Markaz Nizamuddin: Ritus dan Transaksi Kealiman - bagbudig

Breaking

Friday, April 24, 2020

Markaz Nizamuddin: Ritus dan Transaksi Kealiman

Oleh: Yogi Febriandi

Dalam tulisan kali ini saya menulis tentang Markaz Nizamudin di New Delhi. Sebuah lokasi yang menjadi pusat peziarah Jamaah Tabligh di dunia. Lokasi ini didirikan sebagai penghormatan terhadap Syed Muhammad Nizamuddin Auliya atau lebih dikenal Hazrat Nizamuddin. Hazrat Nizamuddin, hidup dalam rentang waktu tahun 1238-1325 M. Ia merupakan seorang yang aktif mengajarkan Islam yang berupaya mendialogkan konteks masyarakat India saat itu dengan ajaran-ajaran Islam.

Secara keseluruhan, Hazrat Nizamuddin dapat disimpulkan sebagai seorang sufi dari tarekat Chisti. Sebuah tarekat yang muncul di daerah Chisht, sebuah kota kecil dekat Herat, Afghanistan, sekitar 930 M. Ordo Chishti dikenal karena ajarannya yang menekankan pada cinta, toleransi, dan keterbukaan.

Saya berkesempatan mengunjungi Markaz Nizamuddin pada Februari 2019. Saya tidak hanya menginap di sebuah hostel murah tepat didalam Markaz Nizamuddin. Saya juga berkesempatan masuk ke dalam makam-makam yang ada di Markaz Nizamuddin, salah satunya  diyakini sebagai milik ulama besar bernama Amir Khusrau. Seorang Sufi sekaligus musisi dan sastrawan besar asal India. 

Seperti pada makam-makam ulama keramat (auliya) pada umumnya, bangunan makam dibuat menyerupai sebuah masjid kecil. Di mana di dalamnya terdapat kuburan berukuran panjang. Sangat sulit memastikan panjang ukuran kuburan tersebut. Yang pasti, bila kita sering atau pernah mengunjungi makam keramat, penggambaran kuburan berukuran panjang sudah terekam di dalam ingatan. Ini menjadi hal yang sering dijumpai dalam makam-makam keramat Wali atau orang suci di dalam masyarakat muslim, terutama Indonesia dan Afghanistan.

Sambil lalu berjalan melewati kerumunan peziarah, saya teringat akan pesan Winkellman dan Dublish (2005) yang mengatakan bahwa ziarah merupakan ritual yang sangat fleksibel di mana partisipan hadir dengan tujuan dan dari latar sosial yang beragam. Seperti yang saat itu sedang saya saksikan di dalam gang-gang sempit di Markaz Nizamuddin. Saya berjalan bersama seorang perempuan India yang memakai sari dan hanya menutupi Sebagian rambut. Di belakang kami ada lelaki berjenggot lebat dan mamakai kurta (pakaian muslim khas India) sambil memegang tasbih. Para penjual kebutuhan peziarah yang saya lihat sepertinya merupakan penganut ajaran Hindhu. Lukisan dewa Ganesha dan Siva terpajang di depan toko-toko tersebut. 

Saya mengagumi pemandangan ini. Dalam pikiran saya kala itu India memang memiliki cerita unik dalam hal ziarah dan umat beragamanya. Hampir setiap agama memiliki ritual ziarah. Cara agama-agama India dapat diidentifikasi mungkin melalui ritual ini. 

Sambil terus berpikir tentang hal tersebut, saya tertegun melihat banyaknya peziarah yang mengantre untuk mendapatkan secarik kertas semacam do’a dan juga air penyucian untuk diminum. Dua barang tersebut menjadi komoditas untuk perlengkapan ziarah. Selain itu bunga wewangian dan juga tali kain kecil yang nantinya akan diikat pada hiasan berbentuk hiasan tiang-tiang kecil di dinding-dinding makam utama, makam Syehk Amir Khusrau. 

Tepat di depan makam utama, ada sedikit ruang bagi pertunjukkan sufi yang menggunakan musik sebagai medium dakwah. Sebagian besar sufi yang sedang tampil adalah pemuda di bawah 30 tahun, dan semua laki-laki. Sebagian alat musik yang digunakan sangat akrab di mata saya yang sering saya lihat di film-film India klasik, namun tetap sangat sulit mengingat nama-namanya. Tepat di depan ruang pertunjukkan kecil tersebut, banyak para orangtua membawa anak mereka. Saya yang sempat tersihir oleh lantunan syair dan musik tersebut mengamati tingkah para penonton yang setiap satu kali syair berhenti, para orang tua ini mendatangi pimpinan kelompok pertunjukkan untuk memberikan secarik kertas atau membisikan sesuatu. Saya berpikir pasti secarik kertas dan bisikan tersebut adalah sebuah do’a yang ingin dilantunkan. Asumsi ini semakin yakin, karena setelah memberikan kertas atau bisikan, pengunjung akan melemparkan beberapa lembar uang kertas ke dalam sebuah guci.

Praktik membayar tidak hanya sekali itu saya lihat. Setelah saya keluar dari makam utama, saya diminta untuk membayar sedekah sejumlah 1000 Rupee dan menandatangani daftar absensi anggota ziarah. Uang itu, kata petugas makam digunakan untuk keperluan pengurusan makam. Air penyucian dan kertas yang berisi do’a juga tidak didapatkan gratis. Peziarah harus membayar untuk itu. Begitu pun wewangian dan tali yang digunakan untuk mengikat do’a di dinding kuil. Itu semua tidak gratis.

Praktik semacam ini dalam ritual ziarah tidak hanya terjadi di Markaz Nizamuddin. Berbagai ritual ziarah memiliki praktik semacam ini. Di Indonesia sendiri Julian Millie dan Lewis Mayo (2019) menyebut hal yang sama di situs ziarah Gunung Kawi. George Quinn (2008) mencatat praktik demikian muncul bukan hanya karena adanya kepercayaan akan konsep tawassul (mengambil sarana untuk kelancaran ritual), tapi karena adanya peralihan transaksi kealiman. Peziarah membayar untuk mendapatkan keberkahan dari ritus yang ia jalankan.

Bentuk sarana (tawassul) ini dapat beragam, sesuai imajinasi yang membentuknya. Misal seperti praktik ritual sedekah yang saya temui ketika dalam perjalanan pulang menuju hostel. Saya sempat membeli 5 kupon makanan seharga 100 Rupee. Kupon makanan tersebut dikeluarkan oleh rumah makan di sekitaran Markaz Nizamuddin. Kupon tersebut dijual ke peziarah agar dapat diberikan ke pengemis yang berada di sekitaran Markaz Nizamuddin. 

Kupon makanan tersebut menjadi semacam tawassul layaknya kelompok sufi, kertas do’a dan air penyucian yang ada di dalam makam. Karena barang-barang tersebut tidak memiliki harga ritual ketika berada di luar makam, maka diperlukan bentuk transaksi lain yang sesuai dengan imajinasi tempat di mana ritual dilakukan. 

Ritual ziarah, makam keramat dan transaksi kealiman menjadi rutinitas keseharian muslim yang berada di Markaz Nizamuddin, New Delhi.  Meski lokasi ini terkenal sebagai tempat ziarah Jamaah Tabligh, tapi ziarah tidak pernah menjadi ritual yang terdefinisikan secara pasti. Ritual ziarah sejatinya tempat penyaluran hasrat terhadap yang sakral, yang berbeda dari Durkheim, ia tidak terpisah dari rutinitas material.

Di arena ini, agama tidak dapat dijelaskan melalui teori Durkheim, yang memisahkan agama berdasarkan tindakan sakral dan profan. Agama pada akhirnya tentang sebuah ritus yang beragam, yang sifatnya sangat partikularalistik. Pada akhirnya seperti kata Stephen Prothero (2010), agama tidak lagi pada ranah ide-ide akan tetapi pada ritus-ritus yang dipraktikkan.

Daftar Bacaan

George Quinn, Throwing Money At The Holy Door: Commercial Aspects Of Popular Pilgrimage In Java lihat dalam Greg Fealy, Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, (Singapore: ISEAS Publishing, 2008).

Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (1912).

Michael Winkellman and Jill Dublish, Pilgramage and Healing, (Arizona State: The Arizona University Press, 2005).

JulIan MIllIe and LewIs Mayo, Grave Visiting (Ziyara) in Indonesia, lihat dalam Baba Rahimi & Peyman Eshaghi, Muslim Pilgramge in The Modern World, (North Carolina: University of North Carolina Press, 2019).

Stephen Prothero, God is Not One: The Eight Rival Religious That Run The World, (New York: Harper-One Publisher, 2010).

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: Swarajya

No comments:

Post a Comment