Merayakan Keberagaman - bagbudig

Breaking

Thursday, June 18, 2020

Merayakan Keberagaman

Oleh: Miswari

Islam tampaknya benar-benar merupakan agama yang memiliki misi yang jelas di pagelaran dunia. Rukun Islam itu adalah ibadah yang sifatnya sangat individul tetapi padanya terdapat misi dunia yang solid. Kalimah syahadat itu adalah deklarasi persatuan. Padanya adalah sebuah imajinasi tinggi yang dengannya membuka pandangan bahwa semua makhluk di dunia adalah satu, apa pun itu, manusia dan malaikat, lat batat kayee batee.

Pada dua kalimat itu tidak ada lagi diskursus perbedaan warna kulit, tidak ada lagi perbedaan simbol dan tata cara pengabdian pada Sang Hyang. Dalam kalimat tauhid tidak ada perbedaan kubah masjid dan pintu gerbang pagoda. Tidak hanya manusia, segala isi semesta adalah satu kesatuan yang sama pada realitasnya.

Pada kalimat tauhid tidak ada pembakaran gereja dan pengeboman di kuil. Shalat adalah sebuah kekhusyukan yang menyimpan semangat aktivitas kerja nyata di atas panggung dunia. Setiap gerakannya dibangun dengan kandungan makna yang kuat. Gerakan bersama itu prinsip aktualitas visi yang sama umat manusia.

Bisa saja Muslim sedang khusyu sujud dan ruku’. Tetapi pada saat yang sama Kristiani yang berada di gereja dan Budhis yang sedang berada di bawah pohon besar, adalah satu gerakan yang sama. Atas dasar kesadaran itu kita mampu membangun prinsip kesatuan dalam Pancasila, dalam Hak Asasi Manusia.

Shalat sebagai aktualisasi penyerahan diri semua umat manusia pada kekuasaan Tuhan terlihat dengan nyata. Sujud kaum Muslim di masjid adalah sembah Hinduis di hadapan Ganesha. Kesamaan gerakan shalat adalah deklarasi kesamaan umat manusia. Tiada beda kecuali pada mereka yang belum benar-benar dapat memahami makna terdalam shalatnya. Sebab itulah mereka yang baik shalatnya di masjid akan sangat setia mengawal yang sedang beribadat di gereja.

Puasa adalah sebuah tindakan yang bertentangan dengan makna-makna keterbatasan. Makna-makna yang terbatas itu adalah membeli ketika mampu dan makan ketika lapar. Tetapi puasa hendak menggugat itu semua. Puasa hendak mengingatkan umat Islam bahwa di pinggir hutan Brazil sana ada pengabdi Yesus yang sedang kelaparan. Puasa hendak menggungat keserakahan Muslim bahwa ada umat Hindu yang sedang sangat membutuhkan di kaki Gunung Agung. Puasa hendak mengingatkan bahwa manusia itu pada dasarnya hidup dalam kebahagian dan penderitaan pada saat yang sama. Puasa ingin berkata bahwa manusia di seluruh dunia adalah wujud yang sama, yang sama-sama bisa bahagia dan sama-sama bisa menderita pada saat yang sama.

Untuk itulah Tuhan mewajibkan zakat supaya muslim yang memiliki kelebihan harta dapat memenuhi kebutuhan bocah-bocah di Bolivia untuk dapat membeli kemeja cantik untuk dipakai hari Minggu. Zakat hendak menunjukkan bahwa Muslim itu bersedia membangun rumah ibadah untuk saudara mereka di Argentina. Semua itu harus berbekal pada persatuan dan konsolidasi umat Islam di seluruh dunia.

Haji adalah momen untuk itu. Dalam haji, kaum Muslim harus berbagi informasi apakah masih ada pagoda yang sudah miring gapuranya. Haji itu tempat berbagi informasi apakah masih ada kursi-kursi di gereja yang sudah mulai lapuk.

Demikian di Makkah, demikian juga di Vatikan. Paus harus mendapatkan informasi apakah masih ada anak Muslim di Afghanistan yang belum mampu membeli baju baru untuk Idul Fitri tahun ini.

“Dari mana, untuk apa dan akan ke mana saya?” adalah pertanyaan primordial yang muncul pada diri segenap insan. Memang berbagai jawaban disodorkan, baik oleh sastra, filsafat maupun teologi agama.

Jawaban dari agama biasanya diberikan kepada masyarakat tradisional. Jawaban filosofis biasanya diberikan kepada masyarakat modern. Kedua jawaban ini tampaknya tidak mampu memuaskan batin banyak orang karena sifatnya yang parsialistik. Sekali pun teologi agama mengakui dirinya tidak parsial dengan mengklaim jawaban yang diberikan adakah melalui firman suci, tetapi tetap saja jawaban mereka telah dikonstruksi dengan penalaran yang tentunya, seperti filsafat, bersifat parsialistik. Sementara karya sastra memiliki tingkatan beragam tergantung penggubahnya. Singkatnya, sastra tidak dapat dipastikan bersumber dan berorientasi pada kebenaran sejati. Padahal, batin manusia menginginkan suatu kebenaran sejati.

Kebenaran dimaksud adalah suatu realitas yang tidak bersegmen dan tidak mungkin beragam. Ketika terlahir ke atas dunia ini, manusia mengandalkan penalarannya dalam penyesuaian hidup supaya dapat bertahan. Seiring dengan pengandalan penalaran ini, umumnya manusia menjadi yakin bahwa nalar sebagai sandaran adalah satu-satunya kebenaran. Karena itu, ketika jiwa yang berada di luar penalaran mengalami masalah sebab perkembangan atau gerak naiknya terhalang, pikiran yang tidak mampu memenuhi kebutuhan jiwa dipaksakan melakukannya, maka yang terjadi adalah keresahan semakin menjadi dan kekacauan pikiran.

Sejatinya, pikiran hanya mampu mengatur kebutuhan-kebutuhan material manusia sebagai fasilitas dalam bertahan hidup. Pikiran harus selalu berada pada sistem yang benar. Pikiran memiliki hukumnya sendiri. Hukum ini harus selalu ditaati supaya pikiran dapat terus menjadi sebagai turunan dari Akal Aktif.

Perlu ditegaskan, pikiran yang dimaksud ini bukanlah objek pikiran. Bagi pikiran yang berada pada hukumnya, maka akan menghantarkan kepada kesadaran yang tidak melibatkan penalaran. Berbarengan dengan ini, segenap jasad juga memiliki hukum yang perlu diikuti. Hukum ini disebut dengan syariat. Dengan mengikuti syariat, kita akan sampai kepada jalan (tariqat) yang mengarah kepada Kebenaran Mutlak (haqiqat) yang dengannya Pengetahuan Mutlak (ma’rifat) dicapai.

Bila telah mencapai status ma’rifat, segala amalan dan objek yang dipikirkan akan menjadi pancaran daripada sumber pengetahuan. Pikiran tidak akan disibukkan dengan berita bohong dan penalaran sesat. Sehingga amalan hanya tentang yang sesuai dengan arahan Ilahi.

Adalah mustahil segolongan orang yang mengakui tidak akan beribadah kepada Allah sebelum mengenal Dia. Padahal segenap ibadah itu adalah dalam rangka menuju pengenalan.

Bagi kaum sufi, kehidupan ini adalah tidak nyata. Analoginya seperti mimpi. Karena itu seseorang yang ingin menyadari kehidupan sesungguhnya harus berhenti bermimpi dan bangun dari tidurnya. Karena itu, seseorang harus keluar dari realitas kehidupan ini bila ingin berada pada realitas alam sesungguhnya. Dari ini, kaum sufi mengajarkan mati sebelum mati.

Maksud dari ajaran mati sebelum mati adalah melepaskan diri dari segala ketertarikan terhadap alam ini. Menjadi Manusia adalah tidak menjadi siapa-siapa. Menjadi manusia adalah melepaskan diri dari segala ketertarikan, menghilangkan semua kebutuhan.

Bila kaki bebek berselaput dan ikan bersirip, itu digunakan untuk berenang. Kalau elang dan rajawali bersayap lebar, itu untuk terbang. Demikian segala struktur fisik manusia tiada lain bentuknya adalah untuk beribadah. Volume otak yang besar dimiliki manusia bukan untuk apa pun kecuali menangkap nilai keagungan yang dipersembahkan oleh indra-indra yang sangat ideal.

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: Outlook

No comments:

Post a Comment