Bunga Rampai Undang-Undang (2) - bagbudig

Breaking

Thursday, April 16, 2020

Bunga Rampai Undang-Undang (2)

Oleh : Muhammd Syarif*

Dalam menuangkan ayat-ayat hukum yang menjadi kebijakan pemerintahan dan kebijakan kenegaraan dalam peraturan perundang-undangan, dikenal adanya materi tertentu yang bersifat khusus, yang mutlak hanya dapat dilakukan dalam bentuk undang-undang. Di antaranya; pendelegasian kewenangan regulasi atau kewenangan untuk mengatur (legislative delegation of rule making power), tindakan pencabutan undang-undang yang sebelumnya, penetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, pengesahan suatu perjanjian internasional, penentuan mengenai pembebanan sanksi pidana, dan penentuan kewenangan penyidik, penuntutan dan penjatuhan vonis.

Pendelegasian kewenangan

Dalam sistem demokrasi dan negara hukum, bahwa kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan sesuai cabang-cabang kekuasaan meliputi: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tentunya berdasarkan teori ini, maka kewenangan pembentukan regeling melekat pada cabang kekuasaan legislatif. Norma hukum yang bersifat dasar biasanya dituangkan dalam undang-undang dasar sebagai “de hoogste wet” atau hukum yang tertinggi, sedangkan hukum tertinggi dibawah undang-undang dasar adalah undang-undang (gezets, wet, law) sebagai bentuk peraturan yang dibuat oleh legislator (legislator act). Materi yang diatur dalam undang-undang hanya terbatas pada soal-soal umum diperlukan pula aturan pelaksana (suborninate legislations).

Sebagai produk lembaga politik, seringkali undang-undang hanya dapat menampung materi kebijakan yang bersifat umum. Harus diingat lembaga legislatif sebagai lembaga politik tentunya tidak menjangkau materi regeling secara detail dan rigid, karenanya diperlukan aturan teknis atau suborninate regislations.

Pendelegasian ini sejatinya harus dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang, pendelegasian ini ada kalanya didelegasikan oleh legislator utama (primary legislator) kepada legislator sekunder.proses pendelegasian kewenangan regulasi ini disebut sebagai pendelegasian kewenangan legislatif.

Berdasarkan prinsip pendelegasian, norma hukum yang bersifat pelaksana dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa didasarkan pada delegasi kewenangan dari perintah yang lebih tinggi. Misalnya Peraturan Presiden dibentuk tidak atas perintah undang-undang atau Peraturan Pemerintah, maka Peraturan Presiden tersebut tidak dapat dibentuk. Peraturan Menteri, jika tidak diperintahkan sendiri oleh Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, berarti peraturan tersebut tidak dapat dibentuk sebagaimana mestinya. Begitupula pembentukan peraturan perundang-undangan lainnya, jika tidak ada dasar perintah dari peraturan perundang-undanag yang lebih tinggi maka peraturan tersebut tidak mempunya legitimasi pembentukannya.

Lazimnya undang-undang mendelegasikan kewenangan pengaturan selanjutkan kepada Peraturan Pemerintah (PP), tetapi ada pula yang mendelegasikannya kepada peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah Propinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bahkan undang-undang tentang perpajakan seringkali mendelegasikan pengaturan lebih lanjut kepada Direktur Jenderal Pajak. Akibatnya banyak produk hukum yang berbentuk Keputusan Direktur Jendral yang materinya pengaturannya seharusnya dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sudah selayaknya Keputusan Direktur Jenderal Pajak, Dirjen Bea Cukai, Dirjen Imigrasi dan Dirjen Lingkungan depertemen lainnya yang bersifat regeling mestinya ditertibkan, sejatinya dikeluarkan oleh Kementrian Antar Lembaga sebagai induk semangnya Dirjen. 

Tapi memang langkah ini agak sedikit sensitif, apa lagi secara faktual ribuan keputusan yang kadar keberlakuaanya sama seperti regeling, produk hukum yang bersifat mengatur. Dalam ajaran kebebasan bergerak dalam administrasi pemerintahan berdasarkan doktrin “freies ermessen diakui bersifat universal, karenanya ada ruang bagi pemerintah untuk menetapkan aturan meskipun tidak secara jelas diperintahkan. Karenanya barangkali eksekutif bebas melakukan ijtihad hukumnya dalam memagari setiap kebijakan yang diambil.

Pencabutan Undang-Undang

Bila ada undang-undang yang tidak diperlukan lagi dan harus diganti dengan undang-undang yang baru, maka undang-undang yang baru harus tegas mencabut undang-undang yang lama. Pencabutan undang-undang hanya dapat dilakukan dengan peraturan yang setingkat. Misalnya undang-undang dicabut dengan undang-undang atau peraturan yang setingkat seperti peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang atau dengan uji materi di Mahkamah Konstitusi. 

Pernyataan pencabutan dapat dirumuskan dengan rumusan dalam suatu ketentuan penutup dengan menggunakan frasa “dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Dalam hal undang-undang sudah diundangkan, tetapi belum dilaksanakan atau diberlakukan, pencabutannya dapat dilakukan undang-undang itu sendiri yang setingkat atau yang lebih tinggi dengan pernyataan: ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.” Jika pencabutan itu dilakukan dengan undang-undang yang tersendiri maka undang-undang tersebut hanya berisi dua pasal yaitu: Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlaku undang-undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku dan Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya undang-undang yang mencabut.

Perubahan Undang-Undang 

Seperti halnya pencabutan, perubahan atas suatu udang-undang juga merupakan materi undang-undang atau setidaknya materi peraturan yang setingkat seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Peraturan undang-undang dilakukan dengan cara: (1) menyisipkan atau menambah materi kedalam rumusan ketentuan undang-undang atau (2) dengan menghapus dan mengganti sebagian materi undang-undang itu. Perubahan dapat dilakukan seluruh atau sebagian isi undang-undang. Sebagian isi yang dapat diubah itu adalah buku, bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, huruf, kata, istilah, kalimat, angka dan/atau tanda baca.

Pengesahan Perjanjian Internasional

Batang tubuh undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional pada dasarnya juga terdiri atas dua pasal yaitu, Pasal 1 memuat ketentuan pengesahan internasional dimaksud yaitu dengan memuat pernyataan melampirkan salinan aslinya atau naskah asli bersamaan dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Sedangkan Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlakunya.

Cara penulisan rumasan Pasal 1 dibagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional dengan undang-undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional dengan Peraturan Presiden. Mengenai penulisan bahasa naskah perjanjian atau persetujuan internasional dapat berbahasa asing dengan terjemahan resmi bahasa Indonesia atau berbahasa Asing saja tanpa terjemahan yang bersifat resmi.

Pembebanan Pajak dan Pemungutan memaksa

Pasal 23 A UUD`45 menentukan, “Pajak dan pemungutan lainya yang bersifat memaksi untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” artinya negara hanya boleh membebani rakyatnya dengan pajak dan pungutan lainnya bersifat memaksa apabila rakyat sendiri mewakili wakilnya di DPR menyetujuinya. Oleh karenya ketentuan tentang pajak dan pungutan lainnya yang memaksa haruslah dimuat didalam undang-undang yang merupakan produk persetujuan wakil rakyat.

Pembebanan Sanksi Pidana

Pengaturan terkait sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah. Sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya tidak boleh berisi norma sanksi pidana. Dalam Perda (Qanun) umumnya sanksi pidana umumnya memuat sanksi ringan dan berkaitan dengan tindak pidana yang ringan.

Penyidikan, Penuntutan dan Penjatuhan Vonis

Ketentuan mengenai penyidikan hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan Peraturan Daerah (Qanun). Ketentuan mengenai penyidikan itu memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kementerian Antar/Lembaga untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang atau Perda (Qanun).

Ketentuan mengenai penyidikan biasanya ditempatkan sebelum rumusan ketentuan pidana atau apabila ada dalam undang-undang atau peraturan daerah yang bersangkutan tidak diadakan pengelompokan, maka ketentuan mengenai hal ini ditempatkan dalam pasal-pasal sebelum ketentuan pidana. Demikian pula mengenai penuntutan dan penjatuhan sanksi atau vonis hakim hanya dapat diatur dalam undang-undang. Kalaupun pengaturannya belum juga mencukupi, maka perinciannya dapat diatur dalam peraturan yang lebih rendah asalkan pendelegasian kewenangannya secara tegas diperintahkan dalam atau oleh undang-undang yang bersangkutan. Inilah prinsip yang harus dipegang teguh dalam rangka “Legislatif delegation of rule making power dari pembentuk undang-undang kepada lembaga eksekutif atau pelaksana undang-undang yang dijabarkan secara terang benderang oleh Profesor Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. Wallahu `alam bishawab.

*Penulis adalah Dosen Legal Drafting Prodi Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry.

Editor: Khairil Miswar

No comments:

Post a Comment