Ketika Hamka Dituduh Ingin Jadi Menteri - bagbudig

Breaking

Friday, March 13, 2020

Ketika Hamka Dituduh Ingin Jadi Menteri

Di bumi ini, rasa dengki sangat sulit dihapus. Bahkan rasa itu terus saja tumbuh di benak sebagian kita. Rasa itu bukan dibenam, tapi justru dipelihara oleh sebagian mereka, atau oleh kita sendiri yang selalu saja gundah dengan kesuksesan orang lain.

Pada era 1970an Hamka juga pernah “terganggu” dengan isu tak menentu yang diembuskan oleh mereka yang (mungkin) telah dirasuki kedengkian. Isu itu terus saja beterbangan kian kemari sehingga Hamka benar-benar merasa “terusik.”

Foto: Pandji Masjarakat, 1959

Saat itu, Hamka dituding berambisi menjadi menteri pada masa pemerintahan Soeharto. Semua tindakan Hamka pada tahun-tahun itu, oleh si pembuat isu, dihubungkan dengan “keinginan” menjadi menteri.

Ada tiga aktivitas Hamka yang dijadikan dasar oleh si pembuat isu untuk menuduh Hamka sedang mengincar kursi menteri.

Pertama, pada 1969, Muhammadiyah membuat keputusan untuk berhari raya Idul Fitri pada 10 Desember. Sementara Hamka yang juga seorang pemuka Muhammadiyah justru memilih berhari raya pada 11 Desember, berbeda dengan Muhammadiyah.

Kedua, pada akhir Januari 1970 berembus kabar bahwa pemerintah melarang umat Islam naik haji atas usaha sendiri. Para jamaah haji yang sudah terlanjur berangkat ke luar negeri ditahan oleh KBRI di Singapura sejumlah 700 orang.

Menyikapi kejadian ini, Hamka sempat memperingatkan pemerintah melalui tulisannya yang terbit di Harian Abadi. Hamka menyampaikan bahwa melarang orang menunaikan haji adalah perbuatan yang melanggar aturan dalam Alquran.

Ketiga, pada saat itu, Hamka juga menerima permintaan Kejaksaan Agung untuk menjadi saksi ahli atas dakwaan yang menimpa H.B Jassin dan Majalah Sastra. Kesaksian Hamka dimaksudkan untuk menguatkan dakwaan dari Kementerian Agama atas sebuah tulisan di majalah Sastra.

Foto: Majalah Santunan, 1980

Akibat tiga kejadian tersebut, muncullah desas-desus bahwa Hamka sengaja berbeda dengan Muhammadiyah dalam perayaan Idul Fitri, mengkritik menteri karena persoalan haji dan juga kesediaannya menjadi saksi dalam kasus Majalah Sastra H.B Jassin adalah untuk menarik perhatian Presiden Soeharto agar diangkat menjadi menteri.

Mirisnya lagi, saat itu, para muballigh Muhammadiyah di Jakarta juga melakukan “kampanye” di mana-mana dengan menuding Hamka telah mengkhianati Muhammadiyah sebab merayakan Idul Fitri pada hari yang ditetapkan pemerintah, 11 Desember. Dalam beberapa pidato, para muballigh Muhammadiyah di Jakarta juga menuduh Hamka berambisi menjadi menteri.

Bahkan dalam salah satu pertemuan di Jakarta, yang dihadiri oleh ratusan warga Muhammadiyah, Prof. Dr. Aboebakar Atjeh menyampaikan kepada para warga Muhammadiyah bahwa Hamka sengaja berhari raya menyamai pemerintah karena berharap tiket dari pemerintah untuk terbang ke luar negeri.

Tapi tanpa diduga, seperti dicatat Hamka dalam artikelnya di Panji Masjarakat edisi Februari 1970, beberapa hari setelah menyampaikan pidatonya, Prof. Aboebakar Atjeh tiba-tiba berjumpa dengan Hamka di sebuah toko buku.

Seketika saja, catat Hamka, Aboebakar Atjeh memeluk Hamka dan meminta maaf atas ucapannya beberapa hari sebelumnya. Hamka tersenyum mendengar permintaan Aboebakar Atjeh dan berkata kepada sahabatnya itu:

“Saudara sejak semula telah saya maafkan. Karena saudara ini seorang yang sedang sakit darah tinggi. Sebab itu, kalau marah, saudara tak dapat mengendalikan diri. Mungkin hari itu telah keluar pula ucapan-ucapan taik kucing.”

Meskipun Aboebakar Atjeh telah melemparkan tuduhan tak berdasar kepadanya, tapi Hamka memaafkan sahabatnya itu.

Foto: Tempo, 1974

Sementara itu, di Tebet, Amiruddin Siregar, melalui pemancar radio, meminta agar Hamka dikeluarkan dari Muhammadiyah. Amir juga menuduh Hamka ingin menjadi menteri.

Uniknya lagi, Hamka juga mendapat kartu ucapan selamat hari raya bernada ejekan dari seseorang di Kramat. Di kartu tersebut tertulis: “Selamat masuk NU. Kapan dilantik jadi menteri?”

Tidak hanya itu, teguran Hamka kepada menteri Idham Chalid dan Dachlan karena persoalan haji, juga dituding sebagai strategi Hamka untuk menyingkirkan mereka dari kursi menteri agar kemudian Hamka diangkat sebagai menteri.
Akhirnya informasi Hamka akan menjadi menteri pun tersebar luas.

Dalam kondisi demikian, tersebar pula berita bahwa kesediaan Hamka menjadi saksi dalam sidang cerpen “Langit Makin Mendung” di majalah Sastra yang dipimpin Jassin adalah untuk mencari muka pada pemerintah agar Hamka diangkat sebagai menteri.

Bahkan, seorang pengarang yang merasa simpati kepada H.B. Jassin sempat datang ke rumah Hamka pada malam hari guna mencela sikap Hamka yang bersedia menjadi saksi di persidangan.

Padahal, menurut Hamka, cerpen di majalah sastra tersebut telah memicu amarah umat Islam sehingga Menteri Agama mengambil sikap membawanya ke pengadilan. Dan kehadiran Hamka di persidangan tentunya sangat dibutuhkan demi meredam amarah umat Islam.

Konyolnya lagi, si pengarang yang datang ke rumah Hamka ini juga mencoba mengecek salah seorang cucu Hamka yang kabarnya mirip Soeharto.

Waktu itu salah seorang anak Hamka sempat marah karena anaknya (cucu Hamka) disebut mirip Soeharto sebab Hamka sudah sangat dekat dengan Soeharto dan akan diangkat menjadi menteri.

Akibat kabar tidak jelas tersebut sudah tersebar luas, akhirnya Hamka menulis sanggahannya dalam sebuah artikel di Pandji Masjarakat dengan tajuk “Djiwa Merdeka dalam Negara Merdeka.”

Hamka mengkritik pikiran orang-orang yang menganggap puncak karier seseorang adalah menjadi menteri. Hamka juga menyatakan bahwa tidak semua orang yang kritis bercita-cita menjadi menteri.

Padahal, tulis Hamka, kalau ia ingin jadi menteri, sudah bisa didapatkannya dari dulu, sewaktu Partai Masjumi masih berkibar. Tapi dia memang tidak pernah berhajat menjadi menteri.

Bahkan, pada tahun 1959, Hamka memilih keluar dari pegawai negeri, padahal Hamka berstatus sebagai pegawai tinggi golongan F di Kementerian Agama.

Sumber: Pandji Masjarakat, Februari 1970

Dalam artikelnya itu Hamka juga menegaskan bahwa pujian yang ia sampaikan kepada pemerintah bukan karena ia ingin menjilat. Demikian pula, kritik yang ia ajukan kepada pemerintah juga bukan untuk meraih kedudukan.

Apa yang ia dapatkan selama ini, tambah Hamka, adalah atas usahanya sendiri sebagai pengarang, bukan pemberian pemerintah. Dia dikenal di mana-mana, sampai ke luar negeri pun bukan sebab pemerintah, tapi dari karya dan goresan penanya sendiri.

Bagi Hamka, “Melacurkan keyakinan hidup adalah satu kehinaan.” Sebab itu dia tetap berusaha konsisten dengan sikapnya. Jika pemerintah itu baik, dia akan memuji. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan, ia tak segan mengkritik.

Di akhir artikelnya, Hamka menulis:

“Meskipun dalam kemiskinan benda, saya merasai kemerdekaan dan kebebasan jiwa.”

No comments:

Post a Comment