Sudah Saatnya Jabatan Wakil Bupati Dihapus - bagbudig

Breaking

Friday, May 15, 2020

Sudah Saatnya Jabatan Wakil Bupati Dihapus

Di tengah kondisi pandemi yang belum jelas kapan berakhir, setiap hari kita disuguhkan dengan berbagai informasi dari pusat kekuasaan yang sebagiannya tidak mampu kita cerna dengan baik ~ dan lalu kita pun bingung. Sebut saja soal harga BBM yang tidak pernah turun dan BPJS yang tiba-tiba naik. Dan masih banyak lagi soal-soal lain yang saban hari menyemak di beranda media sosial ~ setelah saluran berita di televisi kekurangan pemirsa.

Baru-baru ini media kembali menyodorkan berita menyedihkan. Kali ini terjadi di Aceh, bukan di Jakarta. Namun bukan soal banjir bandang yang menghantam Aceh Tengah, tapi terkait kepala daerah di kabupaten itu yang konon sedang bersitegang. Tidak ada penjelasan memadai terkait akar masalah ketegangan, tapi yang jelas bukan karena panasnya cuaca Ramadan, sebab selama ini hampir saban hari tanah Aceh diguyur hujan.

Kata berita, ketegangan terjadi antara Bupati Aceh Tengah dan wakilnya, bukan dengan DPR sebagaimana lazimnya. Kabarnya oknum wakil bupati mengancam bupati. Tidak begitu jelas urut kronologis peristiwa ini, tapi yang jelas, menurut berita, sang bupati tidak mau berdamai dan akan melaporkan wakilnya ke polisi. Ada pun dari wakil tidak didapat keterangan terkait hal ini sehingga publik pun sulit menilai.

Terlepas apa pun yang terjadi, soal konflik bupati dan wakil bukanlah hal baru di Republik ini. Peristiwa ini terus berulang dari waktu ke waktu. Bukan saja bupati dan wakilnya, tapi kondisi ini juga sering terjadi di level walikota dan bahkan gubernur, di mana disharmoni antara pemimpin dan wakilnya kerap muncul, baik di awal maupun di ujung jabatan.

Khususnya di Aceh, ada banyak sekali data jika diurai, tentang konflik kedua sosok pemimpin ini, baik bupati dan wakilnya, walikota dan wakilnya atau gubernur dan wakilnya. Bahkan kondisi ini juga terjadi di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Konflik antara orang nomor satu dan nomor dua ini hampir-hampir sudah menjadi tradisi. Mungkin satu-satunya pemimpin yang benar-benar romantis dengan wakilnya di Indonesia hanya Bupati dan Wakil Bupati Pekalongan, Siti Qomariyah-Pontjo Nugroho yang sempat heboh pada 2006 silam, di mana saat itu foto-foto panas nan mesra keduanya sempat beredar. Itu pun kalau pemberitaan di media liputan6 dan detik benar. Kalau benar, maka hampir bisa dipastikan hanya mereka kepala daerah yang tidak pernah terlibat konflik selama menjabat dan bisa mesra hingga ke ranjang, seperti foto-foto yang beredar. Ada pun pasangan bupati lainnya, rata-rata retak.

Menghapus Jabatan Wakil

Sebelum kontestasi pilkada berlangsung, calon bupati dan calon wakil bupati di mana pun berada ibarat dua sejoli dan seperti pinang tak berbelah ~ menyatu dan mesra. Demikian pula dengan cawalkot dan cagub beserta para wakilnya ~ sangat-sangat romantis.

Sebelum kontestasi keduanya saling bekerja sama. Mulai dari penggalangan massa sampai dengan pengumpulan dana. Tujuan mereka sama, menuju kemenangan dan menyandarkan pantat di kursi kekuasaan. Bahkan tidak jarang “pembagian kekuasaan” sudah dilakukan di awal, ketika duet disepakati. Itu sebelum dan saat pilkada berlangsung.

Setelah pilkada dan kemenangan dicapai seketika itu pula perubahan terjadi. Perlahan-lahan keharmonisan mulai renggang. Jika dulu mereka seperti sepasang merpati yang bercumbu, pasca menang mereka berganti peran layaknya Tom and Jerry.

Dalam sebagian kasus para wakil merasa dipinggirkan. Tidak dianggap. Tidak dihargai dan seterusnya. Karena itu mereka mencoba melawan sebab dulu sama-sama berjuang.

Secara struktural, posisi wakil bupati adalah bawahan bupati dan pembantu bupati. Artinya, bos sebenarnya adalah bupati, dan wakil adalah “anak buah” bupati. Meskipun mereka berpasangan dalam pilkada, namun pasca terpilih bupatilah penguasa sebenarnya.

Di masa-masa awal hal itu tidak menjadi masalah. Tapi pasca terpilih, kekuasaan semakin nyata di depan mata, sehingga masalah pun meletup. Pada saat itulah kadang-kadang ada oknum wakil bupati yang tiba-tiba merasa menjadi bupati sehingga konflik pun terjadi. Itu sekadar contoh.

Pada dasarnya, keberadaan wakil dalam struktur kepala daerah memang memunculkan dualisme kekuasaan yang kemudian berdampak pada birokrasi pemerintahan. Hal ini kerap terjadi karena kekuasaan memang candu yang begitu menggoda.

Agar dualisme dan konflik antara bupati, walikota dan gubernur dengan wakilnya dapat dihindari, hanya ada satu cara; menghapus posisi wakil bupati, wakil walikota dan wakil gubernur sehingga tidak ada lagi tarik menarik kekuasaan.

Dengan demikian, kejadian seperti di Aceh Tengah dan beberapa daerah lainnya akan hilang dari pentas dunia.

Saya kira, Menteri dalam Negeri harus segera berpikir ke arah ini.

Ilustrasi: behance

No comments:

Post a Comment