Mohamed Bouazizi, Api yang Menyalakan Musim Semi Arab - bagbudig

Breaking

Sunday, December 20, 2020

Mohamed Bouazizi, Api yang Menyalakan Musim Semi Arab

Oleh: Sarah Khalil*

Bagi banyak orang, hari itu adalah Jumat pagi yang khas di Sidi Bouzid, sebuah kota kecil di jantung pedesaan Tunisia.

Yang khas adalah pemandangan para pedagang kaki lima yang dilanda kemiskinan menjajakan dagangan mereka di pinggir jalan, dan pemandangan khas lainnya adalah petugas polisi yang melecehkan mereka dalam perburuan suap.

Tetapi ketika Mohamed Bouazizi yang berusia 26 tahun menangis ‘kuat’ setelah sekelompok petugas menyita gerobak buahnya dan penghasilannya yang sedikit sehingga hari itu menjadi tidak biasa.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak pagi di bulan Desember itu, ketika kehidupan sehari-hari meledak menjadi kebakaran besar yang mengubah dunia Arab.

Bouazizi, seorang pedagang kaki lima Tunisia yang lahir dalam kesulitan ekonomi, membakar dirinya di depan kantor gubernur provinsi Sidi Bouzid pada 17 Desember 2010.

Dia telah berulang kali diganggu oleh petugas kota selama hari itu, seolah-olah karena dia tidak memiliki izin untuk menjual produknya di jalan. Kemungkinan besar itu terjadi karena dia tidak punya dana untuk menyuap.

Buah dan gerobaknya disita, dan pejabat di kantor gubernur menolak untuk mendengar permohonannya, lalu Bouazizi berdiri tegak di jalan saat lalu lintas melewatinya, menyiram dirinya dengan bensin, dan membakar dirinya sendiri. Dia koma sampai kematiannya pada 4 Januari 2011.

Pembakaran diri Bouazizi menyebar ke seluruh Tunisia dan dunia Arab, menginspirasi gerakan dan pemberontakan pro-demokrasi yang menyebabkan jatuhnya satu demi satu diktator Arab.

Momok Kemiskinan

Bouazizi lahir pada 29 Maret 1984 di desa kecil Sidi Salah, dekat kota Sidi Bouzid. Salah satu dari enam bersaudara, keluarganya hidup dalam keadaan sederhana selama tahun-tahun awalnya.

Ayahnya bekerja sebagai buruh dan tetap dalam kemiskinan. Ketika ayahnya meninggal karena serangan jantung ketika Bouazizi baru berusia tiga tahun, pendapatan keluarga menyusut, dan segera semua beban jatuh ke pundak bocah itu sendirian.

Seperti bagi banyak orang Tunisia, Bouazizi muda segera menjadi sumber dukungan finansial bagi ibu dan adik-adiknya. Pendidikan singkatnya di sebuah sekolah kecil di dekat kota terganggu oleh persyaratan untuk bekerja, karena Bouazizi mulai bekerja sejak usia 10 tahun.

Saat remaja, dia menjual buah dan sayuran musiman dari gerobak. Segera, keadaan memaksanya untuk meninggalkan pendidikan sepenuhnya untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih baik.

Sukses tidak bisa ditemukan. Sempat bekerja dengan pamannya yang sakit dan berakhir karena hutang yang memaksa pertanian keluarga yang masih muda itu diambil alih, dan di usia dua puluhan, Bouazizi kembali lagi untuk berjualan di jalanan.

Selama tahun-tahun yang sama, ketika beban menjadi pencari nafkah utama semakin berat di pundak Bouazizi, istana elite Tunisia tumbuh lebih tinggi dan lebih luas. Pemerintahan presiden Tunisia saat itu Zine El Abidine Ben Ali, yang dimulai dengan kudeta tahun 1987, saat itu memasuki dekade ketiga.

Pada tahun-tahun pemerintahan otoriter Ben Ali yang mencekik, di mana para oposisi dibasmi, kelas-kelas yang dekat dengan kekuasaan rezim memperkaya diri mereka sendiri melalui korupsi dan penggelapan.

Kesenjangan kekayaan dimanifestasikan secara paling mencolok oleh keluarga dan mertua presiden sendiri, yang di tangannya banyak perusahaan besar negara itu berada, dan ke dalam rekening banknya banyak kekayaan Tunisia disalurkan.

Sementara kemiskinan dan pengangguran melanda negara, daerah pedesaan dan kota-kota seperti Sidi Bouzid yang sangat terpukul.

Bagi Bouazizi, penghasilan didapat dari pekerjaannya sebagai pedagang kaki lima sangat kecil dan dia harus merawat saudara-saudaranya, termasuk membiayai pendidikan saudara perempuannya di universitas. Namun kehidupan di jalanan dipenuhi dengan pelecehan.

Layanan keamanan negara sering beroperasi dengan impunitas, di mana Bouazizi sendiri menjalani tahun-tahun itu dengan dilecehkan berulang kali oleh polisi dan pengawas pasar, sering kali mereka menuntut suap sebelum meninggalkannya sendirian.

Teriakan Putus Asa

Begitulah hari-hari biasa dalam kehidupan Bouazizi, sampai pada 17 Desember 2010 seorang pengawas pasar wanita menyita gerobak dan hasil panennya, dengan tuduhan bahwa dia tidak memiliki izin yang diperlukan.

Putus asa dalam mempertahankan haknya untuk mencari nafkah, Bouazizi melakukan konfrontasi verbal dengan petugas tersebut. Menurut saksi dan keterangan kerabatnya, setelah menyita gerobaknya, petugas kemudian menamparnya.

Hasil panennya diambil, Bouazizi yang putus asa pergi ke markas besar provinsi untuk mengeluh dan meminta agar barang-barangnya dikembalikan. Tapi dia ditolak.

Tanpa memberi tahu keluarganya, pada pukul 11:30, dalam waktu satu jam sejak konfrontasi awal, dia telah membunuh dirinya sendiri.

Kertas kemarahan mendidih dan menyala. Rakyat Sidi Bouzid meledak. Para demonstran berkumpul di jalanan. Tindakan polisi, yang pernah digunakan untuk meredam keributan dengan kekerasan, justru menyebabkan lebih banyak orang keluar dari rumah mereka untuk protes sehingga kerusuhan terjadi.

Selama hari-hari setelah bakar diri Bouazizi, peristiwa di Sidi Bouzid menyebar ke seluruh negeri.

Klaim bahwa Bouazizi adalah seorang lulusan universitas yang telah menurunkan dirinya karena kurangnya pekerjaan, adalah keliru, tapi mendapatkan nilai baru, ketika massa dari kalangan perkotaan dan pedesaan Tunisia, dari petani hingga lulusan universitas, turun ke jalan untuk memprotes korupsi pemerintahan Ben Ali.

Bouazizi dipindahkan ke rumah sakit dekat Tunis. Dalam upaya meredam kerusuhan, Ben Ali mengunjunginya di rumah sakit pada 28 Desember 2010. Tapi terlambat.

Martir Revolusi

Bouazizi meninggal pada 4 Januari 2011. Saat itu, protes telah menyebar ke seluruh negeri. Seruan agar Ben Ali mengundurkan diri, yang hanya beberapa minggu sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan, sekarang diteriakkan secara terbuka oleh ribuan orang di jalan-jalan Tunis.

Upaya pihak berwenang untuk menggunakan kekerasan dalam menekan apa yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Melati mengundang kecaman internasional, dan sedikit konsesi yang ditawarkan oleh Ben Ali dan kroninya gagal menenangkan oposisi yang kini semakin berani.

Pada 14 Januari, sepuluh hari setelah meninggalnya Bouazizi dan kurang dari satu bulan setelah Jumat pagi yang tidak biasa itu, Ben Ali mengundurkan diri.

Sejak tahun 2010 hingga saat ini, Bouazizi dikenal sebagai pahlawan revolusi Tunisia.

Sementara Tunisia sendiri telah melalui cobaan dan kesengsaraan besar di mana suksesi pemerintah berusaha untuk menanganinya akibat dari rezim Ben Ali, kondisi berbeda dari penjual buah berusia 26 tahun tetap tidak berkurang.

Pada Februari 2011, alun-alun utama Tunis mendapat nama baru. Selama tiga puluh tahun itu dikenal sebagai Lapangan 7 November, menandai tanggal pada tahun 1987 ketika Ben Ali mengambil alih kekuasaan.

Hari ini berdiri sebagai Lapangan Mohamed Bouazizi. Tetapi di lapangan umum besar dan pinggir jalan di seluruh negeri, pedagang kaki lima lainnya tetap berharap bahwa kehidupan mereka tidak akan pernah seperti kehidupan yang pernah dihadapi Bouazizi.

*Sarah Khalil adalah jurnalis The New Arab.

Sumber: The New Arab

Terjemahan bebas Bagbudig

No comments:

Post a Comment