Membela Agama - bagbudig

Breaking

Sunday, November 22, 2020

Membela Agama

Biasanya, hampir setiap pagi, ketika menuju ke kampus, saya membeli minuman mineral di minimarket dekat kos-kosan yang saya tempati. Namun, pagi itu terjadi hal yang sedikit berbeda. Di rak barang tempat air mineral biasanya diletakkan, hari itu raib.

“Aqua enggak ada ya?” tanya saya kepada pramuniaganya.

Lalu tiba-tiba, dari pintu minimarket ada suara yang menjawab. Dia laki-laki, masih muda. Dari gestur, sepertinya dia pemilik minimarket itu.

“Sekarang, kami enggak menjual lagi Aqua, Vit dan Le Minerale.”

Informasi yang disampaikannya itu tenang dan lugas. Tidak ada sedikit pun terdengar keraguan. Dia terlihat sangat meyakinkan. Saya memperhatikan juga, ketika dia menyampaikan hal tersebut, tampak ada rasa kepuasan secara spritual.

[Lazada Program] kaos 3d KAOS MUSLIM PRIDE Proud To be Muslim islam
Rp. 140. 000,-

“Boikot ya? ” Saya bertanya dengan sambil sedikit bergurau. Dia diam saja. Bergeming. Gayanya semakin dibuat cool. Lagi-lagi, tampak kebanggaan atas sikapnya itu. Tentu saja, saya tidak perlu bertanya apakah itu bentuk boikotnya atau bukan. Sudah pasti dia sedang memboikot sesuatu yang berbau Prancis, setelah keributan di negara itu beberapa waktu lalu. Baginya, memboikot produk Prancis merupakan cara dia beragama, atau tepatnya membela agamanya.

Namun, jangan dibayangkan anak muda tersebut berpenampilan layaknya generasi hijrah sekarang: berjenggot, memakai celana cingkrang, mengenakan baju Arab memiliki tanda hitam di dahinya atau menggunakan parfum tanpa alkohol.

Anak muda yang saya ceritakan itu jauh dari kesan tersebut. Dia berpenampilan seperti lazimnya anak muda lainnya. Celana pendek, baju kaos, berbicara dengan lawan jenis tanpa beban, bicaranya khas anak nongkrong, tetapi dari anak muda demikianlah, saya mendengar langsung bahwa dia mengambil keputusan untuk memboikot produk-produk dari negara yang dianggap telah mencederai keyakinannya.

Pertanyaan pentingnya, dari mana kesimpulan demikian dia dapatkan.

Jawaban sederhananya, hal tersebut wajah dari populisme Islam. Di Era populisme ini, setiap eskpresi dapat ditampilkan secara terang benderang. Populisme bahkan menunjukkan bentuk paradoksial demi paradoksial, dikarenakan hal yang sebelumnya dianggap sebagai cerminan binary opposition dapat berjumpa dalam satu titik, tetapi di berpisah pada titik lainnya, persis seperti eskpresi yang ditampilkan oleh anak muda tadi itu. Bisa jadi, dari gaya yang ditampilkan, anak muda itu bukanlah bagian dari sebuah gerakan keagamaan, tetapi dirinya memiliki sebuah sikap unik tentang cara dia menampilkan ekspresi agamanya itu.

Anak muda tersebut sampai pada kesimpulan memboikot produk Perancis itu, mungkin tanpa perlu datang ke tempat pengajian secara khusus, lalu bertanya kepada orang yang ahli hukum agama, dia tidak memerlukan itu. Namun, perkembangan teknologi infomasilah memberi pemahaman agama kepadanya, melalui apa yang dipilihnya, atau membuatnya terpaksa memilih, di seperangkat alat eloktroniknya yang terhubung dengan internet.

Dia memiliki otonomi untuk mengakses informasi apapun berkaitan tentang agama yang dia yakini, lalu kemudian mengambil kesimpulan secara personal. Anak muda itu merupakan contoh tentang sebuah era di mana setiap individu berdaulat atas pikirannya sendiri tentang agama. Oleh karena itu, permasalahan yang selalu muncul belakangan ini adalah mengenai pemilik otoritas keagamaan.

Perdebatan mengenai siapa pemilik otoritas keagamaan di era ini, bahkan mendorong sebuah pertanyaan yang tidak dibayangkan di masa-masa sebelumnya: siapa yang sebenarnya yang lebih memiliki kuasa atas agama, — kalau contohnya kasusnya pemuda yang diceritakan tadi: elite agama atau umat beragama. Kemudian, bagaimana kalau ada elite agama memberikan pandangan berbeda dengan pandangan umat, siapa yang harus takluk: elite agama atau pengikut agama.

Dahulu, kita akan menjawab dengan mudah, ketika akses informasi – atau juga pengetahuan hanya dapat diakses oleh segelintir orang, maka tidak ada cara lain, umat selain ikut ikut kapada kehendak elite agama. Namun, sekarang, dalam beberapa kasus, ketika ada elite agama yang berpikir berbeda dengan umat, yang terjadi malah elite agama itu yang ditinggalkan.

Populisme agama ini bahkan menunjukkan satu gejala baru bahwa elite agama seperti kehilangan rasa percaya diri untuk mengatakan perihal yang sesungguhnya kepada umat, berdasarkan otoritas keagamaan yang dia miliki, karena konsekuesinya akan mendapatkan hukuman dari umat; kehilangan kepercayaan atas dirinya sehingga otomatis dia akan kehilangan pengikut.

Namun demikian, tidak selamanya beragama seperti itu terlihat kokoh. Populisme, termasuk dalam beragama, ibarat gelembung sabun, yang terus diproduksi secara massif, tetapi rapuh.

Kita memang melihat eskpresi beragama yang sepertinya tangguh, tampak sangat ideologis, tetapi sesungguhnya lemah di depan modal. Hal itulah yang saya lihat di minimarket tersebut, tempat pemuda tadi menerangkan dengan begitu percaya dirinya mengenai aksi boikotnya. Kini, air mineral merek Aqua yang sebelumnya raib, mulai kembali terlihat di rak barang seperti hari-hari sebelumnya.

Ilustrasi: Liu

No comments:

Post a Comment