Corona, Daulat Sains dan Kapitalisme - bagbudig

Breaking

Thursday, May 28, 2020

Corona, Daulat Sains dan Kapitalisme

Oleh: Ramli Cibro

Corona, ada yang mengatakan bahwa ia adalah virus buatan dengan tujuan perang dagang antara dua kekuatan besar, super power Amerika, dan great power, China atau Tiongkok. Ini adalah tribalitas ekonomi (kapitalisme) melalui dukungan sains. Kedua negeri itu saling menuding lawannya sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kemunculan virus ganas, Covid-19, sembari berlomba-lomba menemukan penawarnya. Melihat ekspansi China pasca Corona, dengan memberikan bantuan-bantuan penanganan kepada negara-negara terpapar Covid-19 dan ambisi Trump yang ingin memiliki hak paten anti-virus, kita menjadi tahu bahwa dua kekuatan raksasa ini sama-sama ingin menghegemoni, walaupun mungkin China akan melakukan dominasi dengan menawarkan secara cuma-cuma, dan Amerika akan memilih opsi untuk menjual vaksin dengan harga mahal. Intinya sama, berlomba-lomba dalam sains untuk mengejar keuntungan kapital.

Tapi ada yang menarik, dan sebenarnya hanyalah lagu lama, kata seorang teman, mengenai hegemoni sains dan kapitalisme dalam kasus virus Corona. Mumpung saya baru tahu, perselingkuhan antara sains dan kapitalisme dalam menguasai dunia, maka tidak salahnya, analisa yang usang ini, tetap saya gunakan. Saya belum sampai pada tahap pemikiran apa yang orang sebut sebagai kapitalisme yang ramah, yaitu keadaan di mana kapitalisme sudah menunjukkan segelintir sikap ramahnya terhadap alam, misalnya minuman di sebuah waralaba raksasa yang tidak memakai sedotan, alasannya untuk mengurangi penggunaan plastik. Atau seperti toko buku beridiologi kapitalis semacam gramedia, yang tidak lagi malu-malu memajang buku-buku kiri anti kapitalisme, tentunya dengan harga yang fantastis. 

Setelah sebelumnya hingga hari ini, alam semesta dibuat babak belur. Bagi saya, yang baru keluar dari modernisme positivistik, menuju modernisme sosialis, hal ini tidak terlalu menjadi soal. Seseorang harus bertanggungjawab atas kekacauan yang datang akibat virus yang ganas ini. Dan saya mendakwa bahwa ini adalah dosa sains dan kapitalisme, walaupun yang menanggung akibatnya adalah kita semua, orang-orang miskin yang sok lugu dan (juga) tidak bertanggungjawab ini.  

Untuk itu sekali lagi, jika saya ditanya, apa yang paling bertanggungjawab atas kemunculan virus Corona? Maka saya akan dengan mudah menjawab, bahwa sains dan kapitalisme-lah yang bertanggung-jawab. Banyak tulisan yang beredar yang mencurigai bahwa Covid-19 adalah produk dari permainan hegemoni sains dan kapitalisme negara-negara besar. Kerusakan global, perubahan iklim, penindasan buruh di negara ketiga, dan penemuan zat-zat berbahaya, adalah bagian dari skenario sains dan kapitalisme global.  Pun jika ia datang secara alami, hasil dari evolusi atau kekacauan sistem ekologi, jelas-jelas muaranya adalah perusakan lingkungan yang dibidani oleh kapitalisme.

Apa yang paling dituntut untuk menyelesaikan masalah ini? Jawabannya juga masih sama, yaitu sains dan kapitalisme. Apa yang dianggap dan dipercayai paling berwenang untuk menangani kasus Covid-19? Jawabannya sama. Yaitu sains dan kapitalisme. 

Kenyataannya, masyarakat memercayakan dan mendaulat sains dan kapitalisme untuk menjawab persoalan yang dibuat oleh keduanya. Di satu sisi, masyarakat dibuai oleh paradigma positivistik sains, sehingga penanganan Covid-19 di luar instrumen sains dianggap illegal dan malpraktek. Dalam kasus ini, agama dikambing-hitamkan, kearifan lokal tidak mendapat tempat, dan kekuatan spiritual dinafikan. Ini barang persoalan material Bung, harus diselesaikan dengan cara-cara yang materialistik melalui paradigma berpikir materialisme, sains dan ekonomi. Itu sebabnya sejak pertama Covid muncul, yang terpikir di benak menteri keuangan adalah utang, utang, utang dan utang.

Di sisi yang jauh, segala penanganan diluar sains dan kapitalisme akan dianggap sesat, bodoh, terbelakang dan egois. Ada anekdot lucu yang beredar, semua agama, semua aliran, semua sekte, semua kearifan lokal sedang bungkam. Mereka sedang menunggu dan mendaulat sains (dan kapitalisme) untuk mencari dan menemukan jawaban.

Tapi sampai detik ini, sains dan kapitalisme tidak memberikan jawaban apa-apa….

Kapitalisme

Apa yang paling berdampak dalam kasus Covid-19, adalah ekonomi dunia hasil besutan kapitalisme, meradang. Ketika kasus ini berebak menjadi pendemi, yang sibuk dianalisa bukan berapa orang yang akan mati atau seberapa mampu umat manusia akan bertahan. Alih-alih dilakukan  kritik materialitas justru materialisme dijadikan jawaban. Yang disorot pertama, bukan lagi kemanusiaan, tetapi seberapa kokoh pertahanan ekonomi dunia dan seberapa profit bisnis alat-alat kesehatan. Seolah nyawa seorang manusia tidak ada harganya di hadapan kurs dan nilai tukar.

Banyak pemerintahan yang shutdown, dan pemerintah Indonesia kelabakan, berinisiatif menyelesaikan masalah Covid-19 dengan utang, seolah semua masalah hanya dapat diselesaikan dengan utang. Dengan tiba-tiba pula, IMF berbaik hati, menawarkan kucuran dana lunak konon tanpa bunga namun penuh spekulasi dan tentu saja risiko. Mereka ingin berperan dalam menyelamatkan perekonomian dunia yang mangkrak karena virus Corona. Saya tidak yakin akan hal itu. Intinya mereka ingin menyelamatkan mesin-mesin bisnisnya di negara yang ia perutangi untuk mendapat dua atau tiga keuntungan sekaligus. Lebih brutal lagi, mereka ingin mencari keuntungan di situasi yang mencekam ini. 

Nyatanya, ideologi kapitalisme adalah ideologi paling lentur di dunia. Karena mesin paradigmanya hanya satu, yaitu keuntungan dan keuntungan. Di manapun dan dari daratan mana pun, kapitalisme dapat bertahan dengan lenggangnya. Tak peduli ia hadir di negeri paling sosialis sekali pun. Kapitalisme bahkan hadir dalam berjilid-jilid buku pemikir kiri, yang dijual secara eksklusif dan sangat mahal dan elite oleh perusahaan-perusahaan perbukuan raksasa. Nyata kapitalisme dengan sains sebagai salah satu perpanjangan tangannya, tidak lagi memiliki lawan apa-apa, karena ia lahir dari kebutuhan paling primitif manusia, yakni perut dan kelamin.

Sains dan kapitalisme adalah produk tunggal dari peradaban modern. Pandangannya yang dualistik seperti subjek dan objek, spiritual dan material, manusia dan dunia telah mengakibatkan objektivikasi yang barbar. Tidak ada lagi peran mistik. Tidak ada lagi mitos dan kegaiban. Yang ada hanyalah lahan subur yang dapat dikeruk di mana saja dan kapan saja. Kemanusiaan hanyalah instrumen dan alat propaganda untuk menyuburkan kapitalisme, dan kita bisa apa?

Membunuh Agama dan Kearifan

Hakikatnya, agama, kearifan, sains dan kapitalisme sama-sama merupakan produk sejarah, hasil evolusi dengan satu tujuan, mempertahankan kehidupan umat manusia dari kepunahan, baik itu kepunahan eksistensi (kematian fisik) maupun kepunahan esensi (kematian kemanusiaan).

Nabi hadir untuk menghidupkan kembali kepunahan esensi manusia akibat kejahilan manusia, ketergantungan mereka kepada selain Allah dan para Nabi melahirkan agama. Kearifan hadir dari proses evolusi kebudayaan, dalam rentang yang amat panjang, berdialektika, bertahan dari gempuran alam dan perang, sesekali mengalami diskontiniuitas, memiliki kekuatan untuk bertahan hingga pada masanya, teruji mampu menjaga keharmonisan antara alam dan manusia. Soal frasa “harmonis”  masih bisa diperdebatkan, tapi soal ketahanan suatu budaya, itu menjadi pokok. Lalu bagaimana dengan sains? Sains sebenarnya hanyalah bagian dari produk kebudayaan, hasil olah akal budi manusia, namun kemudian berubah wujud menjadi monster, menjadi ideologi, saintisme. 

Seolah tidak ada apa-apa di luar sains. Mitos dibabat, mistis diabaikan, dunia dirusak, semua diukur secara materialis, secara matematis. Hukum ekonomi lahir dari sains dan kapitalisme lahir dari hukum ekonomi.

Sains membesar, dan kapitalisme jauh lebih membesar lagi. Dan, entah itu sains sebagai sains atau sains sebagai ideologi, ia akhirnya dicomblangi oleh kapitalisme.

Hanya kapitalisme yang berhak menentukan apakah satu temuan sains itu berguna atau tidak berguna. Sampai pada akhirnya, hanya kapitalisme yang berhak menentukan mana yang sains dan mana yang bukan. Terakhir lagi, hanya kapitalisme yang berhak menentukan kebenaran. Dan lebih terakhir lagi, kapitalisme-lah yang menentukan makna religiusitas, kesalehan sosial, model Islami, trend hijrah, sosialita spiritual, agen umrah, hijrah, hidayah dan lain sebagainya. Dimensi-dimensi spiritual, mistik dan rahasia kemudian menubuh, mendaging dan menjadi ukuran fisik. Kesolehan sejalan dengan kecantikan dan bentuk tubuh yang bagus; hidayah dan hijrah identik dengan up-date mode, gaya hidup dan food; dan relijiusitas (khususnya di era sebelum covid-19) identik dengan traveling, umrah, ziarah ke Palestina (melalui visa Israel) dan Turki.

Akhirnya, sains mempreteli agama dan kearifan secara bersamaan. Lalu apakah agama dan kearifan akan tumbang, tentu saja tidak. Agama dan kearifan hanya tanggal beberapa onderdil. karena setelah itu, agama dan kearifan akan berevolusi, memaklumi semua moralitas sains, sembari berharap tidak ada lagi penyesuaian radikal yang akan terjadi setelah ini semua berlalu.

Tapi siapa yang bakal tahu? Dan benarkah agama dan kearifan hanya tinggal nama saja? Lihat saja MUI dan konsistensinya mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah (yang terkadang aneh dan tidak matang) melalui fatwa-fatwa yang sangat fleksibel, kalau tidak dikatakan pragmatis.

Lalu?

Yalateh dan kulja serta qunut nazilah dianggap usang, bahkan ditertawakan oleh kaum positivistik pemuja sains sebagai sisa dari zaman purba. 

Dan Aceh?

Aceh mulai menjadi sorotan, tapi tetap saja rasionalisme membuatnya terlihat gamang. Sejak virus merebak, Aceh belum benar-benar memiliki kasus yang serius. Ada yang mengatakan karena kekuatan mistik dari yalateh dan kulja, serta beberapa ritual tulak bala yang menarik dikaji secara antropologis.  Tapi ada juga yang ngotot mengatakan karena Aceh belum di tes rapid tes atau swab (konon yang terakhir untuk sekali pengujian bisa menelan biaya 1.6 juta rupiah). Namun, kasus Aceh setidaknya membuat kita harus diam dan menahan diri. 

Belum ada kesimpulan apakah minimnya kasus covid-19 di Aceh karena disebabkan kekuatan mistik yalateh dan kulja serta qunut nazilah atau karena di Aceh memang kurang dilakukan pengujian baik rapid tes maupun swab. Namun, seharusnya jika memang Aceh abai pada corona, maka seharusnya telah terjadi ledakan kasus, minimal orang-orang mulai menunjukkan gejala, tapi sampai hari ini Aceh masih relatif aman. 

Lalu apakah kita harus berlega hati dan jumawa? Saya kira itu tidak perlu. Aceh harus menunjukkan kehati-hatian dan kewaspadaan, khususnya penjagaan di perbatasan-perbatasan, baik laut, udara maupun darat. Kita juga harus terus berdo’a dengan merutinkan pembacaan yalateh dan kulja serta qunut nazilah. Kita harus berendah hati, dan berharap penuh pada kasih sayang dan rahmat Allah.

Dalam akidah Asyariyah, bencana atau rahmat turun semata-mata mutlak karena kehendak Allah, dan tidak ada hubungannya dengan ibadah satu kaum, walaupun secara ekspilisit ada ayat yang menyebutkan demikian. Tapi dalam keyakinan mereka, bencana dan rahmat adalah hak mutlak Tuhan tanpa boleh dikaitkan dengan ibadah hamba-hambanya. Begitupun Tuhan berhak memasukan seseorang ke surga dan ke neraka, bukan karena amal ibadah atau dosa yang mereka lakukan, tapi murni karena Allah yang berkehendak. Itulah yang harus dipegang, supaya orang Aceh tidak terlanjur congkak dengan yalateh dan kulja serta qunut nazilah

Dalam giliran ini, Aceh harus tetap waspada, berendah hati, tidak jumawa dan tidak pula berhenti berdo’a. Aceh, harus mewaspadai dugaan sebagian orang bahwa minimnya kasus Corona, justru karena Aceh kurang melakukan tes rapid dan swab. Ada anekdot yang mengatakan bahwa orang bodoh terlindungi oleh kebodohannya. Jangan sampai, kasus corona yang minim dikarenakan kita memang bodoh dan tidak tahu kalau bahaya sudah sampai ke urat leher, tapi berharaplah bahwa semua ini memang karena rahmat dan kasih sayang Allah semata, tidak ada hubungannya dengan kehebatan kita membaca yalateh dan kulja serta qunut nazilah, walaupun kita harus tetap membacanya. Bingung kan? Saya juga bingung.

Lalu New Normal?

New Normal tetap tidak sama dengan Normal. Saya kira, kiamat sudah dekat. Tapi itu hanya kira-kira saja. Kapan datangnya kiamat, tidak ada ustadz yang tahu, jadi jangan percaya sama telor dan kabut asap, apalagi sampai memfoto-kopi 20 lembar surat yang katanya dari penjaga makam Rasulullah, seperti yang dilakukan oleh orang-orang dari generasi kami. 

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: networknorwich

No comments:

Post a Comment