Membelah Pasar - bagbudig

Breaking

Saturday, June 12, 2021

Membelah Pasar

“Mengapa saya tidak boleh mengutuk? Mengapa saya harus menjaga sopan santun? Mengapa saya dikesankan harus elite dan sok terpelajar ketika saya merasa perlu mengutuk cara orang-orang di pasar memperlakukan saya?” Si Muktar berkacamata mengamuk.

Dibunyikannya klakson mobil diiringi pedal gas menderu-deru, bermaksud membelah pasar yang sesak manusia. Tapi apa daya? Jika tak menggilas manusia, tak kan bergeser mobil itu walau sejengkal. Orang-orang pasar tidak mudah untuk disuruh menyingkir. 

Seorang tukang ikan melempar jeroan ke jendela kaca mobil barunya. Habis kotor berlumur darah. Orang-orang mengintimidasi dengan teriakan dan sorak sorai. Pasar makin padat. Mereka penuh tanda tanya, siapa orang gila yang mengendarai mobil baru seperti orang gila itu. Memaksa masuk pasar yang padat dan mengacau. 

Tapi Muktar tidak peduli lagi. Kali ini ia ingin membuat perhitungan dengan pasar. Ia ingin membelah tempat sesak tersebut dengan klakson mobil. Muktar memiliki dendam pada pasar tradisional yang kata temannya ramah dan merakyat itu. Tapi bagi Muktar, pasar adalah sekumpulan para penipu dan pengintimidasi yang menyiksa dirinya. 

Memang, muka Muktar yang putih lugu, pakaiannya yang lumayan rapi serta kacamata bulat dan tebal membuat siapa saja di pasar akan merasa berdosa jika tidak menipunya. Ada semacam perasaan gereget bagi siapa saja yang melihat wajah Muktar dalam situasi normal. Penjual ikat pinggang akan menyesal berkali-kali ketika tanpa sengaja menawarkan ikat pinggang kulit yang elegan dengan harga biasa. Ia harusnya menawarkan harga 2x lipat sambil berlagak ambil untung sedikit. Dengan rayuan dan setengah memaksa, Muktar yang lugu dan tak tahu harga bisa dengan mudah terpengaruh. 


“Orang-orang pasar terkutuk. Melihat kacamata-ku mereka menjadi gila. Si penjual ikan akan menawarkan ikan busuk dengan harga tinggi. Si penjual ubi akan membungkus ubi yang sudah busuk, menguning dan keras. Si penjual jeruk akan memilihkan jeruk yang masam dan menarik harga tinggi. Atau ia akan menawarkan jeruk madu yang tampaknya segar wangi tapi sebenarnya sudah busuk. Si penjual baju kaos pun tak ketinggalan. “Ini baju bagus kualitas mall,” kata penjaja baju kaos. Ia menawarkan harga mahal pada baju yang ketat, panas dan membuat gatal sekujur badan Muktar.

“Mengapa mereka tidak konsisten dengan harga?” Amuk Muktar.

“Mereka cari untung, mereka aji mumpung, mereka zalim! mereka tidak beragama!” 

“Atau karena muka-ku yang lugu karena berkacamata lebar? Lalu dimana nurani tertinggi yang katanya terdapat di pasar itu?” Muktar tidak terima.  

Istri Muktar yang sedang hamil tua hanya tertawa miris. Dia tidak dapat berbuat apa-apa. Selama ini dia yang pergi ke pasar karena tahu suaminya tidak bisa menawar harga. Tapi dia tidak sampai berpikir, mengapa orang-orang di pasar begitu bersemangat “mengerjai” dan menipu suaminya.  


“Pedagang pasar miskin yang sebentar lagi dilengserkan oleh Mall dan Swalayan. Mereka tidak konsisten dengan harga. Kalau melihat orang seperti saya, seakan hendak ditelan. Apa setiap yang berkacamata pasti punya uang banyak?” Kutuk Mukhtar.

Mukhtar tidak lagi peduli pada ucapan temannya bahwa pasar tradisional adalah nurani paling murni bagi khazanah budaya ramah dan luwes Indonesia. Di sanalah benteng terakhir ekonomi rakyat, karena di luar itu yang ada hanya kapitalisme. 

“Pasar tradisional harus diselamatkan,” Tegas temannya.

“Pasar tradisional harus ditenggelamkan karena harga yang tidak konsisten dan suka menipu orang-orang yang dicurigai tidak paham barang” Mukhtar mumtaz.

Jika kapitalisme adalah memasang label harga pada barang yang hendak dibeli, Aku lebih cinta kapitalisme! Jika kapitalisme adalah bermuka manis pada pembeli, Aku lebih cinta kapitalisme! Jika kapitalisme adalah pelayanan yang memuaskan dan memanusiakan dengan lapak yang bersih dan wangi, Aku lebih cinta kapitalisme!


“Fuck pasar tradisional!” Teriak Muktar sambil membuka kaca jendela mobil yang baru dia beli dua hari yang lalu di showroom kapitalisme. Tujuan Muktar membeli mobil karena ia sudah lama ingin membelah pasar. Yang sesak dengan manusia aji mumpung. Yang diagungkan para sosialis kampret pengangguran yang membebankan seluruh urusan rumah tangga pada istri. Pasar tidak konsisten pada harga dan kualitas barang.

“Mengapa kau marah padaku?” Muktar menulis WA kepada temannya pejuang sosialis kampret itu, lalu bersegera melanjutkan misinya membelah pasar.

“Plak!” Tiba-tiba jeroan ikan bercampur bulu ayam potong kembali dilembar orang tak dikenal. Karena Muktar membuka kaca jendela, kotoran tersebut menempel di kemeja yang ia kenakan. 

Muktar tertawa terbahak-bahak seperti orang gila dan berteriak lagi,

Fuck Pasar Tradisional!

Terimakasih Kapitalisme! 

Terimakasih mobil kredit!

Ilustrasi: lokadata.id

No comments:

Post a Comment