Teman saya, Diyus Hanafi, beberapa hari yang lalu berulang tahun. Tetapi, baru sekarang, saya mengucapkan selamat. Semoga umurnya berkah. Hidupnya selalu dalam kesehatan. Lalu, ini yang paling penting, harus selalu dalam kegembiraan.
Nama Diyus, sudah lama saya dengar, dari adik saya yang kuliah di Fakultas Hukum — sekarang dia jadi dosen di sana. Diyus ceritanya, wakil dari kelompok “kiri” dalam kontestasi dengan kelompok “mushalla” di dalam setiap Pemira di Fakultas Hukum Unsyiah. Menurutnya, Diyus itu mengerikan — tentu saja dalam ukuran mahasiswa strata satu– ketika terlibat dalam kompetisi politik saat itu.
Saya yang awalnya hanya mendengar namanya, satu waktu dapat berjumpanya di tahun 2003. Tetapi, lebih tepatnya, saya melihat Diyus dari jauh. Saat itu, Nurcholish Madjid (Cak Nur) memberikan kuliah umum di AAC Dayan Dawood, sebagai bagian dari safari politiknya dalam rangka mengikuti Konvensi Presiden Partai Golkar. Kuliah Umum itu diadakan oleh Fakultas Hukum. Diyus, yang masih menjadi mahasiswa, didapuk menjadi moderator acara tersebut.
Kuliah umum itu, berkesan bagi saya yang sedang mengikuti pemikiran Cak Nur, terutama sejak menyelesaikan training di HMI Banda Aceh. Sehingga, mendengar dan menyaksikan Cak Nur secara langsung adalah keharusan bagi saya. Lalu, bersama teman-teman mendatangi acara itu. Saya duduk di balkon. Posisinya jauh dari meja pembicara.
Pada sesi tanya jawab, peserta ramai hendak bertanya, termasuk saya. Tetapi, sepertinya, kesempatan untuk berbicara langsung tidak besar. Sampai kemudian, saya anggap ini keberuntungan dan Diyus ada dibalik itu; tibalah kesempatan bertanya untuk para peserta yang duduk di balkon. Saya ikut mengangkat tangan, demikian juga dengan salah seorang peserta yang posisi duduknya tidak terlalu jauh dari saya.
Karena jauh dari kursi moderator, Diyus sepertinya, tidak terlalu jelas melihat siapa yang mendapat giliran berbicara. Lalu ada sedikit momen “perebutan microphone”, yang membuat Diyus menggunakan otoritasnya, dengan menunjuk saya sebagai peserta yang memberi pertanyaan berikutnya. Saya bertanya tentang keberagaman dan frasa “Islam Yes Partai Islam No.” Ketika pertanyaan ini akan dijawab, saya ingat betul kalimat dari Cak Nur ini, “Ini pertanyaan yang penting sekali,” Lalu Cak Nur menjawab pertanyaan tersebut dengan panjang lebar, seperti memberi kuliah pada topik yang lebih khusus.
Cerita ini pernah saya kisahkan ulang kepada Diyus. Tetapi, dia menanggapi dengan biasa saja. Bisa jadi, dia sudah lupa. Atau, karena Diyus mahasiswa di Fakultas Hukum di Unsyiah, bukan kuliah di IAIN seperti saya, sehingga nama Cak Nur tidak memiliki kesan istimewa. Padahal nama Cak Nur, begitu mempesona bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Fachry Ali mengungkapkan hal itu dalam pengantarnya untuk buku Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer.
Perjumpaan kedua saya dengan Diyus, ketika Bivak Emperom mengadakan orasi “orang kalah.” Saat itu, Miswar Ibrahim Njong menyampaikan pidatonya, yang bercerita mengenai kegagalannya di Pemilu Legislatif. Di forum itu, saya berjumpa Diyus secara langsung. Kami bertukar sapa. Basa-basi, khas orang Timur. Orangnya lebih sediki tinggi dari saya, kumisnya melengkung, jenggot dibiarkan tumbuh, badannya tampak kurus dan liat — mungkin karena ototnya ditempa selama beberapa tahun belakangan ini di dataran tinggi Gayo, sepulangnya dari Filipina. Diyus mengelola kebun kopi di sana. Dia dan keluarganya pindah ke daerah yang disebut, cocok untuk pertumbuhan anak-anaknya.
Selebihnya, saya hanya membaca Diyus dari jauh. Membaca dalam pengertian sebenarnya, yaitu teks yang dia produksi.
Dia memang penulis yang bagus. Bahkan teramat bagus.
Satu waktu, dia bercerita, selama di Gayo, sedang menyelesaikan novel. Selebihnya, dia menulis tema apapun di laman facebooknya. Diyus punya kemampuan langka dalam menulis, yaitu menjelajahi berbagai topik; dari kopi, budaya, kesenian, budaya pop, seksualitas, sejarah dan agama. Sedangkan untuk tema politik, saya hampir tidak melihatnya, atau saya yang alpa. Tetapi, sepertinya, dia menghindari debat politik. Ada keengganan, tetapi tidak pernah diungkapkan.
Kisah Diyus saya hentikan di sini, tetapi kisah Diyus yang sesungguhnya tidak berakhir. Dia akan terus bergerak ke depan. Menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Dia bukan Barman, juga bukan Sisophus. Semoga satu waktu, ada perjumpaan ketiga bagi kami. Mungkin sambil menyereput kopi dan mencicipi beberapa potong kue, di tengah kebun kopinya.
No comments:
Post a Comment