Demokrasi dan Korupsi - bagbudig

Breaking

Tuesday, February 4, 2020

Demokrasi dan Korupsi

Oleh : Arifudin*

“Setiap pengkhianat diberi panji pada hari kiamat yang diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya daripada pemimpin masyarakat (penguasa)” (HR Muslim, Ahmad, Abu ‘Awanah dan Abu Ya’la)

Penulis ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk berbicara tentang tema demokrasi dan korupsi. Demokrasi dan korupsi keduannya akan selalu terintegrasi. Ini  bukanlah sesuatu hal yang semata-mata seruan provokasi belaka, melainkan sebuah keniscayaan dari sistem yang dibangun di atas landasan “akal” dan “hawa nafsu” manusia.

Mustahil rasanya apabila kasus-kasus korupsi yang kian menggila di iklim demokrasi kita berhasil tuntas untuk diberangus. Sekarang lebih parah lagi, bahkan kini sang petahana korupsi justru lolos seleksi untuk menjadi kandidat kepala daerah.

Dulu pada tahun 2018 berita yang berkembang di media kompas.com,  bahwa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan akan tetap melantik Bupati Tulungagung Syahri Mulyo meski dia terjerat kasus korupsi. Syahri Mulyo dulu sudah kita ketahui bersama telah menyerahkan diri dan kini dia mendekam di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah itu sempat menjadi buronan lembaga antikorupsi.

Hal ini memunculkan kembali ingatan terkait sejumlah nama yang pernah mengalami hal serupa. Pada beberapa tahun lalu, berdasar pada data penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada sembilan nama kepala daerah yang dilantik oleh Mendagri saat itu.

Bahkan nama-nama tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dan pihak kepolisian maupun kejaksaan.

Apakah mungkin demokrasi dan korupsi memiliki hubungan yang sangat erat. Atau mereka seperti lingkaran setan yang tak terputus? Akibat mahalnya demokrasi, maka wajar korupsi masih membabi buta sekarang. Para pejabat pun dulu hingga sekarang membutuhkan modal untuk penggelontoran dana dalam rangka “membeli” suara rakyat.

Setelah mereka menjadi pejabat, ditempuhlah cara korupsi untuk menggantikan modal. Juga untuk dana kampanyenya. Lucu ya!

Gaya hidup seperti ini merupakan gaya hidup hedonis yang menjadi tolok ukur tercapainya kebahagiaan saat ini pun menjadi alasan utama bagi mereka. Biaya hidup tinggi serta gaya hidup yang mahal bagi dirinya berikut sanak keluarganya mengharuskan ia rakus meraup pundi-pundi rupiah dan melakukan segala cara.

Bahkan rakyat pun terus-terus miskin karena pejabat meri’ayah setengah hati. Janji manis kampanye tak lain sebagai pencitraan untuk membeli suara rakyat. Para pejabat yang memegang amanah mengurus rakyat pun tampak setengah hati melakukan tugasnya.

Contohnya, infrastruktur yang mangkrak. Kurang berkualitas dari segi materialnya. Rendahnya mutu barang dan jasa. Karena dana yang diberikan tak sepenuhnya digunakan untuk khalayak umum. Melainkan “masuk ke kantong” mereka sendiri.

Kalau kita berbicara dalam konteks demokrasi tidak ada standar tegas dalam kriteria pemimpin. Yang penting punya modal, maka lolos menjadi kandidat bahkan hingga menjabat. Akhirnya banyak yang tidak capable dalam jabatan yang mereka pangku. Banyak kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan justru menyakiti hati dan malah menyengsarakan rakyat.

Berbeda halnya dengan jabatan pemimpin dalam sistem Islam. kriteria pemimpin/khalifah jelas poin-poinnya ditentukan sesuai hukum syariah.

Secara spesifik, pemimpin negara atau penguasa dalam Islam harus memiliki tujuh kriteria yang wajib terpenuhi: Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu.

Ketujuh kriteria ini merupakan syarat mutlak bagi penguasa. Pasalnya, ketujuh kriteria ini telah ditetapkan oleh dalil syariah sebagai kriteria yang wajib dimiliki seorang pemimpin.

Jika salah satu dari ketujuh kriteria ini tidak ada, maka kepemimpinan secara syar’i dinyatakan tidak sah.

Maka, mustahil pelaku kriminal masuk ke dalam kriteria tersebut. Karena bicara tentang kepemimpinan adalah amanah dan tanggung jawab yang begitu besar.

Tujuannya bukanlah untuk kepuasan eksistensi diri dan limpahan materi. Namun, semata-mata tulus hanya ingin meraih ridha Illahi. Bahkan, selayaknya merasa begitu takutnya memegang amanah tersebut karena sebesar biji dzarah pun dari kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak.

Sistem demokrasi telah membutakan mata dan hati sebagian besar pemimpin yang ada. Pencitraan demi pencitraan dilakukan untuk menyilaukan mata rakyat. Di samping itu justru kebijakan yang memerihkan rakyat terutama rakyat kecil digelontorkan.

Mereka menjadi sosok pemburu jabatan dan menghalalkan segala cara dalam meraihnya. Korupsi menjadi “budaya,” menyuap sejumlah pihak agar ia dipilih, menebarkan hoax, menjelek-jelekkan orang lain, mengintimidasi pihak yang dianggap berlawanan dengan rezim, menyuguhkan iming-iming dalam berbagai bentuk dan segala cara lainnya, agar bisa menjadi penguasa.

Pemimpin seperti ini sangat mungkin menipu dan mengkhianati rakyatnya. Walahu’alam bisha’wab.

*Penulis adalah Direktur Lembaga Pengkajian dan Pendidikan Pancasila (LP3)

Editor: Khairil Miswar

No comments:

Post a Comment