Kalah - bagbudig

Breaking

Saturday, May 2, 2020

Kalah

Oleh: Bung Alkaf

Satu minggu sebelum bulan puasa, di Bivak Emperom, Banda Aceh, mimbar kecil, tanpa sound system, diletakkan di tengah pusat perhatian. Ada bunga-bunga di dekatnya. Dari mimbar itu, Miswar Ibrahim Njong akan menyampaikan pledoi kekalahannya. Dia gagal mengkonversi caleg menjadi aleg dalam pemilu legislative 2019 lalu. Gagal alias kalah.

Mengapa kekalahan perlu dirayakan seperti itu?

Mungkin kita akan menjawab, “Apa pun hasil dari sebuah proses, maka kita dapat ambil pelajaran darinya.” Atau di lain waktu, ada pula dengan bijak, “Sudah, jangan tepekur, tatap masa depan. Dari kekalahan itu, kita ambil hikmahnya.”

Namun, bagi Miswar, hal itu tidak berlaku. Dalam orasinya, dia menjelaskan bagaimana demokrasi elektoral kita memangkas segalanya, terutama modal sosial. “Di kampung kelahiran, saya dapat dikatakan orang yang menempuh pendidikan tinggi. Mengaji di dayah sekaligus kuliah sampai strata dua,” jelasnya dari atas mimbar orasi. 

Namun, hal itu tidaklah menggema. Modal sosialnya itu dikalahkan oleh pemilu yang mahal. Hal yang kita sadari bersama, tetapi tidak ada upaya keras untuk mengubahnya.

Kekalahan juga disampaikan dalam bentuk lain. Erlanda, Arabiyani dan Sulaiman Abda mengumumkan hal itu. Mereka juga caleg. Pesan mereka, tidak hanya tentang kekalahan, tetapi ucapan terima kasih kami haturkan setinggi-tingginya kepada pemilih. Erlanda bahkan sampai membuat baliho besar di tengah kota Banda Aceh, untuk mengumumkan kekalahannya, sekaligus mengucapkan terima kasih kepada ribuan pemilihnya.

Tidak ada yang salah dengan kekalahan. Apalagi yang didapatinya secara terhormat.

Namanya Micky Ward, petinju yang selalu gagal. Dalam film The Fighter, dia digambarkan petinju yang tidak punya masa depan. Ward selalu saja berada di bawah bayang-bayang kakaknya, Dick Eklund, yang pernah menjatuhkan Sugar Ray Leonard. Namun demikian, Ward sangat disayangi oleh keluarganya.

Namanya kemudian dicatat dalam sejarah tinju, karena menjadi lawan terberat Arturo Gatti — sang juara dunia, yang  dimana aksi spartannya di atas ring selalu dinanti. Dalam pertandingan yang dikenang sebagai trilogi, karena keduanya tiga kali bertanding, Ward kalah dua kali dan sekali menang – pada pertemuan pertama mereka.

Ketiga pertandingan mereka adalah pertunjukan terbaik dari segala pertandingan tinju. Melebihi rangkaian pertemuan Barera vs Morales atau Pacqiao vs Marquez. Ada jual beli pukulan, keberanian yang melewati batas, penonton yang histeria dan penghormatan penuh terhadap keduanya. 

Ward memang kalah lebih banyak dari Gatti. Tetapi, dia dikenang. Begitu pun Gatti. Bahkan, pertandingannya melawan Ward, lebih diingat daripada ketika  dia berhadapan dengan De La Hoya dan Mayweather Jr. 

Namun, kekalahan juga jalan untuk kemenangan. 

Jenderal McArthur mengatakan hal itu dari garis pantai Filipina, ketika Jepang mengusir mereka, “Aku akan kembali!” Dia benar. Beberapa tahun kemudian, Arthur kembali dengan membawa kehormatan bagi Amerika dan aib untuk Jepang.

Mengakui kalah tidaklah gampang, tapi ia-nya harus tumbuh sebagai tradisi dalam percakapan publik kita. Terutama dalam berdemokrasi. Jadi, apa yang ditunjukkan oleh Miswar, Erlanda, Arabiyani dan Sulaiman Abda adalah sikap yang baik. Menjadi kalah tidaklah membuat ambruk, malah menjadi semakin kuat.

Akan tetapi, sebaliknya, sudah kalah tapi merasa menang – atau harus menang – malah membuat situasi menjadi rumit. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, maka kekalahan itu berlipat-lipat rasa sakitnya. Apalagi kalau sudah kalah, lalu marah dan merajuk. Kalau sudah demikian adanya, kata-kata bijak tidak bisa jadi obat yang manjur. Mungkin perlu sedikit bentakan agar cepat sadar, dan kembali duduk manis. Atau, kalau perlu dibuatkan mimbar pidato seperti di Bivak tapi bukan untuk dipukul-pukul, melainkan untuk membacakan pledoi, agar kalah menjadi terhormat. 

No comments:

Post a Comment