Memahami Islam Politik - bagbudig

Breaking

Saturday, November 21, 2020

Memahami Islam Politik

Teman saya, Said Mohammad menulis satu esai yang mengevaluasi satu tesis Kuntowijoyo yang terkenal, Muslim tanpa Masjid. Di dalam esainya itu, Said memberikan review kritis mengenai kesimpulan Kuntowijoyo tentang munculnya generasi muslim yang tumbuh tanpa asuhan dari pemuka agama. Mereka tumbuh dengan mandiri karena kemampuan akses informasi yang beredar luas.

Kesimpulan Kuntowijoyo tersebut mirip yang terjadi dengan generasi sekarang yang memiliki otonomi luas dalam mengakses informasi dari gawai di tangannya, sehingga lahirlah muslim yang belajar agama secara mandiri. Generasi yang lebih takzim ke google, tiktok, youtube, facebook dan twitter daripada ke Kyai, Teungku atau pun Tuan Guru.

Namun, Said dengan cermat memberi kritikan terhadap kesimpulan kuntowijoyo tersebut yang menganggap generasi muslim demikian memiliki harapan, karena tumbuh dalam tradisi Islam perkotaan yang sadar demokrasi dan memiliki nalar rasional.

Said kemudian memberikan perkembangan angkatan baru muslim itu setelah jatuhnya rezim Suharto dengan kuatnya pengaruh Islam transnasional — satu hal yang diluputkan oleh Kuntowijoyo.

[Lazada Program] SEJARAH PERADABAN ISLAM DIRASAH ISLAMIYAH 11 By Dr. BADRI YATIM, M.A.
Rp. 21. 500,-

Hemat saya, Said memang tidak menulis hal tersebut di esainya, Kuntowijoyo percaya diri dengan kesimpulannya tersebut karena melihat pertumbuhan kelas menengah muslim yang pesat sejak awal 1990-an.

Studi-studi mengenai keberadaan kelompok transnasional itu tidak begitu marak selama Orde Baru. Studi mengenai ide Islam politik di masa itu selalu dihubungkan dengan sengketa politik yang terjadi sejak Demokrasi Terpimpin dan hubungan tidak harmonis antara Islam dengan rezim Orde Baru.

Namun, kehadiran kelompok transnasional, seperti Jamaah Tarbiyah yang kemudian bertransformasi di era reformasi menjadi Partai Keadilan dan kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera, luput mendapat perhatian dari para sarjana. Oleh karena itu, kita dapat memahami juga, kalau Kuntowijoyo, melalui evaluasi kritis Said, juga melewatkan hal demikian.

Keberadaan kelompok Islam politik di masa Orde Baru selalu dihubungkan dengan basis Masyumi, yang tersingkir sejak zaman Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Beberapa studi memperlihatkan kalau kelompok Masyumi itu lalu membuat hubungan kembali dengan memperkuat pendidikan dan pengkaderan melalui organisasi DDII dan beberapa perguruan tinggi yang dibangunnya.

Jaringan yang dibentuk oleh mantan Masyumi itu yang kemudian membuat warna Islam politik masih eksis dan menemukan momentumnya ketika keran demokrasi dibuka setelah rezim Orde Baru tumbang. Lalu di saat yang sama pula, varian Islam politik lainnya seperti Jamaah Tarbiah, Jamaah Islamiah dan NII semakin terus mengembangkan sayap gerakannya.

Kelompok-kelompok ini, dengan berbagai dinamika, akhirnya berjumpa pada satu titik: keyakinan tentang relasi yang erat antara Islam dan politik. Walau perjumpaan itu tidak terjadi secara struktural, karena masing-masing memiliki agenda dan struktur organisasi yang berbeda, tetapi mereka bertemu pada kesamaan cara pandang mengenai hubungan Islam dan negara, serta ingatan kolektif mengenai penyingkiran peranan Islam dalam kehidupan bernegara.

Oleh karena itu, saya selalu berhati-hati dengan postulat bahwa naik daunnya kelompok dan isu Islam politik di ruang publik di Indonesia pascareformasi adalah semata-mata sebagai fenomena populisme.

Para sarjana yang mengamati relasi Islam politik ini dengan populisme selalu saja menghubungkan dengan partai politik dan pemilu. Variable itu juga tidak salah, namun mengabaikan analisis tentang genealogi Islam politik yang telah berakar lama di Indonesia, itu juga kurang tepat.

Apabila analisa itu dipertahankan terus dan tidak melihat secara lebih adil dan berimbang, maka kita tidak akan memahami secara utuh beberapa fenomena seperti: mengapa tokoh Islam politik sangat populer, mengapa agitasi dari kelompok-kelompok Islam politik mendapat sambutan luas, mengapa isu-isu Islam politik – pun sedemikian absurdnya seperti gagasan Khilafah – selalu mendapatkan perhatian luas dari publik, mengapa tumbuh fenomena Islamisasi kebudayaan lokal, mengapa moral publik sekarang menjadi isu utama baik melalui penyusunan perundang-undangan atau juga yang membatasi kebebasan berekspresi dengan sensor berbasis moral.

Sederatan pertanyaan itu, tentu saja tidak dapat diringkas dengan jawaban dari hasil pemilu yang selalu dimenangkan oleh partai nasional bukan partai Islam. Kemudian, membuat fenomena naik daunnya Islam politik tersebut direspons dengan santai bahwa hal tersebut bentuk populisme belaka, bukan sebuah cerminan sosiologis yang menegaskan kalau Islam politik memiliki akar panjang dalam sejarah Indonesia modern.

Ilustrasi: Viva

No comments:

Post a Comment