Pada 28 Mei 1981, sebagaimana dicatat Panji Masyarakat edisi 1 Juli 1981, Hamka bersama dengan Rusydi dan Amin Iskandar melakukan kunjungan ke Irak guna memenuhi undangan dari pemerintah Irak.
Di saat yang sama, beberapa orang Indonesia juga berkunjung ke Irak untuk menghadiri Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri di Baghdad.
Sebagai perwakilan Indonesia saat itu dihadiri oleh Menlu Muchtar Kusumaatmadja. Tapi Hamka, sebagaimana diakuinya sendiri tidak turut menghadiri konferensi tersebut.
Pada tahun 1981 tersebut juga sedang berlangsung perang antara Irak dan Iran. Dan pada saat Hamka berkunjung ke sana, perang masih berkecamuk.
Pesawat terbang 747 Irak Airlines yang ditumpangi Hamka mendarat di bandara Baghdad pada pukul 11 malam. Dari bandara, tulis Hamka, suasana perang sudah terasa. Keadaan gelap dan lampu tidak ada satu pun yang menyala.
Dari bandara Baghdad, Hamka dan rombongan langsung menuju Hotel Al-Mansor. Sampai di sana Hamka disambut dengan sangat baik dan diberikan hadiah buku-buku tentang keadaan Irak dan juga buku-buku terkait dasar-dasar perjuangan bangsa Irak. Hamka juga disuguhkan lembaran salinan pidato dari pemimpin perjuangan Irak, Saddam Husein.
Di Irak saat itu, seperti diceritakan Hamka, foto Saddam Husein dipajang di berbagai tempat, di pusat-pusat kota dan kantor-kantor pemerintah. Saat itu Saddam Husein sendiri masih berusia muda, sekitar 45 tahun.
Saddam, menurut Hamka adalah sosok pemimpin yang mampu mengambil hati rakyat. Hampir di semua foto-fotonya yang tersebar ia melemparkan senyum khasnya. Bahkan dalam beberapa foto, terlihat ia memangku anak kecil dengan penuh kasih sayang. Usaha mendekatkan diri dengan rakyat yang dilakukan Saddam Husein ini mendapat sambutan besar dari masyarakat Irak, demikian tulis Hamka.
Di sela-sela kunjungannya ke Irak, Hamka menyempatkan diri membaca beberapa buku yang diberikan pejabat Irak. Dari buku-buku itu, sebagaimana diakui Hamka, ia dapat mengetahui latar belakang peperangan antara Irak dan Iran.
Menurut bacaan Hamka, Iran merasa memiliki kemegahan dan kekuatan atas kesuksesan mereka memakzulkan Syah Iran pada revolusi 1979 yang dipimpin Ayatullah Khomeini.
Saat itu, Iran, menurut Hamka juga berbangga dengan jumlah penduduk mereka yang besar dengan angka tidak kurang dari 35 juta orang. Kebanggaan Iran lainnya adalah keberhasilan mereka mendirikan Republik Islam Iran atas dasar mazhab Syi’ah. Mazhab ini telah berkembang di Iran jauh sebelumnya.
Dari buku itu, juga diketahui bahwa terdapat masalah rumit antara Irak dan Iran sejak masih dikuasai oleh Syah. Pada saat Syah berhasil digulingkan dalam Revolusi 1979, Pemerintah Irak telah menyampaikan ucapan selamat kepada Pemerintah Iran yang baru di bawah kendali Ayatullah Khomeini sebagai upaya damai.
Hal ini dikuatkan dengan isi pidato Saddam Husein dalam Konferensi Thaif pada Februari 1981 yang menyatakan bahwa ia telah mengulurkan tangan damai kepada Iran, tapi Khomeini sebagai pemimpin besar Iran justru bersikap dingin. Saddam Husein juga dibuat marah akibat dilakukannya pencaplokan wilayah Irak oleh Iran.
Hasil bacaan buku tersebut, Hamka juga menceritakan bahwa persoalan pencaplokan wilayah ini justru dibantah oleh Iran. Bahkan Iran dengan kesombongannya, menyatakan jika Baghdad sendiri pada masa dahulu adalah wilayah Iran. Kondisi inilah yang kemudian memicu terjadinya perang Irak-Iran.
Hamka sendiri merasa kurang tertarik dengan pola pengkultusan yang dilakukan masyarakat Iran terhadap Ayatullah Khomeini. Ada satu keyakinan berkembang dalam masyarakat Iran bahwa Khomeini tidak hanya menjadi imam bagi Iran, tapi juga imam untuk seluruh dunia.
Menurut Hamka, keyakinan ini tentunya bebas saja berkembang di Iran, dan bebas pula mereka mengkultuskan Khomeini sebagai pemimpin mereka. Tapi, menurut Hamka, keyakinan tersebut tidak bisa dipaksakan kepada bangsa lain.
Terkait perang Irak-Iran, Hamka menilai bahwa apa yang dilakukan Saddam Husein adalah untuk membela kehormatan bangsa Arab. Bahkan saat itu, Khomeini juga sempat mengeluarkan ancaman kepada seluruh negara Arab bahwa Iran akan siap berperang dengan mereka jika diketahui membantu Irak. Akhirnya, negara-negara Arab memberikan bantuannya kepada Irak secara diam-diam.
Hamka berada di Irak selama lima hari lima malam. Selama di sana, meskipun dalam kondisi perang, Hamka sempat berziarah ke Najaf dan Karbala.
Hamka dan rombongan meninggalkan Irak pada 4 Juni 1981. Dalam catatannya yang dirilis Panji Masyarakat, tidak ada penjelasan apakah dalam kunjungan tersebut Hamka sempat bertemu dengan Saddam Husein, pejuang legendaris itu.
Berselang beberapa hari kembalinya Hamka ke Indonesia, tepatnya pada 7 Juni 1981, Israel menjatuhkan bom yang menyasar instalasi nuklir Irak. Dalam catatannya, Hamka bersyukur sebab ia sudah tidak berada di Irak ketika bom itu meledak.
Sumber bacaan: Majalah Panji Masyarakat No. 328 Tahun XXIII, Tanggal 1 Juli 1981.
Ilustrasi: Hamka saat bertemu Menteri Wakaf Irak (Panji Masyarakat).
No comments:
Post a Comment