Mengapa Boikot Qatar Harus Dipertahankan? - bagbudig

Breaking

Thursday, December 24, 2020

Mengapa Boikot Qatar Harus Dipertahankan?

Oleh: Mohamed Alodadi*

Sejak Mesir, Arab Saudi, UEA, dan Bahrain memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar dan memberlakukan embargo udara, darat, dan laut, sampai saat ini negara tersebut tidak mengubah perilakunya.

Pembicaraan tentang normalisasi dengan Qatar telah berada di depan mata, negara-negara yang memboikot harus mengakui bahwa tidak ada tuntutan mereka yang dipenuhi.

Qatar telah bermain sebagai korban saat melobi AS dan Uni Eropa untuk menekan negara-negara yang memboikot untuk membangun kembali hubungan diplomatik dan mencabut embargo. Sayangnya, beberapa politisi dan diplomat Amerika dan Eropa tampaknya mempercayai narasi Qatar tentang posisi korban dan argumennya bahwa negara-negara yang memboikot berusaha mencampuri urusan dalam negeri Qatar, melanggar kedaulatannya, dan merusak kebebasan pers di sana.

Qatar sering mengutip tuntutan negara-negara yang memboikot sebagai campur tangan dalam urusan internalnya. Ketika boikot diluncurkan, Kuartet Arab memberikan daftar 13 tuntutan. Di antaranya adalah bahwa Doha harus menutup Al Jazeera, memutuskan semua hubungan dengan organisasi teroris – termasuk Ikhwanul Muslimin, ISIS, al-Qaeda dan Hizbullah yang didukung Iran – mengurangi kerja sama dengan Iran dan menyerahkan tokoh-tokoh teroris yang berada di Qatar.

Selama bertahun-tahun, Qatar telah secara aktif mencoba melemahkan negara-negara yang memboikot, dan Qatar juga tidak mengubah perilakunya yang mendukung kelompok-kelompok ekstremis, seperti Ikhwanul Muslimin, sehingga boikot harus tetap dilakukan.

Salah satu tuntutan utama yang diajukan dalam boikot Qatar adalah penggunaan Al Jazeera, bahwa beberapa negara, termasuk Irak, berpendapat bahwa Al Jazeera telah menyiarkan program berita yang menghasut kebencian, kekerasan, dan tindakan terorisme dengan retorika bahasa Arabnya yang agresif.

Saya ingat dengan jelas bagaimana program Al Jazeera di akhir 1990-an dan awal 2000-an yang secara eksklusif ditujukan untuk melawan kehadiran pasukan Amerika di Arab Saudi, dan bagaimana kekerasan dan terorisme terhadap orang Amerika dan Eropa yang tinggal dan bekerja di Arab Saudi dipicu oleh Al Jazeera, di mana pandangan ulama Arab dan non-Arab Saudi disiarkan di Al Jazeera. Baik Al Jazeera dan ulama mengutip hadits yang dianggap berasal dari Nabi Muhammad untuk mengusir orang Yahudi dan Kristen dari Jazirah Arab.

Namun ketika pasukan Amerika pindah ke pangkalan udara Al-Udaid di Qatar pada tahun 2002, seruan untuk “mengusir orang Yahudi dan Kristen dari Jazirah Arab” menghilang dari retorika Al Jazeera dan para ulama mereka.

Saya juga ingat bagaimana Al Jazeera menjadi corong Al Qaeda dan Osama bin Laden selama invasi AS ke Afghanistan setelah serangan teroris 9/11 di menara kembar di New York City.

Kita tidak boleh lupa bahwa pada tahun 2004 AS mengeluhkan liputan Al Jazeera tentang perang melawan teror di Afghanistan. Tiga tahun sebelumnya, kantor Al Jazeera di Kabul dibom oleh rudal AS. Namun Pemerintah AS tidak pernah mengakui pemboman tersebut, tetapi sebuah memo yang bocor pada tahun 2004 menguatkan keyakinan bahwa serangan itu disengaja.

Beberapa orang melihat pelaporan miring Al Jazeera telah berdampak dalam kekerasan terhadap orang Amerika di Arab Saudi, dan selanjutnya mereka menyalahkan Qatar karena menghasut kekerasan di Arab Saudi Timur dan di Bahrain setelah pemberontakan Musim Semi Arab.

Pada 2015, seorang ulama yang berbasis di Qatar menyerukan protes di Mesir dan mengatakan bahwa Mohamed Morsi, presiden terpilih sebelumnya yang berasal dari Ikhwanul Muslimin, adalah pemimpin yang sah.

Baru-baru ini, rekaman pejabat senior Qatar telah muncul di mana mantan Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khaliah, ayah dari Emir saat ini, berkonspirasi dengan mendiang diktator Libya Muammar Al-Gaddafi untuk membunuh Raja Arab Saudi, Raja Abdullah bin Abdulaziz.

Qatar menyebut dirinya sebagai “Ka’abat Almadhyoom” yang, diterjemahkan secara bebas, sebagai “tempat perlindungan bagi yang tertindas.” Tapi selama hampir seperempat abad, Qatar telah melancarkan perang tersembunyi melawan tetangganya di Teluk Arab dan menawarkan perlindungan kepada para ekstremis untuk melindungi mereka di Doha.

Negara Teluk Arab itu belum mengubah perilakunya sejak 2017, dan sebelum Doha siap membuat beberapa penyesuaian serius, berhenti menyembunyikan buronan internasional, dan bekerja untuk menjadi mitra regional, maka boikot harus tetap dilakukan.

*Mohamed Alodadi memegang gelar Ph.D dalam Linguistik dari Universitas Georgetown dan merupakan kontributor tetap untuk Al Arabiya.

Sumber: Al Arabiya

Terjemahan bebas Bagbudig

No comments:

Post a Comment