Tidak Semua Kesuksesan Diawali dengan Cita Cita, tapi Keberanian untuk Mencoba - bagbudig

Breaking

Friday, April 10, 2020

Tidak Semua Kesuksesan Diawali dengan Cita Cita, tapi Keberanian untuk Mencoba

Oleh: Kapten Laut (KH) Syahrizal, S. Pd*

Nama saya Syahrizal. Saya lulusan Penjaskes Unsyiah Banda Aceh Angkatan 2006. Saya berasal dari sebuah desa kecil di pojok Kota Juang Bireuen.

Masa kecil dan remaja banyak saya habiskan di sana. Mulai dari SD, MTSN dan MAN. Saya juga sempat mondok di Pesantren Syamsudduha Cot Murong Aceh Utara selama 1,5 tahun dan kemudian pindah ke MTsN Matangglumpang Dua. Perpindahan tersebut dikarenakan pesantren berada di zona rawan kontak tembak pada saat konflik RI-GAM sehingga kami sering harus tiarap saat sedang ibadah atau mengaji di dayah tersebut.

Saya terlahir dari keluarga yang sederhana, pas pasan, pas butuh pas ada hehehe. Dari kecil saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi seorang Prajurit TNI seperti sekarang ini karena sejak kecil dan remaja pada saat melihat TNI hanya ada satu rasa, yaitu takut. Hal itu terbilang normal karena saat itu sedang panas-panasnya konflik antara RI dan GAM. Perang terjadi di mana-mana. Letupan senjata dan kekerasan sudah menjadi rutinitas harian.

Usai lulus dari MAN Peusangan saya memutuskan merantau ke Banda Aceh untuk ikut SMPTN. Saya mendaftar di dua universitas ternama di Aceh, Unsyiah dan IAIN. Saya mendaftar di Unsyiah dan memilih jurusan olahraga karena memang saat MAN saya aktif sebagai pemain voli tingkat SMA dan pernah beberapa kali membawa pulang piala untuk sekolah saya.

Saat itu saya juga mendaftar di IAIN pada Fakultas Tarbiyah. Pengumuman di IAIN dilakukan lebih awal dari Unsyiah dan alhamdulillah saya dinyatakan lulus. Akhirnya saya terdaftar sebagai mahasiswa IAIN setelah mengikuti matrikulasi dan membayar uang SPP.

Tidak lama berselang hasil tes di Unsyiah juga diumumkan. Saya juga dinyatakan lulus di Unsyiah jurusan olahraga. Dilema pun muncul. Di satu sisi saya ingin di Unsyiah karena sesuai dengan keinginan saya, tapi saya juga sudah terlanjur kuliah di IAIN sebagaimana diharapkan ayah dan almarhumah ibu saya. Ayah dan ibu menginginkan saya menjadi penerus mereka dalam bidang agama. Akhirnya setelah terlibat diskusi yang alot dengan orangtua, saya diizinkan untuk pindah kampus dan pindah jurusan ke Unsyiah. Dari situlah semua cerita itu dimulai.

Saya kuliah di Unsyiah selama 4.5 tahun, dan menjadi lulusan ke 5 dari seluruh leting dari angkatan saya dengan nilai IPK 3,7.

Selesai kuliah saya mengajar sebagai guru bakti di SMP 11 Banda Aceh selama hampir 1 tahun (karena sebelum wisuda saya sudah mengajar) dengan gaji 300 ribu/ bulan dan dibayar 3 bulan sekali.

Pada suatu pagi HP saya berdering. Saya angkat. Saat itu saya ditelepon oleh salah seorang abang saya, Syukran.

Dengan penuh semangat beliau bilang, “Jal ci kabaca koran halaman 2, na diteurimong teuntra ijazah sarjana.” (Jal, coba kamu baca koran halaman 2, ada penerimaan tentara dari sarjana). Dengan santai saya menjawab, “Jeut siat teuk lon jak bak keude kupi” (baik sebentar lagi saya ke warung kopi).

Setelah mandi saya bergegas ke warung kopi dan membaca Serambi halaman 2. Benar di situ terpampang pengumuman penerimaan prajurit TNI dengan ijazah sarjana. Selesai membaca saya pun pulang dan menelepon balik ke abang saya. “Hai han ek tatamong teuntra, tentra nyan kumuh, kuto dan hana tatuho pih enteuk jitiek teuh” (Saya kurang tertarik jadi tentara. Soalnya pakaian tentara itu biasanya terlihat kotor dan tidak jelas akan ditugaskan ke mana). Saat itu abang saya menjawab, “Kakeuh nyan hom terserah bak kah” (Sudahlah. Itu terserah kamu).

Tiga hari kemudian perasaan galau pun muncul. Otak mulai berputar. Ijazah sudah di tangan. Pekerjaaan yang tetap belum ada, hanya bakti dengan gaji tak seberapa.

Setelah berperang dengan otak sendiri akhirnya saya memutuskan untuk mencoba mendaftar di Ajendam Kodam IM dengan posisi pengetahuan tentang ketentaran NOL besar haha. Maklum, keluarga kami tidak ada yang tentara, hanya Pak Wa saja yang tentara, itu pun sudah pensiun saat saya masih kecil.

Proses pun berjalan. Sempat tersendat karena ijazah MTsN hilang. Semangat pun mulai kendor. Tapi berkat kegigihan abang dan ayah saya yang mendatangi sekolah, akhirnya saya mendapatkan ijazah pengganti dan akhirnya saya lulus tes administrasi.

Proses tes berjalan tahap demi tahap. Alhamdulillah setiap tahap saya lulus, sampai di tes terakhir mental idiologi, dan akhirnya dari hampir 100 calon yang mendaftar keluarlah nama kami 7 orang yang lulus di daerah, dan tinggal menunggu panggilan dari pusat.

Berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, dari 7 yang lulus di daerah tidak semua dipanggil ke pusat. Saat itu hanya 2 yang dipanggil dan menjalani tes di pusat. Dan keduanya pun harus pulang karena gagal.

Kegamangan pun mulai memuncak karena setelah 3 hari menunggu panggilan tak kunjung datang. Akhirnya saya putuskan untuk pulang kampung dulu. Untuk menghilangkan stres.

Pada suatu malam saya diajak oleh seseorang teman saya untuk bertemu dengan seseorang. Saat itu saya dikenalkan dengan seorang oknum di salah satu hotel di Bireun. Waktu itu saya baru tahu kalau saya akan dikenalkan dengan “calo.” Entah benar atau tidak dia itu calo, tapi yang pasti saat itu keluar dari mulutnya kalau saya mau lulus maka saya harus mengeluarkan uang 200 juta. Sontak saya kaget. Pat tacok peng ditnan (Di mana kita ambil uang segitu). Akhirnya karena merasa tidak enak dengan teman saya, saya pun menjawab kalau saya harus bicarakan dulu dengan orang tua saya.

Esok paginya saya pun ngomong ke ayah saya disaksikan alm ibu dan keluarga semua. Detailnya saya ngomong begini: “Ayah, ilake peng 200 juta nak jeut i panggil u pusat” (Ayah, mereka minta uang 200 juta agar bisa dipanggil ke pusat). Ayah hanya tersenyum tipis, senyum khas yang ia miliki. Ayah tidak menjawab. Lalu saya pun melanjutkan, “Ilong ayah menyona peng ditnan neubuka toko mantong di Bireuen. Pu tajak joek keu awaknyan, leuhnyan pendidikan tatheun tapak awak nyan cit” (Kalau ayah ada uang 200 juta kita buka toko saja di Bireuen. Untuk apa kita beri untuk mereka. Nanti waktu pendidikan kena tendang juga).

Saya bicara begitu karena saya tahu ayah kami tidak punya uang sebanyak itu, apalagi saat itu (2011) almarhumah ibu sering dirawat di RS yang membutuhkan banyak biaya. Dan saat itu saya juga punya keyakinan bahwa proses rekrutmen di tubuh TNI bersih dari segala bentuk raswah.

Akhirnya saya dan keluarga sepakat kalau masuk dengan menyogok sama saja bohong, “hana beurkat.”

Esok harinya saya balik ke Banda Aceh dengan perasaan sedikit pesimis, karena tidak ada backing yang bisa diandalkan. Dua hari berselang kami pun dipanggil ke Kodam, dan Ka Ajendam langsung mengumumkan bahwa yang berangkat ke pusat hanya 4 orang dari 7 yang lulus daerah, dan alhamdulillah nama saya yang pertama dipanggil. Padahal saya tidak membayar 200 juta seperti yang diminta oknum di Bireuen.

Seminggu setelah itu pun kami berangkat ke Solo Yogyakarta untuk melaksanakan tes pusat. Di sanalah kami berkumpul dengan seluruh peserta tes yang hampir 250 orang. Rangkaian tes pun berlangsung hampir dua minggu. Rasa pesimis muncul saat melihat saingan dari anak jendral, atlet nasional, anak Kopasus, dll. Sedangkan kami yang dari Aceh bukan anak siapa siapa dan tidak kenal backing sama sekali. Suatu malam saya telepon ayah saya dan berkata, “Ayah menyo lon hana lulus bek kecewa neuh” (Ayah, kalau saya tidak lulus jangan kecewa). Sambil tertawa ayah menjawab, “Kakatume jak u Jawa hana payah blo tiket pesawat pih ka raseuki nyan” (Sudah bisa ke Jawa tanpa beli tiket saja sudah hebat). Saat berangkat waktu itu, tiket kami dibelikan Kodam IM.

Singkat cerita hari pengumuman pun datang. Jantung berdebar, napas terasa di ujung kerongkongan, satu persatu nama dipanggil, dan tibalah giliran nama saya juga dipanggil. Saya dinyatakan lulus. Sedihnya, tiga teman saya dari Aceh dinyatakan gagal. Saat itu (2011) yang lulus dari Aceh hanya saya seorang.

Alhamdulillah setelah 7 tahun lebih berdinas di TNI Angkatan Laut, saat ini saya sudah menyandang pangkat Kapten.

Dari kisah perjalanan ini, saya ingin menyampaikan bahwa, jangan sekali-kali takut untuk mencoba sesuatu, karena tugas kita hanya berusaha dan berdoa, sementara untuk hasilnya serahkan kepada Tuhan. Biar Tuhan yang menentukan mana yang terbaik untuk kita.

Bagi para pemuda, khususya di Aceh, yang berniat menjadi TNI, percayalah kepada kemampuan kita sendiri, tidak perlu tergiur dengan suap yang ditawarkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, karena kita bisa lulus dengan kemampuan kita sendiri, asalkan kita giat berlatih dan terus berdoa.

*Penulis adalah Kepala Urusan Olahraga Militer. Pangkalan Utama TNI AL Belawan.

No comments:

Post a Comment