Van Swieten, Pembawa Wabah Kolera ke Aceh - bagbudig

Breaking

Tuesday, March 17, 2020

Van Swieten, Pembawa Wabah Kolera ke Aceh

PadaMei 1873, Gubernur Jenderal Loudon mengeluarkan surat tugas kepada JenderalMayor Verspijk untuk memimpin tentara dalam misi pendaratan kedua ke KesultananAceh. Namun kemudian surat itu dicabut kembali oleh Loudon dan diberikan kepadavan Swieten dengan alasan bahwa Belanda membutuhkan wakil politik dalampendaratan ke Aceh. Salah satu alasan pemilihan van Swieten adalah karenapengalamannya yang sudah pernah mendarat di Aceh dan sukses membuat perjanjiandengan Sultan Ibrahim Mansur Syah pada tahun 1857. Meskipun usia van Swietensaat itu sudah lanjut, namun darah militer yang ada dalam tubuhnya masihdianggap cukup baik oleh Jenderal Loudon.

VanSwieten juga diyakini masih mengenal tokoh-tokoh dari Kesultanan Aceh, walaupunSultan Mansur Syah sendiri sudah meninggal empat tahun sebelumnya. Di antaratokoh Aceh paling berpengaruh saat itu yang dikenal van Swieten adalah PanglimaPolim Cut Banta. Namun pada akhirnya justru Panglima Polim inilah yang sangatanti kepada Belanda. Di kemudian hari, Panglima Polim kembali memberi perintahkepada pasukannya untuk melanjutkan Perang Sabil terhadap Belanda.

KeputusanGubernur Jenderal taggal 6 November 1873 secara resmi menugaskan Jenderal vanSwieten sebagai Panglima Perang yang akan mendarat ke Aceh. Jenderal vanSwieten diberikan kuasa penuh oleh Belanda untuk menyampaikan dua hal kepadaKesultanan Aceh; mengakui kekuasaan Belanda atau diserang. Isi surat tugas itusecara tegas menyatakan bahwa tugas Jenderal van Swieten yaitu menyerang Acehdan menaklukkan sultan, meminta sultan menandatangani pengakuan dan jika sultantidak bersedia, van Swieten berkewajiban mengganti kedudukan sultan denganorang lain sesuai arahan pihak Belanda.

Jenderalvan Swieten bertolak ke Aceh dari Jakarta pada 16 November 1873. Jenderal vanSwieten memimpin angkatan perang Belanda sebanyak 60 kapal yang terdiri darikapal perang, kapal pengawal, kapal sipil dan kapal partikulir yang disewa.Selain kapal perang van Swieten juga turut membawa 186 perahu perang untukmemperkuat tentara Belanda di kuala Aceh. Perlengkapan lainnya terdiri dari 206pucuk meriam serta 22 pucuk mortir. Pasukan Belanda juga dilengkapi denganAngkatan Laut, Angkatan Darat, barisan artileri dan pasukan kaveleri (pasukankuda). Jumlah seluruh kekuatan Belanda saat itu 12.101 orang yang terdiri dari389 perwira, 7888 tentara, 16 pegawai sipil, 32 dokter, 3565 narapidana dan 243perempuan. Dalam misinya ini juga turut ikut Jenderal Mayor Verspijk sebagaiorang kedua setelah van Swieten dan juga beberapa militer senior Belanda.

Belandasudah mulai menyerang Aceh pada 6 November 1873. Pasukan ini masuk melaluisungai Arakundo dan membakar rumah-rumah penduduk. Penyerangan juga dilakukandi Julok sehingga menimbulkan kerusakan hebat di sana. Saat itu pejuang Acehkewalahan sebab armada laut Aceh sudah mulai melemah. Tujuan dari penyeranganini adalah untuk menakuti rakyat Aceh agar mereka tidak melakukan perlawananterhadap Belanda. Menjelang akhir November 1873 sejumlah 60 kapal yangmengangkut tentara Belanda berlabuh di perairan Aceh Besar.

Diantara kapal pengangkut pasukan Belanda dari Jakarta terdapat beberapa orangyang mengidap penyakit kolera. Tidak diketahui secara pasti apakah wabah koleraini sengaja dibawa oleh pihak Belanda atau justru karena ketidaktahuan vanSwieten bahwa ada pengidap wabah di kapal mereka. Namun demikian, kuat dugaanbahwa wabah kolera tersebut sengaja dibawa oleh Belanda ke Aceh. Salah satualasannya bahwa penyakit tersebut sudah diketahui pihak Belanda di mana adarombongan kapal yang terkena kolera sejak masih berada di Tanjung Priok. Saatitu kapal yang memuat pembawa wabah kolera juga tidak dikarantina.

Diperairan Aceh sendiri saat itu seluruh armada Belanda menaikkan bendera kuningsebagai tanda kapal perang sedang dilanda wabah penyakit menular. Jenderal vanSwieten mengirim kawat pertama melalui Penang ke Jakarta untuk mengabarkanbahwa 77 orang awak kapal terkena kolera. Bahkan ada informasi yang menyebutbahwa seorang pengidap kolera sengaja dikuburkan di pantai Aceh untukmenularkan penyakit tersebut di sana.

Sementara itu perang pun sudah mulai berkecamuk. Jenderal van Swieten ingin segera menyampaikan surat resminya kepada Sultan Aceh pada 1 Desember 1873 yang menuntut sultan mengakui kedaulatan Belanda. Namun saat itu Belanda tidak berani mengambil risiko. Mereka juga sangat sulit menemukan utusan yang bisa dikirim kepada sultan. Akhirnya van Swieten mendaratkan pasukannya di Aceh tanpa menyampaikan pemberitahuan kepada sultan.

Van Swieten
Foto: nederlandsekrijgsmacht.nl

Setelahmengepung Aceh selama 18 hari dari tanggal 6 Januari sampai 24 Januari 1874,barulah Belanda dapat menguasai istana sultan Aceh dalam keadaan kosong. Saatitu para pejuang Aceh terpaksa mengosongkan istana karena sedang hebatnyaserangan kolera dan bertujuan menyerang balik Belanda dari segala jurusan. Kontrolpemerintahan Kesultanan Aceh sudah pindah ke Lueng Bata sebelum Belandaberhasil merebut istana. Pada awalnya Sultan Aceh diungsikan kira-kira 3 kmdari istana. Karena masih terancam kemudian dilakukan pengungsian ke LamTeungoh. Tidak lama kemudian kembali berpindah ke Pagar Aye di tepi SungaiAceh.

Saatmasih berada di istana, sultan sudah terjangkit kolera. Saat itu wabah kolerasudah menyebar di istana di mana setiap harinya di dalam pekarangan istanadikuburkan lebih dari 150 orang yang meninggal karena wabah. Ketika berada diPagar Aye, pada 28 Januari, Sultan Mahmud Syah meninggal dunia akibat wabah itu.Berita meninggalnya sultan akibat wabah kolera berkembang sangat cepat sehinggadiketahui oleh van Swieten, si pembawa kolera ke Aceh. Lalu dia punmengabarkannya ke Jakarta dan negeri Belanda.

Sumber: Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 2.

Ilustrasi: alchetron.com

Foto: nederlandsekrijgsmacht.nl

No comments:

Post a Comment