Ilmu Pengetahuan, Akal dan Iman pada Zaman Coronavirus - bagbudig

Breaking

Wednesday, April 22, 2020

Ilmu Pengetahuan, Akal dan Iman pada Zaman Coronavirus

Oleh: Nidhal Guessoum*

Orang-orang harus memikirkan kembali praktik keagamaan mereka dan menentukan apa yang esensial dan apa yang hanya kebiasaan.

Pandemi virus corona telah merenggut lebih dari 175.000 jiwa dan menghancurkan sebagian besar rutinitas manusia, dari kegiatan ekonomi hingga olahraga, pendidikan, dan kehidupan beragama. Siapa yang akan lupa dengan pemandangan Masjidil Haram di Makkah yang kosong selama berhari-hari atau berminggu-minggu dan Paus Francis menyampaikan Misa Paskah dari sebuah basilika kosong atau, berhari-hari sebelumnya, memberi keberkatan di Santo Square yang juga kosong?

Semua agama di dunia telah diuji oleh virus ini dengan berbagai cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah pandemi ini merupakan tindakan Tuhan, suatu ujian atau hukuman? Haruskah orang percaya pada kedokteran dan sains atau berdoa dan percaya pada agama mereka?

Akankah Tuhan campur tangan dan entah bagaimana menyingkirkan pandemi sekiranya banyak orang beriman berdoa dengan sepenuh hati? Dapatkah kegiatan keagamaan (khotbah, doa bersama, dll) dilakukan melalui televisi dan internet atau apakah pertemuan bersama merupakan bagian integral darinya? Akankah krisis ini membawa orang kembali ke agama (jika mereka menyimpulkan bahwa pandemi itu karena mereka telah membuat marah Allah) atau akankah hal itu mendorong banyak orang untuk menjauh (jika mereka tidak dapat memahami mengapa Allah membiarkan penderitaan ini terjadi bahkan kepada yang terbaik dari kita)?

Ini semua adalah pertanyaan yang sah dan banyak komentator telah menawarkan pemikiran dan analisis terkait dampak coronavirus bagi agama.

Saya pikir ini adalah contoh baru dari perdebatan abadi antara agama, akal dan sains. Bagaimana seseorang menangani pertanyaan-pertanyaan di atas: Dari sudut pandang agama atau dari sisi ilmiah yang rasional? Dan bagaimana seseorang menentukan apa yang esensial dan apa yang hanya kebiasaan dalam praktik agama seseorang?

Sebagai contoh, saya masih tidak mengerti mengapa para cendekiawan Islam belum mengumumkan bahwa doa bersama (Jumat, salat jamaah Tarawih dan Idul Fitri Ramadhan) dapat dengan mudah diselenggarakan melalui televisi. Semua orang bisa duduk di rumah dan mendengarkan imam menyampaikan khotbah dan kemudian memimpin salat, dan orang-orang berdiri di ruang tamu mereka masing-masing dan salat “di belakangnya” (dia berada di layar TV). Bukankah para jamaah, terutama wanita, sudah melakukannya ketika mereka pergi ke masjid yang penuh sesak dan diarahkan ke ruang samping dengan pengeras suara atau layar TV? Apa perbedaan antara menonton atau mendengarkan imam di ruang terpisah di masjid dan di ruang tamu seseorang?

Mana yang lebih baik: Membatalkan salat dan khotbah bersama karena orang tidak bisa pergi ke masjid, atau melakukan salat melalui layar TV dan semua orang berada di rumah mengikutinya? Jika Paus sendiri dan para pemimpin agama yang tak terhitung jumlahnya dapat melakukan upacara dan menyampaikan khotbah dan berkah secara virtual, tentunya umat Islam juga dapat melakukannya.

Inilah yang saya maksud dengan umat beragama yang harus memikirkan kembali praktik keagamaan mereka dan menentukan apa yang esensial dan apa yang hanya kebiasaan.
 
Pada tataran teologis, bagaimana orang memikirkan pandemi? Apa peran dan di mana posisi Tuhan dalam semua ini? Peran apa yang dimainkan akal dan iman murni dalam memikirkan hal ini?

Institut Penelitian Islam Yaqeen mensurvei lebih dari 1.800 Muslim Amerika dari berbagai usia, tingkat pendidikan dan etnis. Pertanyaan yang diajukan, “Apakah virus corona merupakan hukuman dari Allah?” jawaban responden terbagi antara tidak (“tidak sama sekali” atau “sedikit”) dan ya (“dalam jumlah sedang,” “banyak,” atau “banyak sekali”). Dan, untuk pertanyaan “Apakah virus corona merupakan ujian dari Allah?” Sebanyak 84 persen mengatakan itu adalah ujian “utama” dari Allah.

Di sinilah semakin menarik. Makalah Yaqeen Institute, yang menganalisis hasil survei dan menawarkan komentar lebih lanjut, mengutip hadis dari Nabi Muhammad yang menyatakan wabah seperti epidemi dan penderitaan lainnya adalah hukuman duniawi dari Allah. Ini berfungsi untuk mengingatkan kita tentang kuasa Allah dan untuk membawa kita kembali kepada-Nya guna menghindari “hukuman yang lebih besar” di akhirat. Namun, makalah itu menegaskan bahwa “hal itu di luar persepsi manusia” untuk bisa mengetahui penyebab pasti di balik “hukuman yang lebih dekat” dan kepada siapa (jika ada orang khususnya) yang menjadi tujuan mereka.

Makalah itu menambahkan bahwa tindakan Allah ini bahkan bisa menjadi berkah “bagi orang beriman untuk melatih kesabaran, mengkarantina dirinya sendiri, berharap mendapat balasan dari Allah, dan menerima bahwa apa pun yang terjadi adalah ketetapan dari Allah.”

Tetapi jika seseorang tidak dapat memahami tindakan semacam itu (mengapa dan terhadap siapa), bagaimana seseorang dapat mencernanya? Atau apakah itu terlalu rasional?

Di sisi yang lebih ilmiah atau rasional, banyak yang memilih untuk fokus pada rekomendasi Nabi tentang kebersihan secara umum, dan perilaku selama epidemi secara khusus. Orang-orang mengutip hadits di mana Nabi memerintahkan umat Islam untuk menghindari tempat-tempat di mana wabah telah muncul, dan untuk tetap tinggal di sana serta tidak keluar jika kita sudah ada di tempat itu. Hal ini dimaksudkan untuk memisahkan orang sakit dari yang sehat, di mana kebersihan adalah bagian dari iman, untuk mencari pengobatan dan perawatan bagi semua penyakit, dll. Banyak yang menyatakan bahwa Nabi mengetahui apa yang akan terjadi, bahkan mengisyaratkan jarak sosial dalam beberapa pernyataannya.

Banyak juga yang mengingat soal nasihat terkenal yang diberikan Nabi kepada seorang Badui yang bertanya-tanya apakah ia harus mengikat untanya atau cukup mengandalkan Tuhan: “Ikat dulu … baru kemudian percayakan pada Tuhan,” kata Nabi.

Sesungguhnya, pandemi ini telah menyalakan kembali perdebatan akal dan iman: Bagaimana memikirkan peristiwa-peristiwa semacam itu dan bagaimana bertindak sebagai akibatnya. Nabi Muhammad telah menetapkan keseimbangan antara dua hal tersebut; tindakan dan iman mesti berjalan beriringan, bukan yang satu mengalahkan yang lain.

Nidhal Guessoum

*Nidhal Guessoum adalah profesor di American University of Sharjah, UAE.

**Terjemahan bebas oleh Bagbudig.com dari artikel Science, reason and faith in the time of coronavirus.

Sumber: Arab News

No comments:

Post a Comment