Oleh: Bung Alkaf
Ketika ada politisi, yang mengatakan bahwa dia sedang tidak berpolitik, maka tugas kita hanya satu: berhati-hati.
Ada sinyal bahaya dari pernyataan itu, yang disebabkan si politisi telah meninggalkan habitat sebenarnya, yaitu berpolitik. Pernyataan demikian, kurang lebih sama dengan guru yang mengatakan, bahwa dia tidak mengajar, agamawan yang berseru bahwa dia tidak mengkhotbahkan moral, dokter yang mengatakan kalau dia tidak mengobati. Semuanya sudah kebolak-balik. Tidak semestinya demikian.
Politisi sudah seharusnya mengatakan, bahwa apa pun yang dia sampaikan adalah sikap politiknya. Syukur-syukur dibangun atas ideologi politik yang diyakininya. Sebab, kalau ada politisi yang mengatakan sebaliknya, kita patut cruiga, jangan-jangan, ada sesuatu yang disembunyikan.
Tentu, kita memahami kalau tradisi berpolitik kita belumlah setua Amerika Serikat dan Eropa Barat. Di sana, kita menyaksikan, setiap politisi selalu menampilkan identitasnya, juga pandangan politiknya, atas permasalahan apa pun. Entah itu dari partai Republik, maupun Demokrat. Entah dari partai buruh maupun konservatif.
Kita masih terlalu muda untuk menyaksikan tumbuhnya politik dengan sehat dan berkualitas, walau pun sudah berusaha kuat ke arah sana. Harapan yang sebenarnya sudah kita inginkan sejak dulu. Di saat sejak Soeharto jatuh, kita berimajinasi akan politik dan politisi antitesa dari masa lalu. Apa pun latar belakang ideologinya. Oleh karenanya, setiap percakapan politik harus tentang gagasan, yang dibangun dari tradisi politik yang berakar dari ideologi. Tanpa itu, maka tidak akan muncul tradisi politik yang kuat.
Tetapi, cerita di atas tidaklah berjalan dengan semestinya. Setelah dua dekade kebebasan politik kita jalankan, ada sebuah situasi di mana politik kita tidak memperlihatkan kegembiraan. Politik, juga politisi, kemudian menjadikan demokrasi area pertarungan selanjutnya dari apa yang dulunya, terhadap rezim Orba, yang kita gugat. Berpolitik menjadi mahal. Akibatnya, setiap perhelatan Pemilu, tidak lebih hanya ajang transaksional. Tidak lebih.
Politisi, atas nama demokrasi, lalu ikut membuka kotak pandora, bahkan terkadang menjadi aktor yang membangun Kuda Troya: merusak dari dalam. Mereka lalu menjadi bagian dari oligarki. Bahkan ikut mendorong suburnya politik identitas, yang merobek-robek jalinan kebangsaan.
Situasi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Jangan sampai, kita kembali kepada masa, ketika kenangan demokrasi yang sedang tumbuh, di awal tahun 1950-an, lalu dilumpuhkan, karena begitu kusutnya pekerjaan politisi dan tidak sabarnya kelompok militer.
Namun selalu saja ada sinar terang di ujung lorong yang gelap. Di saat yang sama, kita tetap menemukan politisi yang berdiri tegak atas nama gagasan dan akal jernih. Mereka juga ada di mana-mana. Di seluruh pelosok Indonesia. Politisi seperti ini yang harus diberikan ruang di dunia politik kita. Bukan kepada yang suka pat gulipat, sempat tidak sempat asal dapat!
No comments:
Post a Comment