Pemerintah transisi Sudan setuju untuk memisahkan agama dari negara dan mengakhiri 30 tahun pemerintahan Islam di negara Afrika Utara itu.
Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok dan Abdel-Aziz al-Hilu, seorang pemimpin kelompok pemberontak Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-Utara, menandatangani deklarasi di ibukota Ethiopia, Addis Ababa, pada hari Kamis (3/9) dengan mengadopsi prinsip tersebut.
“Agar Sudan menjadi negara demokratis di mana hak-hak semua warga negara diabadikan, konstitusi harus didasarkan pada prinsip ‘pemisahan agama dan negara,’ yang mana hak untuk menentukan nasib sendiri harus dihormati,” demikian tertulis di dokumen itu.
Kesepakatan itu muncul kurang dari seminggu setelah pemerintah memulai kesepakatan damai dengan pasukan pemberontak yang meningkatkan harapan diakhirinya pertempuran yang melanda Darfur dan bagian lain Sudan di bawah diktator yang digulingkan, Omar al-Bashir. Dua faksi yang lebih besar di Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-Utara, yang telah memerangi pasukan Sudan di negara-negara perbatasan. Mereka menolak untuk menandatangani perjanjian apa pun yang tidak menjamin sistem sekuler.
Sudan bangkit dari isolasi internasional yang dimulai segera setelah Bashir merebut kekuasaan pada tahun 1989 dan menerapkan interpretasi garis keras terhadap hukum Islam yang berusaha menjadikan negara itu sebagai “pelopor dunia Islam”. Al-Qaeda dan Carlos the Jackal menetap di sana; AS menyebut Sudan sebagai sponsor teror pada 1993, kemudian menjatuhkan sanksi hingga 2017.
Sumber: Bloomberg
Foto: gulfnews
Terjemahan bebas Bagbudig.com
No comments:
Post a Comment