bagi masyarakat di setiap daerah untuk menyelesaikan persoalan masing-masing. Persatuan bangsa bukan berarti harus menanggalkan identitas dan kearifan lokal masing-masing. Karena setiap daerah, setiap budaya, memiliki masalah yang berbeda dalam proses harmonisasi dengan alam sehingga melahirkan budaya yang berbeda.

Lantas, bagaimana menemukan persamaan dalam kebudayaan yang berbeda ini? Jawabannya adalah dengan menemukan asas mendasar dari manusia itu sendiri. Jadi prosesnya adalah kembali menggali asas kemanusiaan itu sendiri, bukan menemukan kesamaan dari keberagaman budaya. Budaya itu adalah produk manusia. Sebuah produk itu terlepas dari produsennya. Sehingga bila mencari kesamaan dari hasil produksi manusia lalu merangkainya dari produk berbagai identitas kebudayaan, maka rangkaian yang diestimasikan sebagai pemersatu itu tidak akan bertahan.

Khususnya sepanjang Orde Baru menyatukan bangsa dilakukan dengan pendekatan reduksi kearifan lokal. Masyarakat dipaksa untuk menanggalkan kearifan lokalnya dan dipaksa untuk menerima sebuah ajaran yang belum tentu tepat untuk mengatasi persoalan dalam konteks realitas yang mereka hadapi.

Ambil contoh ketika Pemerintah Orde Baru memaksakan masyarakat Jawa untuk mampu membaca huruf latin. Anggap saja karena paksaan itu mereka jadi tidak sempat belajar huruf Jawa. Sehingga mereka hanya menguasai referensi tentang moral, etos dan sebagainya hanya dikonsumsi dari ajaran melalui bahasa latin yang tidak sesuai untuk diterapkan dalam konteks budaya Jawa. Padahal referensi tentang moral, etos, dan lain sebagainya yang tepat untuk orang Jawa adalah dari literatur berbahasa Jawa.
Untuk itulah, kesatuan dan persatuan itu bukan dibentuk, bukan dikonstruksi tetapi ditemukan.

Persatuan dan kesatuan itu telah ada. Tinggal bagaimana menemukannya dan di manakah ia? Jawabannya adalah dalam diri manusia itu sendiri. Kesadaran primordial manusia tentang keesaan Tuhan, tentang kemanusiaan, tentang persatuan, tentang kebijaksanaan dan tentang keadilan adalah prinsip-prinsip yang merupakan bawah sadar manusia. Semua prinsip itu tidak perlu dikonsepsi dan dikonstruksi. Karena memang telah menjadi fitrah manusia.

Sebenarnya dasar agama juga merupakan fitrah manusia. Tetapi ketika agama dikodifikasikan, diotoritaskan, atau bahkan dilembagakan, maka masalah muncul. Kenapa? Karena setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami teks dasar (skrip, kitab suci, nash) agama. Sehingga akan muncul banyak ketidaksepakatan dengan “agama” yang telah dilembagakan itu, yang telah dikodifikasi dalam mazhab dan aliran yang lebih disucikan daripada esensi agama itu sendiri.

Agama yang hadir ke hadapan kita hari ini adalah bentukan sejarahnya yang tidak lepas dari kepentingan politik. Penguasa dalam sejarahlah yang telah membuat bentuk agama yang hadir ke hadapan kita hari ini sedemikian rupa. Bisa jadi pandangan keagamaan yang lebih sesuai dengan aslinya telah musnah dalam konstestasi, telah disingkirkan karena tidak sesuai dengan selera politik dalam sejarah.

Sebab itulah, untuk menemukan integrasi agama dan Pancasila, bukan dengan mencoba mencari titik temu antara kodifikasi fikih dan teologi yang disajikan di hadapan kita hari ini, melainkan menemukan kembali esensi agama. Esensi agama itu adalah nilai-nilai yang sesuai dengan fitrah manusia.

Secara primordial akal manusia menyadari keesaan Tuhan, menyadari pentingnya humanisme, menyadari pentingnya integritas, menyadari pentingnya menemukan hikmah dan menerapkan kebijaksanaan, dan menyadari bahwa keadilan itu adalah jalan kesejahteraan bersama. Semua kesadaran primordial itu adalah esensi agama.

Agama bukan benda asing yang turun dari langit, melainkan suatu aktualitas fitrah manusia. Landasan negara juga harus merupakan nilai-nilai fitrah manusia. Karena untuk menyatukan dan mengawetkan keberagaman bukan dengan mengkonstruksi aktualitas-aktualitas manusia, melainkan menggali esensi fitrah. Karena dalam kedirian yang esensial (primordial) itulah letak kesamaan.

Sayangnya agama yang sejatinya merupakan ajaran fitrah manusia telah dikonstruksi menjadi kodifikasi-kodifikasi rumit dan sistematis. Kodifikasi-kodifikasi itu merupakan perspektif subjektif dalam sejarah, dipertahankan dengan hegemoni dan mengeliminasi subjek-subjek lainnya. Sehingga bentuk keagamaan yang hadir di hadapan kita hari ini adalah konstruksi tertentu yang sangat subjektif dan akan sangat kontradiktif dengan subjek-subjek lainnya di hari ini.

Atas kesadaran itulah pendiri bangsa tidak menjadikan agama sebagai landasan negara. Mereka ingin dasar negara itu adalah sesuatu yang paling mendasar dari prinsip primordial manusia. Maka lahirlah Pancasila.

Pancasila tidak panjang, tidak lebar, tidak deskriptif, tidak dibangun berdasarkan eksplorasi literatur-literatur mutakhir. Pancasila digali dari prinspip dasar filosofi hidup masyarakat Nusantara yang juga merupakan prinsip dasar hidup seluruh umat manusia. Tetapi kenapa banyak manusia di berbagai belahan dunia bertikai? Karena mereka membangun dasar negara bukan dari prinsip dasar filosofi hidup tetapi dibangun berdasarkan sebuah kodifikasi yang telah dikonstruksi dan dijadikan sistem. Inilah yang membuat mereka menjadi bertikai, melakukan perang saudara sekalipun mereka seagama dan berasal dari satu suku.

Bangsa Indonesia harus menyadari betapa mulianya prinsip dasar hidup yang bernama Pancasila itu. Masyarakat Indonesia bisa hidup damai, rukun dan harmonis dalam sebuah kemajemukan yang sangat luar biasa. Mereka harus tahu sebabnya kenapa. Jawaban yang muncul itu dua. Elite akademik akan menjawab itu adalah karena Pancasila. Masyarakat umum akan menganggapnya karena memang sejak kecil mereka telah diajarkan untuk beriman kepada Yang Maha Kuasa, mencintai makhluk-makhluk Tuhan, hidup bersatu, bersikap bijak dan berkeadilan sosial. Keduanya benar.

Masyarakat umum memang tidak mendalami konsep-konsep filosofis dalam butir-butir Pancasila, apalagi membaca buku-buku tentang penjelasan dan deskripsi makna Pancasila. Tetapi mereka hidup berdasarkan fitrah mereka. Dan dari fitrah itulah butir-butir Pancasila diambil. Masyarakat tidak perlu sebuah ideologi. Ideologi itu adalah konstruksi sebuah identitas. Sebuah identitas itu non-kontradiksi sehingga meniscayakan adanya ideologi lain bersamanya.

Bila dilihat begini, maka ideologisasi Pancasila meniscayakan adanya ideologi lain dalam kehidupan manusia. Bila ini dilakukan di Indonesia, maka ketika menjadikan Indonesia sebagai ideologi, maka akan meniscayakan ideologi lain itu ada. Dan memang ideologi itu banyak.

Ketika menjadikan ideologi Pancasila sebagai prinsip hidup, maka harus ada ideologi lain (keniscayaan kemajemukan dari prinsip non-kontradiksi) yang menjadi sekunder. Ketika menganggap ideologi sebagai prinsip hidup, maka meniscayakan ideologi selain Pancasila juga dapat menjadi prinsip hidup. Di sinilah masalah muncul.

Dasar-dasar ajaran agama juga merupakan prinsip fitrah manusia. Tetapi agama ideologi tidak dikonstruksi dari kesadaran mendasarnya. Agama sebagai ideologi diproduksi dari konsep-konsep atau kodifikasi versi tertentu. Namun sebagai ideologi, agama maupun prinsip mendasar manusia lainnya tetap menjadi sebuah identitas yang tidak dapat meniscayakan identitas lainnya. Untuk itulah dasar negara yang layak itu adalah Pancasila karena lebih dekat dengan prinsip dasar manusia. Tetapi menjadikan Pancasila sebagai ideologi, kiranya bukan zamannya lagi.

Sebuah ideologi akan mudah ditinggalkan. Prinsip ideologi adalah doktrin. Sebuah ideologi itu adalah suatu konstruksi yang dilakukan oleh seseorang atau sebuah kelompok lalu didoktrinkan kepada banyak orang.

Ketika Pancasila dijadikan ideologi, maka ia akan dikonstruk oleh sekelompok orang dan dipaksakan kepada seluruh warga negara dengan dipaksa oleh kekuatan negara.

Sebuah ideologi adalah sesuatu yang dianut bukan dengan kesadaran tetapi dengan paksaan. Karena dipaksa, maka lama-kelamaan akan muncul gugatan. Akan muncul alternatif. Bila Pancasila dijadikan ideologi, sesuai dengan prinsip identitas dan non-kontradiksi, maka ideologi alternatif yang ditawarkan tentunya bukan Pancasila. Inilah masalahnya ketika Pancasila dijadikan ideologi. Pancasila menjadi sesuatu yang dipegang dengan paksaan dan ditinggalkan bila ada peluang.

Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia selalu ditawarkan, dipaksakan menjadi ideologi menggantikan Pancasila. Mereka yang menjadikan agama sebagai ideologi juga kurang memahami esensi keagamaan. Tetapi layakkah Islam menjadi ideologi negara? Jawabannya tidak. Karena Islam itu sesuatu yang sangat luas dan meniscayakan berbagai pemahaman terhadapnya.

Terdapat banyak masalah, terjadi berbagai gugatan kepada Pancasila dijadikan ideologi. Apalagi pada zaman serba kritis, serba terbuka, orang-orang menjadi tidak ingin dikekang oleh sebuah ideologi. Bahkan gugatan itu bisa muncul dari pejabat negara, kelompok yang dianggap paling loyal terhadap Pancasila. Ada yang mempertanyakan, kenapa agama selain Islam bisa diterima di Indonesia, bukankah Pancasila itu hanya menerima yang Tuhan dalam agamanya satu. Meskipun kasus ini adalah kasus kekurangpemahaman terhadap agama, tetapi ini dapat menjadi representasi kendurnya loyalitas Pancasila. Bahkan belum ada penelitian yang mengukur apakah Pancasila itu diterima secara menyeluruh.

Bagaimana kalau Pancasila itu dijadikan sebagai ilmu? Mungkin ini dapat menjadi tawaran baru. Merujuk Kuntowijoyo, dia telah menyusun konsep perubahan sosial. Agama yang pertama diperlakukan sebagai mitos, lalu diperlakukan sebagai ideologi dan dia menawarkan kini agama sebagai ilmu. Bila menerima Kuntowijoyo. Maka proyek pengilmuan Pancasila dapat dilakukan. Dengan menjadi sebagai ilmu, Pancasila menjadi sebuah objek yang dapat didiskursuskan terus-menerus. Sebuah ilmu menjadi sesuatu yang lebih berwibawa, menghantarkan kesadaran bagi pengkajinya. Sekaligus, menjadi bebas diuji terus menerus. Sehingga Pancasila menjadi sebuah kesadaran ketika ujian-ujian ilmiah yang ditimpakan tidak mampu melunturkannya.

Dengan jaminan hukum yang tegas dan jelas, Pancasila sebagai ilmu adalah Pancasila yang dikaji, dipelajari, dan didiskusikan, bukan Pancasila yang dipaksakan. Zaman berubah, pemaksaan tidak menyehatkan lagi.

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: pengabarmasalalu

No comments:

Post a Comment