Sekeping Kenangan di Masjid Oman Al-Makmur - bagbudig

Breaking

Friday, January 31, 2020

Sekeping Kenangan di Masjid Oman Al-Makmur

Oleh: Marthunis Muhammad

Marthunis Muhammad/ Facebook

Sebelum dikenal sebagai Masjid Oman, masjid di wilayah Lampriet itu bernama Masjid Al Makmur. Letaknya di Jalan Belanak Lampriet. Cuma beda satu jalan dari Jalan Cumi-Cumi di mana saya pernah tinggal.

Masa kecil saya MIN, Masjid Al Makmur belum selesai dan sering jadi tempat main anak-anak kecil. Satu kejadian masih melekat dalam ingatan ketika bermain di Masjid Al Makmur  yang belum selesai itu dengan anak-anak kampung seberang adalah pengalaman merokok. Karena solider dan tak ingin dianggap “anak mama”, saya hiruplah sepetek, gitu istilah dulu. Itu menjadi pengalaman merokok sekali dan terakhir. Ternyata di masjid pun jika tak ada yang mengingatkan, hal-hal tak pantas pun bisa dilakukan.

Masa itu, masjid saya masih di Jalan Pari. Masjidnya rendah. Kalau hujan deras, air sering masuk ke dalam masjid sehingga karpet tipis pun basah. Pernah harus kembali pulang karena shalat fardhu tidak jadi dilaksanakan.

Masjid Pari kebanjiran. Imam Masjid saat itu namanya, Tgk Ahmad Abdullah. Dia tinggal di Jalan Gabus, dekat Jalan Mangga. Kalau pergi ke Masjid, naik honda. Kami memanggil beliau Pak Imam. Beliau berjenggot putih dan sering pakai celana panjang. Orangnya disiplin dan tegas.

Saya pernah ketakutan dan jera ketika dimarahi karena saat shalat saya berteriak “Aaaamiinnnn” dengan vokal yang melengking. Meski tidak menunjuk hidung, saya merasa ketakutan hingga gemetar. Sejak saat itu, saya tidak berani lagi bersuara keras ketika “Aamiin”.

Yang unik di Masjid Pari adalah shalat tarawih. Kalau di tempat lain, shalat tarawihnya dua-dua rakaat, Di Masjid Pari empat-empat rakaat. Shalat shubuh pun tidak pakai qunut. Dulu katanya, Pak Imam orang Muhammadiyah.

Saya sering pergi ke Masjid Pari dibonceng Pak Nek. Beliau Naib Imam. Kalau tidak ada Pak Imam, Pak Nek yang jadi pengganti. Beliau orang NU, pernah jadi Rais Syura katanya. Shalat Tarawih juga empat-empat rakaat. Meskipun kalau shalat di rumah, karena hujan, sembahyang tarawihnya dua-dua rakaat.

Hubungan Pak Nek dan Pak Imam harmonis. Setiap lebaran, Pak Nek sering ajak saya dan nenek bertamu ke rumah Pak Imam. Saya gak berani bicara, cuma mendengar pembicaraan mereka.

Sebelum pulang, Pak Nek bilang untuk menghabiskan sirup merah yang sudah di dalam gelas. Menghormati yang membuat air katanya.

Yang paling saya ingat dari Masjid Pari adalah kegiatan Remaja Masjidnya aktif. Setiap peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Nuzulul Quran sering dibuat perlombaan. Ada lomba azan, tilawah, cerdas cermat sampai pidato. Peserta dibagi berdasarkan jalan-jalan di Lampriet. Kelompok yang paling sering juara adalah Kelompok Pari dan Todak, karena jumlah anak-anaknya paling banyak. Saya pun dapat juara. lomba adzan dan tilawah kalau gak salah, itu pun bukan juara satu. 

Ketika Masjid di Jalan Pari dipindah ke Jalan Belanak, Saya sudah pindah ke Jalan Tenggiri, di samping SMP 2. Pembangunan Masjid Al Makmur di Jalan Belanak lama selesainya. Katanya 14 tahun. Mungkin karena hanya bermodalkan sedekah warga Lamprit dan sekitar.

Pak Imam masih jadi Imam. Shalat Tarawihnya juga masih empat-empat rakaat. Pak Imam sekarang sudah sering naik mobil ke masjid. Mungkin karena lebih jauh dan lebih aman. Saya ke Masjid Al Makmur juga masih sering dengan Pak Nek, tapi sekarang gantian saya yang bonceng Pak Nek.

Masa di Masjid Al Makmur Belanak, perlombaan saat hari besar agama Islam masih sering dilakukan. Tapi karena saya sudah lebih besar, Saya sering jadi panitia, bantu bantu kegiatan. Lagi pula saya sudah mulai malu ikut lomba-lomba.

Tempat paling berkesan waktu itu adalah perpustakaan. Letaknya di sebelah kiri depan masjid. Kalau sekarang mungkin sekitar tempat wudhu utama laki-laki. Remaja Masjid sering belajar di situ. Bukan hanya ada buku agama, tapi juga ada buku kumpulan soal UMPTN. Alumni perpustakaan di situ  ada yang lulus ke ITB, Unsri dan ITS.

Masa kuliah saya tidak sering ke masjid karena kuliah di Surabaya. Saya kembali mulai sering ke Masjid Al Makmur lagi setelah diterima jadi PNS di Pemerintah Aceh tahun 2003 akhir. Pak Imam dan Pak Nek Saya sudah kembali ke rahmatullah.

Sesaat setelah gempa besar tahun Desember 2004, saya pergi dari rumah ke Masjid Al Makmur untuk melihat kerusakannya. Bersama warga lain membantu menyelamatkan aset dari ruang pengurus Masjid.

Yang Saya ingat, saya angkat peralatan microphone dan ampli yang sering digunakan oleh takmir untuk mengumumkan sesuatu  bagi jamaah.

Di Masjid Al Makmur yang kubah uniknya runtuh itulah saya melihat air laut dari sungai kecil di samping Kantor Gubernur menghantam jembatan Lamprit dengan dahsyatnya. “Astaghfirullah, Tsunami.” Tsunami tidak asing lagi bagi saya karena saya pernah belajar di Teknik Kelautan. Dari situ saya bersama beberapa yang hadir dan sepupu langsung berlari menuju mobil dan melaju ke Jambo Tape.

Kami mengungsi ke kampung karena rumah tidak layak lagi dihuni. Perhatian ke Masjid Al Makmur berkurang karena
sedang fokus untuk membersihkan rumah di Jalan Tenggiri, posisinya lebih dekat dengan laut ketimbang Masjid Al Makmur. Selentingan kabar, Masjid Al Makmur dibersihkan oleh Rombongan FPI dari luar Aceh.

Februari 2005, Saya pindah ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan bahasa karena mendapatkan beasiswa ke Eropa. Dapat kabar bahwa Masjid Al Makmur akan dibantu oleh Sultan Qaboos dari Oman, Alhamdulillah. Selama di Jakarta, pernah menemui pengurus Masjid Al Makmur yang di antaranya Ayah.

Mereka bertemu dengan Menteri Alwi Shihab dan perwakilan dari Yayasan Hilal Merah, Yayasan yang mencari dana dari Sultan Oman. Kabarnya keberangkatan mereka ke Jakarta merupakan kontribusi salah satu aghniya pengurus Masjid Al Makmur yang hadir juga saat itu.  Kami menginap di Hotel Maxim, hotel melati di bilangan Kwitang, Senen. Tak jauh dari Salemba, tempat saya belajar Bahasa Prancis.

Setelah pulang sekolah, saya kembali mulai berjamaah di Masjid Al Makmur, yang sudah berubah lebih keren menjadi Masjid Oman. Tarawihnya sudah dua-dua rakaat. Katanya, berubahnya dari empat-empat rakaat bukan seketika setelah Pak Imam meninggal, tapi setelah beberapa lama dan berdasarkan kesepakatan para pengurus dan tokoh masyarakat di Lamprit.

Setelah berubah menjadi Masjid Oman dan bentuk fisik yang nyaman. Manajemen Masjid semakin baik dan terdepan. Salah satunya akibat kekompakan pengurus dan keterbukaan terhadap masukan untuk kemashlahatan.

Saat ini saya sudah pindah tempat tinggal. Saya sudah menjadi jamaah Masjid Syuhada. Di Masjid  baru shalat shubuhnya pakai qunut dan ada zikir jahar setelah shalat fardhu. Saya tetap ikut tata cara shalat di masjid ini. Meskipun saya sering rindu dengan Masjid Oman dengan kebiasaan shalat yang sudah menjadi sebagian kebiasaan masa kecil, terutama ketika Ramadhan.

Kini, ada sedikit huru hara di Masjid Oman. Katanya ada yang mau mengubah cara atau tata laksana ibadah di Masjid itu. Janganlah! Biarkan Masjid Oman menjadi Masjid seperti biasanya. Karena jika tata cara ibadah Masjid Oman diserupakan dengan Masjid lainnya. Tempat saya melimpahkan rasa rindu akan hilang. Setengah hati saya akan gamang. Hidup pun mungkin akan terasa bosan. Apalagi Masjid Oman akan tetap sering saya singgahi, karena Lamprit adalah tempat saya lahir di mana orang tua masih tinggal.

Harapan saya, semoga Masjid Oman tetap menjadi Masjid Al Makmur dengan kekhasan cara ibadahnya. Biarkan ia menjadi masjid yang memberi kenyamanan bagi penduduk tempatan. Karena merekalah yang bersusah payah membangun, menyumbang, bergotong royong dan menjaga Masjid Oman Al Makmur. Lebih penting lagi dengan tata cara yang biasa, Masjid Oman pun termasuk masjid yang paling makmur, sesuai dengan doa dan harapan yang dipanjatkan para pendirinya ketika memberikan nama “Al Makmur”.

NB. Jalan Belanak sekarang sudah berubah menjadi Jalan Ayah Hamid.

Tulisan dan foto: Facebook Marthunis Muhammad
Editor: Khairil Miswar

No comments:

Post a Comment