Aceh, Warung Kopi dan Tradisi “Intelektual” - bagbudig

Breaking

Thursday, June 11, 2020

Aceh, Warung Kopi dan Tradisi “Intelektual”

Oleh: Muhammad Meuraksa

Aceh selalu punya cerita unik dan menarik, mulai dari masa kolonial hingga abad modern kini. Aceh kaya dengan tradisi, budaya hingga tingkah laku masyarakat. Jiwa superiority complex seakan-akan telah menjadi dasar ‘ideologi’ masyarakat Aceh, menempatkan dirinya sebagai manusia paling mulia di dunia ini (bansa teulebeh ateuh rueng donya). 

Dari beragam keunikan tersebut, Aceh juga dikenal sebagai negeri seribu warung kopi. Ya, tidak terkecuali di wilayah kota atau pun pedalaman sekali pun, yang intinya warung kopi selalu ada untuk kita temui.

Kopi menjadi minuman yang hampir semua kalangan menyukainya, dari mulai para pejabat hingga rakyat jelata. Warung kopi serasa ruang literasi bagi masyarakat Aceh, di sanalah mereka bertukar pikiran, membahas permasalahan sosial dan politik atau bahkan membahas isu yang remeh temeh. Sebuah kewajaran, ketika kita mundur beberapa dekade ke belakang saat media informasi masih minim di kalangan masyarakat, dan hanya tersaji di warung kopi lewat sebuah layar televisi atau pun sepucuk surat kabar.

Pada era tersebut konsep media masa belum terkenal, biasanya berita tersebar dari mulut ke mulut melalui proses dialogis. Dari fakta inilah warung kopi tak saja dianggap sebagai wadah tempat melepas lelah, tetapi juga ruang informasi dan intelektual.

Kebiasaan ini kemudian terus menyebar dan menjelma menjadi ‘local widom’ tersendiri bagi masyarakat Aceh, hingga akhirnya Aceh pantas mendapat julukan sebagai “nanggroe siribé waroeng kupi”.

Dalam literature sejarah dunia, warung kopi juga sering diidentikkan sebagai tradisi intelektual. Sejak masuknya kopi ke daratan Eropa pada abad ke-17, lambat laun kopi menjadi minuman yang sangat populer dan menjadi minuman para tokoh-tokoh intelektual Eropa, terutama di Prancis.

Cafe d’Alexandre menjadi tempat nongkrong para Intelektual Prancis, seperti Charles Monstesquieu (tokoh yang merumuskan Trias Politika: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) dan Voltaire salah satu tokoh yang melahirkan enlightenment  (Pencerahan) di Prancis. Di warung kopi itu ide-ide muncul.

Melalui diskusi-diskusi, bertukar ide, adu gagasan dengan para teman-temannya, maka lahirlah era pencerahan di Prancis. Selain Cafe d’Alexandre, warung kopi yang paling terkenal saat itu Cafe la Regence tempat para intelektual membicarakan ide dan gagasan mereka.

Walaupun zaman telah berubah, budaya minum kopi telah menjadi gaya hidup tersendiri di dalam tren masyarakat Aceh. Tradisi ini telah turun-temurun kepada generasi dengan nuansa yang berbeda.

Di era digitalisasi, warung kopi telah ditranformasikan dengan keadaan zaman. Kini, tata ruang yang nyaman dan fasilitas internet wifi gratis umumnya menarik lebih banyak kalangan muda untuk betah berlama-lama di warung kopi.

Walau pun demikian, bagi mereka yang benar-benar penikmat kopi, warung yang sederhana namun menyajikan racikan kopi terbaik tetap menjadi tujuan nomor satu walaupun tanpa ada fasilitas wifi sekali pun.

“Haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?”, ujar Albert Camus, peraih nobel sastra dari Prancis.

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: recklesspixels

No comments:

Post a Comment