Psychology Distancing - bagbudig

Breaking

Friday, May 29, 2020

Psychology Distancing

Oleh: Junaidi Surya

Prolog

Mewabahnya virus corona sedunia di awal tahun 2019 ini telah merenggut nyawa ribuan orang, baik usai terinfeksi dengan status positif, maupun meninggal dengan status pasien dalam penanganan protokol covid-19. 

Hampir tiga juta warga dunia terinfeksi positif dengan angka yang diprediksi terus menanjak. Pandemi ini benar-benar meluluhlantakkan dan mengubah lanskap kehidupan dunia, terutama perekonomian, kesehatan, sosial dan agama. 

Ribuan perusahaan terpaksa merumahkan/PHK karyawannya, imbas merosotnya aktivitas ekonomi; produksi, distribusi, investasi dan konsumsi. Pengangguran melonjak, kemiskinan menyeruak, kriminalitas makin beringas, akibat hilangnya pendapatan. Terakhir 20 juta warga Amerika kena PHK, ngeri. (Harian Serambi Indonesia, 29 Mei 2020).

Sektor-sektor jasa produksi “hedonisme dan birahi duniawi” terpukul hebat dengan kondisi keuangan yang terus merugi; jasa penerbangan pesawat komersial, resort, hotel, tempat wisata, rekreasi, pusat hiburan, transportasi, industri, otomotif, manufaktur merupakan sektor usaha paling terdampak. 

Ketika ekonomi pasar lesu,  maka program penyelamatan ekonomi oleh negara menjadi satu-satunya harapan tersisa, bahkan di beberapa negara dengan paham liberal penganut seks bebas (permisivisme),  penjaja cinta pun mendapatkan subsidi paket uang tunai dari negara, akibat sepinya job. Duh, segitunya. Tapi bukan negeri kita, syukur.

Rumah-rumah ibadah, mendadak hening, sepi dari aktivitas kepasrahan anak Adam. Sekolah dan pusat pendidikan tutup; orang tua tiba-tiba jadi guru dadakan, guru jadi “pengangguran”, seolah berganti peran. 

Banyak meme bertebaran; potret anak-anak yang justru merasa “asing” dapat guru baru di rumahnya, orangtuanya sendiri ternyata lebih “galak” dari guru mereka di sekolah. Namanya juga meme, lelucon sarkasme imajiner yang bisa jadi ada benarnya, walau dasarnya olokan.

New Life; Serba Berubah

Dalam sekejap, pola interaksi antar manusia berubah. Kontak fisik berganti menjadi virtual. Keramaian menjadi langka, ruang publik senyap tak berdenyut. Lalu lalang moda transportasi mendadak sepi. Kita seolah memasuki lorong waktu yang tidak pernah terjamah sama sekali sebelumnya.

Masker yang sebelumnya identik dengan tenaga medis, saat ini justru menjadi barang primer; seolah benda suci, selalu dipakai dan dicuci. Keluar rumah tanpa masker siap-siap kena denda dari pemerintah.  Cuci tangan jadi rutinitas, salaman tak lagi bebas, belum lagi pelukan tanda keakraban justru dihindarkan. Semua demi keselamatan sesama. 

Manusia seperti dipaksa untuk hidup persis seperti zaman primitif; lebih banyak bertahan di gua (baca; rumah), berlindung dari serangan binatang buas kala itu. Dulu binatang buas tampak nyata; srigala, beruang, singa, harimau dsb. Sekarang, “binatang buas” itu berwujud kasat mata, tak bisa terdeteksi, namanya lumayan indah namun mematikan; Corona.

Para pakar sains, futurolog dan pemimpin dunia hampir semua memprediksi bahwa “life will never back as pre-Covid” (Kita tidak akan pernah lagi bisa hidup persis seperti kondisi sebelum pandemi). Suatu kondisi yang bahkan tidak pernah bisa diprediksi sama sekalipun sebelumnya oleh para ahli.

Prediksi-prediksi populer yang sering kita dengar justru lebih ke perubahan dan kemajuan teknologi seperti Revolusi Industri 4.0 yang sedang ramai dibincangkan. John Naisbit menyebutnya Mega Trend 2000 dengan term populer; cloud computing, big data, internet of things, mobile device.

Bahwa manusia akan semakin mudah dan cepat terkoneksi di masa depan. Dunia maya menjadi media paling populer dengan segala fitur canggihnya dan keriuhan tanpa jeda. Akan tetapi, datangnya wabah corona mempercepat semua perubahan itu. Muncullah fitur meeting online; webex, webinar, zoom dsb. Ada sensasi baru tentunya, dengan segala efek positif dan negatifnya. 

Jaga Jarak; Punahnya Kehangatan Fisik.

Dalam upaya menekan keganasan penyebaran virus corona. WHO dan hampir semua negara terdampak, memberlakukan beberapa protokol baru; Social Distancing dan Physical Distancing, pembatasan kerumunan dan keramaian serta penerapan jaga jarak antar orang. 

Ada yang patuh,  banyak juga membangkang karena tidak terbiasa terkekang, terlebih bagi orang-orang Extrovert yang memang hidupnya suka berkerumun lalu lalang.

Jaga jarak telah membunuh kehangatan relasi penduduk bumi. Sesama jadi saling curiga, bersin dianggap malapetaka kesehatan, padahal dalam kepercayaan agama tertentu, sejatinya bersin itu menyehatkan. 

Bersin mampu mengeluarkan kuman-kuman parasit yang bercokol di belantara bulu hidung. Apa daya, corona justru paling cepat tersebar dari droplet muntahan bersin, begitu ungkap pakar virulogi. Tertuduhlah bersin, tragis.

Pre-Covid 19, ngopi bareng sesama komunitas dan keluarga biasanya jadi menu wajib akhir pekan di seantero negeri. Kini beli kopi pun mesti take-away ; antre, beli lalu pulang tak ada lagi basa-basi. 

Ragam kebijakan pemerintah pun bikin warganya “sesak dan meradang,” seperti: pemberlakukan jam malam, PSBB, karantina mandiri dsb. Maklum, karena tak terbiasa terkekang, beda dengan warga Gaza di Palestina. Namun tak ada pilihan lain, semua untuk keamanan bersama.

Belum lagi aturan yang sedikit agak “nyeleneh” ~ tidak boleh duduk sebaris dalam mobil bahkan antar suami-istri. Suami nyetir sendiri, istri duduk di belakang. Padahal sehari-hari mereka di kamar tidur bersama.

Tapi wajar, namanya juga situasi tidak normal, pemerintah berupaya menerapkan aturan bersifat trial dan error. Bila berefek kejut positif, tentu diteruskan, bila banyak mudharat, pasti dihentikan, seperti pemberlakukan jam malam di Aceh.

Entah sampai kapan keadaan ini berlangsung. Bahkan Wuhan, pusat pandemi awal Corona yang mengumumkan telah “sembuh” dari corona di awal April 2020, justru kembali diterpa pandemi gelombang kedua usai kebijakan relaksasi pembatasan sosial.

Semua gambaran potret di atas hakikatnya memberi pesan, betapa tidak berdayanya umat manusia di hadapan Kehendak Tuhan. Begitulah Tuhan; bebas berkehendak (yaf’alu maa yuriedu).

Psychology Distancing; Imun Dahsyat.

Petuah Ibnu Sina “Kecemasan setengah dari penyakit, ketenangan sebagian dari Kesembuhan.” Postingan hikmah kata dari Ilmuwan Islam asal Persia Iran itu merebak viral di medsos di masa-masa awal pandemi corona menyerang negeri kita. 

Pakar medis sepakat, bahwa sebagian besar malah hampir 90% penyakit itu sejatinya berawal dari pikiran dan kondisi jiwa yang resah. Maka perlu ada semacam “invicible vaccine” sebagai antitesanya. Berwujud metafisika dalam untaian doa-doa kepasrahan dan jiwa yang tenang.

Riset membuktikan; doa-doa, kalam suci, yang sering dilafalkan pasien justru mempercepat kesembuhannya. Pikiran positif membuat imun dan antibodi manusia kuat untuk menghancurkan berbagai mikroba dan patogen yang menyerang.

Psychology Distancing adalah rumusan konsep komplemeter dalam upaya mencegah makin mengganasnya Corona. Sifatnya linear dengan kebijakan Mainstream Distancing, bukan subtitusi.

Bila physical dan social Distancing lebih berbentuk jarak fisik di ruang publik, maka psychology Distancing bersifat abstrak, privat dan transenden. Lebih ke penguatan kejiwaan pribadi seseorang dalam upaya melawan segala kecemasan yang melemahkan imun. 

Psychology Distancing; menjaga jarak jiwa dari pengharapan berlebihan pada bantuan manusia yang lemah dalam menyelesaikan berbagai problematika huru-hara dunia. Seruan utamanya yaitu bergantung dan pasrah penuh pada Tuhan; tawakkal.

Kita sakit lalu berobat pada dokter, namun tidak lantas berharap kesembuhan total dari pengobatan yang dia berikan. Semua harapan mestilah berpulang pada Tuhan semesta. Seburuk apa pun kondisi seseorang, terlebih dalam masa pandemi global ini, sikap positive thinking terhadap keadilan dan kebijakan Tuhan justru mesti lebih diperkuat lagi.

Seperti rintihan Nabi Ya’qub atas kondisi tak menentu anaknya Nabi Yusuf dalam untaian do’a: “Innamaa asykue batssie wa huznie ilallahi: Hanya saja aku adukan segala gundahku dan sedihku pada Allah semata” (QS. Yusuf : 86). Atau ungkapan keyakinan tegar Nabi Ibrahim tentang Tuhannya “Faidzaa maridhtu fahuwa yasyfienie: Jika aku sakit maka Dialah Allah yang menyembuhkanku” (QS. As-syu’ara: 80).

Pada akhirnya, semoga formulasi dan kolaborasi ketiga distancing ini dapat menjadi senjata ampuh bagi manusia dalam meneguhkan eksistensi peradabannya  di masa-masa sulit. Semoga!

Banda Aceh, 06 Syawal 1441 H / 29 Mei 2020.

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: Brainblogger

No comments:

Post a Comment