Menyoal Akad Al-Musyarakah pada Bank Syari'ah - bagbudig

Breaking

Monday, April 6, 2020

Menyoal Akad Al-Musyarakah pada Bank Syari'ah

Oleh: Muhammad Syarif, SHI. M.H*

Salah satu antitesis terhadap lahirnya Bank Syari`ah adalah, keberadaan perbankan konvensional yang menerapkan praktik riba (bunga bank). Bahkan ada adagium dalam dunia perbankan konvensional, mustahil sistem perbankan bisa berkembang tanpa menganut sistem bunga. Di samping itu pula sistem akad atau perjanjian pada bank konvensional mengacu pada sistem hukum perdata.

Lantas apakah sistem perbankan syariah, telah mampu keluar dari sistem perbankan konvensional? Benarkah setiap akad pada perbankan syariah telah sesuai landasan Al-Qur’an dan Hadits? Apakah produk Bank Syari`ah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional sudah sesuai dengan kaidah Fikih?

Beberapa pertanyaan dasar ini menjadi penting untuk dijawab secara jujur dan terang benderang, sehingga nasabah bank syariah menjadi lega, baik secara keilmuan maupun secara praktik operasional perbankan. Harus diakui secara jujur sesungguhnya produk perbankan syariah tidak murni menerapkan Takrif Fiqih dalam penerapannya. Bahkan beberapa fakta ada kencenderungan asimilatif makna fiqih, menyesuaikan dengan selera perbankan dan mengaburkan makna sesungguhnya.

Tulisan ini, mencoba menggupas produk al-musyarakah yang saat ini menjadi salah satu produk andalan perbankan Syariah di Indonesia. Secara prinsip umum al-musyarakah (bagi hasil) dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara`ah dan al-musaqah.

Sungguh pun demikian prinsip yang paling banyak digunakan dalam dunia perbankan syariah adalah al-musyarakah dan al-mudharabah. Sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk pembiayaan pertanian oleh beberapa perbankan Syari`ah.

Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Landasan Syar`inya antara lain;

Pertama: Al-Qur’an (Surat An-Nisa:12): yang Artinya: “…maka mereka bersepakat pada sepertiga…”

Kedua: Al-Qur`an (Surah Shaad:24) yang artinya: “Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.”

Ketiga: Al-Hadits (HR Abu Daud dalam Kitab al-Buyu dan Hakim) yang artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati.

Hadits qudsi tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hambanya yang melakukan perkongsian selama saling menjungjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan (wanprestasi).

Keempat: Ijmak. Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.

Kedua ayat yang penulis sebutkan di atas menjadi ground theory penerapan al-musyarakah. Hanya saja dalam Surah an-Nisaa: 12, al-musyarakah terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sedangkan dalam surat Shaad: 24 terjadi atas dasar akad (ikhtiyari). Al-musyarakah dibagi menjadi dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan aset oleh dua orang atau lebih. Sementara musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka bersepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Lebih lanjut musyarakah akad terbagi lima, yaitu: Syirkah al-Inan, Syirkah Mufawadhah, Syirkah A`maal, Syirkah Wujuh dan Syirkah al-Mudharabah.

Syirkah al-`inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati bersama. Akan tetapi porsi masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.

Syirkah Mufawadah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara bersama.Dengan demikian syarat utama dari akad ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.

Syirkah A`maal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan. Misalnya kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima orderan pembuatan baju seragam.

Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik secara ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada punyuplai yang disepakati oleh tiap mitra. Jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan jaminan tersebut. Kontrak ini sering disebut juga musyarakah piutang.

Syirkah Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shabibul maal) menyediakan seluruhnya modal, sedangkan pihak lain sebagai pengelola. Keuntungan secara akad ini dituangkan dalam kontrak bisnis sesuai kesepakatan bersma nisbah bagi hasilnya. Kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan kelalain pengelola atau kecurangan pengelola. Jika kerugian itu akibat kecurangan atau kelalaian pengelola maka kerugian itu mutlak ditanggung pengelola. Dalam terminologi Fiqih, Mudharabah dibagi menjadi dua yaitu Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.

Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shabibul maal dan muhdarib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan Fiqih, ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar. Sementara Muhdarabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/Spesifiec mudharabah adalah kebalikan dari ta`rif mudharabah muthlaqah. Si Mudharib dibatasi dengan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.

Dari berbagai takrif di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad al-musyarakah sesungguhnya ada dua varibel yaitu berbagi untung dan berbagi kerugian. Akan tetapi faktanya perbankan belum rela menerapkan praktek berbagi kerugian (Profit and Loss Sharing). Bahkan dalam Buku yang ditulis oleh DR. Ridwan Nurdin, MCL yang berjudul Akad-Akad Fiqh pada Perbankan Syariah di Indonesia (Sejarah, Konsep dan Perkembangan), dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry ini memberikan konklusi di bukunya, bank syariah belum berani melakukan konsep bagi hasil dan bagi rugi dalam penerapan skim al-musyarakah. Lebih lanjut Ridwan Nurdin mengatakan Perbankan Syariah di Indonesia cenderung memilih konsep Profit Sharing atau Revenue Sharing. Karena Bank Syari`ah lebih menjamin keuntungan/return kepada nasabah.

Menurut hemat penulis, ada beberapa alasan logis perbankan Syariah kenapa belum menerapkan profit and lost sharing, antara lain: para nasabah belum jujur, keahlian, kerajinan dan tanggungjawab dari nasabah belum memenuhi standar dalam konsep perbankan. Bahkan terkadang sering kali pinjaman yang diambil pada perbankan, jenis usahanya tidak berkembang dan cenderung merugi atawa bangkrut. Kalau praktik berbagi kerugian diterapka kemungkinan besar Bank Syariah akan gulung tikar. Di samping itu pula regulatory sistem perbankan Syariah di Indonesia, belum mengatur secara detail dan terang benderang konsep berbagi kerugian, termasuk batas-batas kewajaran yang dapat diakomodir oleh sistem perbankan syariah. Hal ini juga terjadi karena induk semang sistem perbankan Nasional adalah Bank Indonesia yang berfungsi sebagai regulatori dan kebijakan moneter perbankan. Lalu, apakah dimungkinkan Bank Indonesia disyariahkan dulu, seperti layaknya negara yang harus jelas mazhabnya? Kajian ini menjadi menarik dikaji dari berbagai segi. Wallahu A’lam Bishawab.

*Penulis adalah Sekjend Alumni Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES) UIN Ar-Raniry.

No comments:

Post a Comment