Propaganda Militer dan Kapitalis dalam Novel Orang-orang Oetimu - bagbudig

Breaking

Sunday, March 1, 2020

Propaganda Militer dan Kapitalis dalam Novel Orang-orang Oetimu

Sebelum membual tentang Orang-Orang Oetimu, selayaknya saya minta maaf kepada penulisnya terlebih dahulu, karena dalam mengkaji ini saya tidak menerapkan teori kritik sastra tertentu. Sekali-kali saya memaksakan teori malah membuat ngakak si Sunlie Thomas Alexander yang jago kritik sastra itu. Tapi seseorang pernah bilang ke saya, kamu tidak akan bisa menulis sebuah cerpen kalau tidak menguasai teorinya, hanya kamu mungkin belum mampu mendefinisikannya.

Sementara guru pertama sastra serius saya, Pringadi, berpendapat lain lagi, kepala saya telah dipenuhi teori yang tumpah tindih yang sangat berpotensi untuk korslet. Kita tidak perlu membahas itu lebih jauh, mari kita kembali ke Orang-Orang Oetimu. Jangan kira saya akan menulis ini semata-mata sesuai dengan judulnya saja, saya juga akan mencatat, alur, karakter, plot dan setting sebagai pembentuk cerita.

Orang-orang Oetimu dimulai dengan: menonton piala dunia bersama di kantor polisi Oetimu yang disponsori oleh Sersan Ipi, sebagai selamatan karena akan menikahi Silvy, cewek paling cantik seorang pendatang di Oetimu dengan sedikit informasi ada sekelompok penyerang yang sedang menyerang rumah Martin Kabiti.

Pada Bab 2; penulis menggunakan alur mundur sampai ke Lisabon, ketika Julio Craveiro dos Santos berencana berangkat ke Timor dan memboyong istri dan putrinya Laura, bagaimana suami istri itu kemudian dibantai tentara Indonesia ketika Soeharto memutuskan menginvasi Timor. Hanya Laura yang selamat meski bisa kabur dalam keadaan hamil dan diperkosa. Penulis dengan sengaja menunda informasi hubungan keluarga Julio Craveiro dengan kejadian di malam pertandingan piala dunia. Bab ini ditutup dengan kemunculan Am Siki yang ingin menolong Laura.

Dalam Bab 3, penulis memperkenalkan Am Siki dengan memutar cerita tentang cerita kepahlawanannya saat melawan tentara Jepang di kamp kerja paksa dan hubungan Am Siki yang lebih baik dengan Portugis daripada dengan Belanda dan kemudian memilih menetap di Oetimu.

Bab 4, alur kembali ke bab 2, bagaimana Am Siki menolong Laura, Laura melahirkan anak laki-laki, sebelum ia memilih mati karena tidak mau makan, anak lelaki itu kemudian kita kenal sebagai sersan Ipi. Sampai di sini kita sudah bisa menjawab kemunculan tokoh Julio Craveiro dos Santos dalam Bab 2.

Dalam Bab 5, merupakan pengambaran Oetimu, secara geografis maupun orang-orang yang ada di sana, di sini juga digambarkan bagaimana tingkah polisi di daerah, yang sangat doyan memukul dan trik intrik dalam melakukan pungli. Dan bukan hanya polisi, tetapi militer dari Jawa juga bersikap manis semata hanya untuk dapat meniduri cewek lokal.

Penulis mungkin ingin memberitahu kita semua tentang kelakuan kedua aparat pemerintah ini di pedalaman. Di bab ini, penulis juga kembali menyebut-nyebut penyerangan ke rumah Martin Karbiti di bab 1 saat memperkenalkan tokoh Atino. Saya pikir pola ini mengingatkan kita pada pola Seratus Tahun Kesunyian. Ketika Marquez mengulang informasi Kolonel Auraliano berdiri di depan regu tembak, yang saya anggap sebagai titik awal putaran ceritanya. Tentu bukan sebuah dosa saat seorang penulis mencoba pola penulis lain, bahkan menurut saya, dalam Cantik Itu Luka, dan Lelaki Harimau, Eka Kurniawan juga menggunakan pola ini, tapi saya tidak bisa menulisnya secara rinci karena saat membaca kedua novel itu saya tidak meninggalkan catatan tertulis (memang ada gunanya, ketika Muhammad Iqbal meminta saya menulis catatan setelah membaca sebuah buku, biar segalanya tidak menjadi gaib sama sekali).

Hanya tidak seperti Marquez yang tidak mengakhiri cerita pada titik hukuman mati Kapten Aureliano Bundie, Felix mengakhiri cerita pada saat penyerangan ke rumah Martin Karbiti. Eka dalam Lelaki Harimau juga mengakhiri cerita pada titik awal putaran, yaitu pembunuhan terhadap Anwar Sadat.

Bab 6, alur maju ke saat persetubuhan Ipi dengan Silvy, dan mundur lagi ke masa kecil Ipi bersama Am Siki dan bagaimana ia masuk kepolisian. Saat kembali ke persetubuhan Ipi dan Silvy, bab ini ditutup dengan Silvy yang mengingat Romo Yosef.

Di sini penulis mencoba mengecoh pembaca, dan saya rasa cukup berhasil karena di catatan, saya menulis kalau Romo Yosef adalah pacar Silvy sebelumnya, saya juga berpikir, Yosef pernah meniduri Silvy. Saya salah, dan inilah alasan kenapa pada Bab 9 penulis memperkenalkan tokoh Linus, yang peran sesungguhnya dalam cerita ini baru kita tahu di Bab 11.

Bab 7, seting langsung dibuka di Kupang yang menceritakan masa lalu karakter Romo Yosef di kepastoran, bagaimana Romo Yosef sampai di pindahkan ke SMA Santa Helena, tempat Silvy sekolah sebelum pindah ke Oetimu. Di sini juga menceritakan bagaimana Romo Yosef membangun Santa Helena dengan menjual penderitaan orang miskin kepada para penderma. Setelah cukup modal, ia membangun sebuah sekolah elite yang tidak mungkin dimasuki anak-anak miskin di sekitarnya.

Saya pikir, Romo Yosef telah menjadi seorang kapitalis yang mencari untung sebesar-besarnya melalui Santa Helena. Dia langsung menyingkirkan guru-guru kritis. Menuruti sang Romo merupakan syarat mutlak untuk bekerja di Santa Helena. Kalau di Seratus Tahun Kesunyian, kapitalis diwakili oleh Perusahaan Pisang, di Oetimu suara kapitalis diwakili oleh SMA Santa Helena.

Biar kamu tidak bosan, dan semakin penasaran dengan buku ini, saya tidak akan melanjutkan catatan bab demi bab, dan saya juga tidak menyebutkan ending dari pembantaian di rumah Martin Karbiti; saya akan coba secara garis besarnya saja.

Penulis memperkenalkan tokoh-tokoh yang terlibat, menjawab bagaimana terlibat dengan mengunakan alur maju mundur dan pola putaran-putaran. Terkadang menyebut perannya terlebih dahulu baru menceritakan masa lalu mereka, dan ada yang diceritakan masa lalunya dulu baru disebut perannya dalam cerita. Hanya satu tokoh yang sangat penting saya tidak mengingat penulis menyebut masa lalunya. Dia adalah Martin Karbiti.

Pada bagian Silvy mengingat ibunya, “Ibunya yang jelita. Ibunya yang mewangi. Ibunya yang lebih dicintai oleh ayahnya, ayahnya yang kini hilang tak berkabar. Ia selalu ingin menjadi ibunya.” Kalimat-kalimat yang mengingatkan saya pada Elextra komplexnya Frued.

Saya tidak tahu, apa penulis terpengaruh Freud atau sebaliknya. Maksud saya kenyataan sosial yang membuat Freud menyimpulkan teorinya.

Penyerangan ke rumah Martin Karbiti oleh orang-orang yang dendam pada Martin, dijadikan propaganda oleh militer untuk membuat orang-orang membenci PKI dengan melaporkan hal yang berbeda dengan yang sebenarnya ke publik. Para penyerang adalah sekelompok orang yang dendam pada Martin dilaporkan sebagai anggota komunis.

Sebelumnya juga dibuat propaganda militer untuk membela negara atau negara harga mati dalam kasus kecelakaan suami Maria. Hanya yang membuat saya sedikit terganggu dalam membaca novel ini, penulis membongkar propaganda kapitalis di sekolah Helena dan propaganda Militer terhadap komunis dengan sangat verbal atau apa pun istilahnya, yang membuat saya berpikir kalau penulis masuk ke kedua bagian cerita itu.

Tapi meski pun demikian tidak mengubah pendapat saya kalau novel ini sangat layak untuk masuk shortlist Kusala Satra tahun ini.

Editor: Khairil Miswar

Foto: Novel Orang-Orang Oetimu/ Koleksi Ida Fitri.

No comments:

Post a Comment