Meugang Corona - bagbudig

Breaking

Tuesday, April 21, 2020

Meugang Corona

Sebagai mantan pedagang kaki lima, saya paham bagaimana sulitnya mencari uang di “lapak panas” itu ~ yang tidak hanya karena panasnya cahaya matahari, banyaknya debu dan sebangsanya ~ tapi kadang-kadang juga harus berurusan dengan beberapa oknum polisi pamong praja yang terkadang lebih garang dari baret merah.

Dulu, pada awal 2005, saya pernah berjualan di jalan langgar Kota Bireuen, tepatnya di atas bekas rel kereta api. Saya jualan kopi dan minuman ringan dengan menggunakan gerobak yang sekaligus menjadi rak berisi cangkir dan piring. Saya memulai aktivitas jualan jam lima sore dan tutup di atas jam 12 malam. Saya juga menyediakan kursi dan meja plastik kepada para pengunjung.

Peraturan yang dibuat pemerintah, jam 7 pagi semua barang-barang itu, mulai dari gerobak, payung, kursi dan meja sudah harus hilang dari kawasan rel kereta api. Bukan karena kereta api mau lewat, tapi kota harus terlihat bersih dan tidak boleh kumuh.

Biasanya, saya memindahkan semua barang ke dalam gang. Saya menyimpannya dengan rapi dan saya tutupi kain putih sebagai selimut. Tapi, kadang-kadang ketika hujan turun tiba-tiba di malam hari dengan petir yang meledak-ledak, barang-barang itu tidak sempat saya pindahkan. Dalam kondisi itu, bisa mengamankan diri dari dinginnya hujan saja sudah untung.

Tapi, keesokan harinya saya mendapati gerobak, kursi, meja dan payung di tempat lain. Bukan lagi di tempat semula, tapi sudah berpindah ke belakang Pendopo Bupati.

Tanpa perlu bertanya, saya langsung tahu siapa yang mengangkut barang-barang saya, Satpol PP. Dan kejadian itu bukan sekali. Tapi berkali-kali ~ di mana saya harus berdebat panjang lebar untuk bisa mengambilnya kembali.

Itu salah satu adegan yang pernah saya alami ketika menjadi pedagang kaki lima. Jadi, saya paham bagaimana terjepitnya mereka, bukan saja di tengah kondisi pandemi seperti saat ini ~ bahkan dalam keadaan normal pun mereka sering berurusan dengan negara yang menginginkan kota tetap bersih.

Ulasan di atas mungkin lumayan panjang, bukan hendak berteletele, tapi sekadar memperjelas posisi saya ketika hendak menulis soal pedagang kecil ~ di mana saya juga pernah bergelut dan bertempur di sana.

Sekarang tulisan ini akan sedikit berbelok.

Untuk menghindari penyebaran virus yang telah menjadi pandemi global saat itu, pemerintah, wabil khusus Pemerintah Aceh telah mengeluarkan amaran untuk menghindari keramaian dan melarang kerumunan.

Dan, seperti kita tahu, khususnya di Aceh, menjelang Ramadan akan ada tradisi meugang yang akan dimulai besok dan sebagian daerah dimulai lusa.

Sudah pasti tradisi meugang ini akan menimbulkan kerumunan. Konon Pemerintah Kota Lhokseumawe melarang aktivitas meugang di pasar. Sementara Pemerintah Aceh kabarnya tidak melarang, tapi meminta penjual dan pembeli menerapkan physical distancing. Namun sejauh mana para penjual dan pembeli akan mematuhi aturan ini tidak ada yang tahu, kecuali Tuhan dan mereka sendiri.

Bagi orang Aceh, meninggalkan tradisi meugang bukan hal mudah, bahkan ada yang menganggap peniadaan meugang sebagai satu pantangan besar. Ada semacam “keyakinan” bahwa puasa dan hari raya mesti dan harus diawali oleh meugang. Dan kita menghargai tradisi itu sebagai bagian dari kearifan lokal.

Namun begitu, meniadakan meugang di pasar tentu lebih baik demi mencegah penyebaran wabah. Seperti kita tahu, jumlah pembeli di hari meugang akan lebih ramai dari biasanya ~ yang dengan sendirinya akan melahirkan kerumunan besar yang penuh sesak dengan orang-orang. Dalam kondisi itu kita tidak pernah tahu apakah semua orang yang hadir di sana bebas dari virus atau tidak. Artinya potensi ledakan itu tetap terbuka.

Lagi pula menjual daging meugang tidak harus dilakukan di pasar atau di pusat kota, tapi bisa digeser ke kampung masing-masing sehingga tidak memunculkan kerumunan yang sulit dikontrol. Dan yang namanya daging di hari meugang dijual di mana pun akan tetap laku tanpa mesti mengangkutnya ke pasar yang tentunya menghabiskan modal untuk sewa tempat dan biaya transport.

Kecuali itu, penjual daging meugang juga berbeda dengan pedagang kaki lima lainnya yang memang mesti berada di pasar agar dagangannya laku.

Dalam kondisi pandemi semacam ini kita semua memang harus menyesuaikan diri agar ledakan besar tidak terjadi. Tapi, setiap orang sudah menentukan pilihannya sendiri.

Dan mulai sore tadi, khususnya di Bireuen lapak-lapak meugang sudah mulai terisi. Entah malam ini. Entah pula besok.

Foto: Zulfahmi

No comments:

Post a Comment