Soal Sarung di Kota Santri dan Pemimpin Responsif - bagbudig

Breaking

Saturday, November 7, 2020

Soal Sarung di Kota Santri dan Pemimpin Responsif

Tulisan ini bukan untuk memantik polemik tentang pentingnya sarung. Dan tidak pula mengajak siapa siapa pun untuk berdebat, apakah santri mesti bersarung. Saya kira, perdebatan soal itu, selain kurang penting, juga sudah diselesaikan oleh para pendahulu kita, dahulu.

Dalam konteks kekinian, dari sekian hari yang diperingati di Republik ini, telah pula ada hari santri yang ditetapkan secara resmi oleh pemerintah. Hari yang secara politis diperjuangkan oleh Nahdatul Ulama itu jatuh pada tanggal 22 Oktober.

Konon penetapan ini merujuk pada seruan jihad yang digaungkan KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, meskipun seruan jihad ini secara historis telah lebih awal diserukan oleh Maklumat Ulama Aceh pada 15 Oktober 1945 yang kemudian menggerakkan para mujahidin Aceh mengusir penjajah kolonial.

Dengan demikian, perdebatan tentang hari santri, jika pun ada, telah selesai dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional. 

Lalu, bagaimana dengan Kota Santri? Menurut laporan Google yang merujuk pada beberapa situs berita, ada banyak sekali kota di Indonesia yang dijuluki Kota Santri. Julukan itu umumnya merujuk pada banyaknya pesantren di daerah dimaksud, seperti beberapa daerah di Pulau Jawa.

Dan, belakangan, Kota Bireuen, kota kecil mungil di Aceh konon telah pula mendeklarasikan diri sebagai Kota Santri. Menurut riwayat yang berkembang, penetapan Bireuen sebagai Kota Santri digagas oleh Plt Gubernur Aceh, yang saat ini telah menjadi gubernur. Konon penetapan itu berlangsung pada 22 Oktober 2020.

Sebagai warga Kabupaten Bireuen, secara pribadi tentunya saya turut bergembira dengan bertambahnya julukan untuk kota ini, mulai dari Kota Juang, Kota Dagang, Kota Kripik, Kota S#*?bu, dan sekarang Kota Santri. 

Informasi terbaru yang beredar di kanal-kanal media sosial dan juga saluran resmi, penetapan Bireuen sebagai Kota Santri telah pula berdampak pada lahirnya kebijakan dari pemerintah setempat yang “mewajibkan” memakai atribut yang dianggap mirip santri, semisal kain sarung setiap hari Jumat.

Sebagai pecinta sarung yang ada belalainya, saya juga berbahagia dengan kebijakan ini. Bagaimana tidak, sarung yang selama ini kita gunakan sebagai pakaian santai di rumah, saat tidur atau pakaian wajib waktu sunat dulu, telah diformalkan ~ dengan adanya kebijakan untuk memakainya di kantor-kantor pemerintah, kampus dan sekolah.

Bagi saya, ini adalah terobosan yang luar biasa. Terobosan langka yang hanya mampu digagas oleh orang-orang hebat semisal Trump yang takut mixrofonnya dimatikan saat debat dan lalu berteriak-teriak di Gedung Putih bahwa dia sudah menang

Terlepas dari kontroversi yang muncul, setidaknya kebijakan sarung ini akan memberi beberapa manfaat sebagai berikut:

Pertama, untuk menjadi santri tak perlu lagi mengaji. Kondisi ini berbeda dengan dulu. Kalau dulu, untuk bisa disebut sebagai santri mesti meninggalkan kampung halaman demi mengaji bertahun-tahun. Sekarang, cukup pakai sarung dan dalam seketika kita akan menjadi santrimi yang ‘alim lagi faqih. 

Kedua, bagi yang bekerja di kantor-kantor pemerintah, sarung akan menjadi penyelamat dari tindakan-tindakan koruptif atau pun pungli. Dengan demikian kantor-kantor pemerintah akan terbebas dari perilaku-perilaku semacam itu. Dan jika pun masih ada yang melakukan itu, dapat dipastikan perilaku itu telah melalui “mekanisme syariah.” Semuanya berkat sarung yang dianggap identik dengan kesalehan dan sudah pasti relijiyes

Ketiga, kewajiban memakai sarung bagi aparatur juga akan mendorong industri tekstil di Bireuen. Bukan tidak mungkin, nantinya pemerintah setempat akan memberikan insentif kepada perusahaan sarung untuk mendorong produksi sarung massal.

Dengan tumbuhnya industri ini, Bireuen akan menghasilkan berbagai jenis sarung dengan desain dan mode bergaya modern. Hal ini tentunya akan menjadi modal besar demi menuju Bireuen sebagai Kota Sarung di masa depan. Dan ini adalah ide brilian yang tak pernah terpikirkan oleh orang-orang di seberang. 

Keempat, mengurangi gatal-gatal. Selain keuntungan ekonomi dan soal ketaatan, di mana sarung kerap dikaitkan dengan kesalehan, pakaian satu ini juga memberi manfaat besar bagi sebagian orang yang sering mengalami gatal-gatal di bagian bawah perut.

Seperti disebutkan oleh para pakar kesehatan di Google, penggunaan pakaian sempit dan ketat, selain mengganggu sirkulasi darah juga dapat menyebabkan area sensitif tersebut mengalami kelembaban karena kekurangan udara sehingga memicu iritasi kulit semisal gatal-gatal yang sulit digaruk. 

Dengan penggunaaan sarung, besar kemungkinan gatal-gatal itu akan segera hilang sebab udara bisa masuk dengan leluasa. Hasilnya permukaan kulit bagian dalam akan tetap kering dan terhindar dari kuman sehingga tidak perlu lagi obat-obatan semisal Nosib atau Pi Kang Shuang. 

Jika pun sesekali gatal itu datang masih bisa ditangani dengan mekanisme garuk dalam bentuk soft, dengan berpura-pura menarik sarung ~ sehingga tidak tampak sedang menggaruk seperti halnya ketika kita memakai celana.

Kelima, bisa menjadi selimut. Bagi para aparatur yang bertugas agak jauh dari rumah, sarung juga dapat memberikan manfaat lain. Ketika di kantor tiba-tiba hujan, atau harus lembur kerja, sarung dapat digunakan untuk melindungi diri dari udara dingin dan serangan nyamuk. Praktis dan hemat tanpa perlu membeli pembunuh nyamuk semisal Baygon.

Keenam, sebagai masker dan topeng. Pandemi Covid-19 yang belum selesai telah menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat dunia saat ini. Salah satu upaya menghindarinya adalah dengan memakai masker, dan bahkan penutup wajah warna bening.

Untuk kebutuhan tersebut, dalam kondisi terdesak dan darurat, kain sarung dapat menggantikan masker dan bahkan topeng.

Bagi yang pernah mengaji di waktu kecil ~ bukan santri mendadak karena sarung di waktu besar, pasti ingat dengan salah satu permainan legendaris; permainan Ninja menggunakan sarung. 

Permainan ini dimulai dengan memakai sarung di kepala, membalut kepala dan menyisakan mata, persis seperti pakaian Ninja, dan lalu mengadang atau pun menakuti teman-teman sewaktu pulang mengaji dengan terlebih dulu bersembunyi di semak-semak.

Berdasarkan pengalaman itu, bagi alumni santri atau mantan santri yang tiba-tiba terjebak razia masker dapat langsung memindahkan posisi sarung dari bawah perut menuju kepala, dan masker ajaib pun jadi. Praktis, bukan? 

Nah, beberapa manfaat sarung di atas, adalah alasan utama mengapa saya sangat mendukung kebijakan sarung yang dikeluarkan baru-baru ini.

Bagi saya, dengan segudang manfaat ganda, tentu tidak ada alasan untuk menolak kampanye sarung. Selain tampak relijiyes, sarung juga memberi keajaiban-keajaiban. 

Karena itu, saya pikir kebijakan sarung ini sudah sangat tepat dan patut serta layak untuk dikampanyekan secara luas, misalnya kepada para petani, nelayan, pedagang, sopir, kernet truk, dan jangan lupa para pemanjat kelapa.

Kampanye ini akan menjadi salah satu bukti, bahwa kita dan pemimpin kita begitu responsif dan adaptif terhadap perkembangan kekinian.

Bagaimana tidak, dengan adanya penetapan Kota Santri, pemimpin kita langsung mengeluarkan kebijakan sarung yang diyakini identik dengan santri. Lagi pula secara faktual penggunaan sarung di India dan Bangladesh juga lumayan marak, padahal mereka bukan santri.

Sikap responsif ini sangat penting untuk penyesuaian diri. Istilahnya di mana bumi dipijak di situlah langit dijunjung, tanpa peduli apakah “bumi” sedang bijak atau lagi menginjak.

Namun, untuk ke depan, idealnya kita tidak berhenti hanya pada sarung yang dianggap sebagai medium menyantrikan diri. Kita harus bergerak lebih jauh, lebih responsif.

Jika Hari Santri dan Kota Santri kita rayakan dengan sarung, maka tidak ada salahnya, momen-momen lainnya juga kita sambut dengan gegap gempita bersama simbol-simbol khas.

Saya akan menyebut beberapa contoh.

Ini penting agar keadilan itu bisa tegak, tidak hanya di ruang pengadilan, tapi juga di ruang publik terbuka. Artinya, diskriminasi dalam segala bentuknya mestilah kita jauhi dalam peradaban modern yang responsif ini.

Jika penghormatan kepada santri kita sambut dengan simbol mereka, maka komponen masyarakat lainnya juga berhak mendapatkan perayaan serupa, melalui simbol-simbol mereka. 

Para ibu tentu sudah sangat merindukan suatu suasana, di mana laki-laki dan perempuan menggunakan kebaya di Hari Ibu. Saya kira, para ibu akan terharu jika gebrak kebaya di Hari Ibu mampu kita wujudkan sebagai manifestasi kecintaan kita kepada mereka. Saya yakin, bukan saja terharu, mereka juga akan tersedu dengan perayaan ini, meskipun anak-anak durhaka terus saja menetas. 

Para nelayan yang setiap waktu berjuang susah payah di lautan demi memastikan kebutuhan kita akan protein, pastinya juga akan berbahagia jika pada Hari Nelayan kita semua membawa jala dan pancing di jalan raya.

Saya tidak sanggup membayangkan bagaimana air mata mereka akan menitik mengembun menyaksikan penghormatan yang kita berikan melalui simbol-simbol, meskipun nasib mereka tak kunjung berubah oleh janji-janji kampanye yang lima tahun sekali diulang. 

Demikian juga dengan anak-anak dan balita, juga akan bersorak-sorai melihat orang-orang memakai pampers sembari menggantung botol susu di dada. Mereka akan tertawa terkekeh karena bapak anak, ibu anak, pemimpin anak, dan predator anak sedang merayakan Hari Anak. 

Melihat pemandangan itu, saya yakin durasi tangisan anak akan lebih panjang dari biasanya karena keterharuan terdalam yang sulit digambarkan, meskipun pembunuh anak dan “pecinta” anak terus berkeliaran mencari mangsa.

Nah, jika semuanya bisa kita rayakan dengan adil, maka kita akan semakin dikenal sebagai masyarakat yang tidak saja responsif, tapi juga memiliki rasa simpati dan empati.

Lalu, bagaimana dengan harga barang yang terus naik karena Covid-19 dan jerih keuchik yang kononnya akan berkurang?

Ilustrasi: NU Tasik Malaya

No comments:

Post a Comment