Sebagai manusia, terkadang kita lebih mudah percaya pada hal-hal yang samar dan tidak jelas. Uniknya ketidakjelasan ini yang kemudian menimbulkan rasa penasaran justru menghasilkan kepercayaan bagi sebagian kita yang akalnya kurang terasah.
Video tentang “insiden celengan masjid” beberapa waktu lalu yang menimpa seorang guru di Bireuen adalah contoh bagaimana tumpulnya akal sebagian kita sehingga kita pun membuat konklusi sepihak dan subjektif, meskipun apa yang kita lihat itu sangat samar dan akhirnya fitnah pun dimulai hanya gara-gara energi akal yang begitu lemah.
Sebaliknya, ketika kita disuguhkan dengan informasi yang autentik, akurat dan valid, akal sebagian kita justru melampaui data dan fakta dengan penakwilan-penakwilan konyol ~ yang bukan mempertegas kebenaran, tapi justru membuatnya menjadi kabur.
Respons sebagian kita terhadap video Abu Mudi baru-baru ini adalah contoh bagaimana kacaunya penakwilan-penakwilan yang dilakukan sebagian kita sehingga berimplikasi pada buyarnya nasihat yang disampaikan Abu Mudi. Lagi-lagi hanya karena akal yang tidak tertib dalam berpikir.
Akal yang tidak dibekali dengan pengetahuan selalu saja menghadirkan masalah sehingga yang terjadi hanya akal-akalan saja. Akal-akalan ini bersumber dari ilusi tuannya yang enggan menerima data dan fakta dan lalu membuat penakwilan yang membingungkan.
Seperti kita lihat, sampai saat ini telah bermunculan berbagai penakwilan terhadap pernyataan Abu Mudi dengan berbagai argumen yang kacau.
Dalam video yang beredar dan juga disiarkan oleh channel YouTube Mudi TV, Abu Mudi secara tegas menyebut dirinya sebagai pasien covid-19 yang sekaligus membenarkan diagnosa dokter sebelumnya bahwa apa yang beliau alami bukanlah rekayasa.
Lalu apa yang dilakukan oleh para penakwil?
Sebagian mereka mencoba menyorot video Abu Mudi yang terlihat seperti membaca teks ketika berbicara. Dengan gaya filosof agung mereka pun mempertanyakan, “Kenapa Abu Mudi membaca teks?”
Pertanyaan ini terkesan ingin membuat penegasan bahwa ada yang aneh dengan video tersebut. Padahal jika kita bersangka baik, aksi membaca teks bisa saja dipahami sebagai bentuk kehati-hatian agar pembicaraan menjadi fokus. Hal ini tentu wajar saja mengingat Abu Mudi baru saja pulih dan masih terlihat lemah. Dalam kondisi ini keberadaan teks akan membantu Abu Mudi untuk berbicara lancar.
Itu jika kita bersangka baik.
Namun kenyataanya sebagian oknum justru mencoba membuat spekulasi seolah-olah Abu Mudi “dipaksa” membaca teks. Para oknum ini tidak sadar bahwa spekulasi yang demikian justru terkesan “memperlemah” Abu Mudi, bukan malah membela beliau, seperti pengakuan mereka.
Meyakini Abu Mudi dapat “ditekan” atau “dipaksa” oleh pihak lain adalah wujud konkret pelemahan terhadap beliau. Padahal, kita tahu Abu Mudi adalah seorang tokoh agama yang dihormati di Aceh. Lantas siapa yang berani menekan atau memaksa beliau? Jika pun ada, apakah Abu Mudi selemah itu sehingga rela diperlakukan demikian? Seharusnya, sebelum membuat penakwilan, para penakwil terlebih dulu harus menjawab pertanyaan ini agar spekulasi itu tidak menjerat mereka sendiri.
Dalam pernyataanya Abu Mudi juga menasihati kita semua agar tidak meremehkan covid-19 karena ancaman wabah itu nyata. Menyikapi ini sebagian penakwil justru meyakini sebaliknya, bahwa covid-19 itu tidak ada dan Abu Mudi tidak terserang virus. Penakwilan semacam ini tentunya berbahaya dan berkonsekuensi pada lahirnya kesimpulan keliru, di mana Abu Mudi secara tidak langsung dianggap telah berbohong. Pertanyaan selanjutnya apakah mungkin beliau berbohong? Pertanyaan ini juga luput dari perhatian para penakwil yang mungkin akalnya tertinggal di lemari.
Ironisnya lagi, baru-baru ini juga tersebar video di YouTube dari channel DDM Production yang melibatkan anak kecil sebagai narasumber. Dalam video itu si anak kecil menyebut Abu Mudi tidak terkena covid-19 dan hanya sakit biasa. Bahkan si anak kecil yang entah diajarkan siapa, juga menyebut pernyataan Abu Mudi hanya sebagai penutup malu bagi si jahil. Tidak jelas siapa si jahil yang dimaksud. Apakah dokter atau pihak lain. Di sini tampak si pembuat video kurang cermat dalam membuat skenario.
Tayangan video ini tentunya akan memberi dampak tidak baik dalam edukasi wabah bagi masyarakat. Jika dicermati, pembuat video ini juga seperti menafikan ancaman wabah yang sedang melanda dunia, di mana Aceh sendiri juga sudah mencatat jumlah kasus lebih dari 400 orang.
Beginilah jadinya jika akal hanya digunakan untuk akal-akalan dan bukan untuk berpikir. Akhirnya hanya melahirkan kebingungan yang bukan saja membingungkan orang lain, tapi juga membingungkan si penakwil itu sendiri.
Namun begitu, kita juga menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan tidak merespons informasi radio bergigi yang beredar terkait dugaan covid-19 yang kononnya menimpa beberapa anggota kepolisian. Seharusnya jurubicara covid-19 Aceh juga mengklarifikasi hal ini agar kebingungan publik tidak bertambah sehingga kepercayaan kepada pemerintah tidak luntur hanya karena tidak tertib dalam memberikan informasi.
No comments:
Post a Comment