(RESENSI BUKU)
Oleh : Ramli Cibro
Judul Buku: Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira
Penulis: Zulfikar RH Pohan
Penerbit: Padebooks
Cetakan pertama: Februari 2019
ISBN: 978-602-60562-7-6
xi + 185 hlm. 14,8 x 21 cm.
Sejarah Aceh adalah sejarah perang. Mungkin itu sebabnya mengapa dikatakan bahwa orang Aceh berwatak keras. Tapi sekeras-keras orang Aceh, mereka adalah penyuka pribadi-pribadi yang unik. Orang Aceh gemar dengan lawakan-lawakan satir, seperti Gam Cantoi, Apalambak dan Seuneudeut, walau kata Miswari mereka sedikit mengambil pelajaran darinya.
Lalu mengapa orang Aceh terlalu serius? Itu karena mereka terlalu formalistik dalam menjalankan agama. Hukum telah menjadi momok, dan agama telah diformalisasi sedemikian rupa, hingga kearifan-kearifan tidak lagi memiliki legal sosial untuk menjaga moral masyarakat karena digantikan oleh legal formal, yang menjalankannya saja butuh uang bermilyar-milyar. Dan negara tidak punya uang untuk itu, kata Miswari.
Zulfikar R H Pohan dalam pengamatannya sekitar 5 tahun berada di Aceh, mencoba melihat Aceh dari kacamatan kesintingan dan kejujuran. Dua konstruksi berpikir ini katanya, tercermin dalam diri Nasiruddin Hoja, seorang sufi Persia yang daya humornya hanya mampu disandingkan dengan Abu Nawas. Namun, Zulfikar R H Pohan tidak bisa menutupi narasi marah dalam diri Nasiruddin Hoja yang ia reka.
Padahal dalam versi aslinya, Nasiruddin Hoja tidak memiliki sifat marah, kecewa dan bahkan frustrasi. Narasi marah tersisip tanpa sengaja sebagai bukti bahwa Nasiruddin Hoja benar-benar telah datang ke Aceh. Karena siapa saja yang mengkaji Aceh atau siapa saja orang Aceh yang mengkaji dirinya (kecuali Ali Hasjmy) akan terseret tanpa dihindari untuk marah, untuk kecewa dan frustrasi. Dalam versi aslinya, Nasiruddin Hoja tidak pernah marah, tapi karena dalam rekaan Zulfikar R H Pohan, ia datang ke Aceh, maka mau tidak mau, Nasiruddin Hoja yang ditampilkan memiliki karakter marah, kecewa dan frustrasi.
***
Buku, Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira, diterbitkan oleh Padebooks secara gratis lengkap dengan layout dan design covernya. Mengapa ini saya tekankan, karena menerbitkan buku di Aceh, lebih banyak harus menggunakan swadaya sendiri (alias merobek kantong sendiri), walaupun dana otsus melimpah. Hanya orang-orang khawasul khawas, seperti Zulfikar R H Pohan yang berhasil selamat dari kutukan robek kantong, ketika pertama sekali menerbitkan buku. Dan ini adalah buku pertama yang diterbitkan oleh Zulfikar R H Pohan.
Buku, Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira yang terbit tahun ini, bercerita tentang perjalanan imajiner seorang Nasiruddin Hoja ke Aceh (dan pada akhir cerita, ia sampai ke tempat kelahiran sang penulis Aceh Singkil). Aceh dalam kacamata kesintingan dan kejujuran (plus marah) Nasiruddin Hoja adalah Aceh yang miskin, yang absurd, yang maniak agama dan koh gateh. Karena kebebalan dan kenihilan yang diambil dari si kumis tebal, Friedrich Nietzsche, karya ini lebih cocok disandingkan dengan Sukab-nya Seno Gumira Ajidarma, dan lewat perjumpaan-perjumpaannya dengan manusia-manusia biasa, Nasiruddin Hoja membongkar kawat-kawat berduri yang selama ini menjerat tapi terlihat menyelimuti.
Ia mengkritik praktik militerisme atas nama NKRI, mengkritik pembodohan berbalut Islamis-me, mengkritik zikir politik, mengkritik profesor kutu tanah yang tak lagi bermanfaat, mengkritik hedonisme dan konsumerisme berbalut hijrah dan mengkritik moral publik serta qanun-qanun yang menurutnya lebih banyak memojokkan perempuan.
Zulfikar R H Pohan melalui karakter Nasiruddin Hoja yang berjumpa dengan orang-orang biasa, melihat Aceh dari kacamata Post-Tsunami. Dengan nada yang agak kasar, Pohan menuliskan: Dengan Post-Tsunami, Aceh menjadi tambah berbelit. Bencana sebenarnya bukanlah ombak yang menggulung jutaan jiwa. Bencana sebenarnya adalah Aceh yang semakin tak terarah, bercampur dengan kepongahan dan kekanak-kanakan. Sering ngambek lalu ujung-ujungnya ngamuk (hlm. 118) merasa menjadi Tuan yang berkuasa, bisa ngamuk dan manja-manja, tapi hanyalah anak bawang alias budak malang yang tak dianggap (hlm. 119).
***
Buku ini terbagi dalam tiga bagian yang masing-masing bagian menjadi cerita tersendiri yang mengisi segmen kehadiran Nasiruddin Hoja di Aceh dan bagaimana ia merespons fenomena-fenomena Post-Tsunami secara sinting dan jujur (plus marah). Mungkin kemarahan itu muncul karena ia kecewa bahwa di negeri yang dikabarkan sebagai Serambi Makkah itu, ia harus menjumpai berbagai keanehan. Ya aneh dalam kacamatanya yang sinting dan jujur.
Bagian pertama dimulai dari kemunculan Nasiruddin Hoja secara tiba-tiba ke tengah-tengah Kota Banda Aceh. Ia memainkan seruling pipa namun kemudian terganggu dengan deru pesawat tempur yang lalu lalang di atas langit Kota Banda Aceh. Bagaimana ia melihat narasi militerisme dibangun melalui slogan-slogan dengan nada mengancam seperti slogan NKRI Harga Mati, atau slogan Aceh Aman Ibadah Nyaman di markas tentara Indonesia. Tidak hanya itu, Nasiruddin Hoja rupanya juga dikejutkan oleh mesjid-mesjid yang menurutnya tidak lagi ramah. Di Mesjid ia menemukan slogan bernada horor seperti Sendal Harap Dijaga, Dilarang Tidur di Mesjid, dan Mesjid Bukan Tempat Tidur!(hlm. 13-15)
Bagian kedua ia mengkritik pola penghukuman di ruang publik yang menurutnya adalah tragedi yang menjadi komedi. Tragedi karena cukup memalukan dan komedi karena ia dengan satir menjadi tontonan dan hiburan. Ia mengingatkan siapa saja akan sejarah kelam penghukuman, di Eropa pada abad ke 18, di Persia pada abad ke 19 dan di China pada abad ke-20. Jika yang dicari adalah efek jera pasti tidak jera (hlm. 77). Nyatanya baru-baru ini, Hotel Hermes kembali gempar dengan ditemukan sekelompok masyarakat (sebagian kabarnya adalah oknum TNI dan sebagian adalah mahasiswi) sedang pesta sabu di sana (02 Oktober 2019).
Di bagian ketiga, rupanya Nasiruddin Hoja jenuh menyaksikan fenomena-fenomea absurd di Banda Aceh dan naik mobil L-300 merayap tanpa tujuan hingga sampai ke Aceh Singkil. Negeri yang diimajinasikan sebagai negeri Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf ini, harus meringis menahan sakit. Mayoritas masyarakatnya adalah petani miskin dan buruh pabrik yang tidak memiliki kekuatan peradaban seperti dahulu, bahwa negeri Singkil pernah menjadi pusat perdagangan di Nusantara (hlm. 153-155).
Nasiruddin Hoja berangkat ke Singkil bertepatan dengan pembakaran gereja dan terbunuhnya salah seorang warga muslim akibat konflik yang ditimbulkan (13 Oktober 2015). Tragedi kemudian dilanjutkan dengan upaya Nasiruddin Hoja dengan membawa obor dan parang mendekati gubernur yang datang ke lokasi kejadian, membuat ia dihadiahi bogem mentah oleh pasukan pengawal gubernur.
Terakhir, saat memasuki pedalaman, ke satu komunitas masyarakat miskin Singkil, Nasiruddin Hoja diminta menjadi khatib untuk shalat hari raya Idul Adha. Dalam do’anya, Nasiruddin Hoja mempertanyakan mengapa azab akibat kejahatan ekosistem yang ditimbulkan oleh orang kaya malah Tuhan timpakan kepada orang miskin? Mengapa banjir dan limbah pabrik tidak jatuh saja ke atas lantai ubin rumah orang kaya yang di depannya ada pohon cemara?
*Ramli Cibro, Penulis adalah dosen di STIT Hamzah Fansuri Kota Subulussalam.
Editor: Khairil Miswar
No comments:
Post a Comment