Memang benar, Aceh dan Islam adalah dua kata yang berbeda. Pun demikian, membaca Aceh dalam keberbagaiannya sebagai sebuah kultur-sosial tentunya tidak terlepas dari dimensi keagamaan, yaitu Islam.
Relasi kuat antara Aceh dengan Islam ditunjukkan oleh bukti historis. Wilayah Aceh misalnya merupakan pintu gerbang masuknya misi penyebaran dakwah Islam ke Nusantara. Masyarakat Aceh pasca kedatangan Islam ke Nusantara boleh dikatakan mayoritasnya memeluk Islam. Bahkan, hukum perundang-undangan dalam masa Kesultanan Aceh merupakan hasil adopsi dari hukum Islam sebagaimana dalam Qanun Meukuta Alam.
Melalui lensa antropologi, konsepsi orang Aceh berkaitan dengan falsafah kehidupan dan pandangan alam (worldview) pun banyak diwarnai oleh falsafah atau pun simbol yang Islami. Hudep Saree Matee Syahid (Hidup Mulia, Mati Syahid) merupakan kalimat filosofis-Islamis sebagai semboyan yang telah mengakar kuat dalam kultur-sosial masyarakat Aceh.
Penulis menganalogikan Aceh bak wadah yang menampung dan menyerap nilai-nilai Keislaman. Dalam bahasa ilmu logika (mantiq), sebutlah Aceh sebagai jauhar (substansi), sementara Islam adalah ‘aradh (aksiden). Warna hitam pada burung gagak misalnya adalah ‘aradh, sementara burung gagak adalah jauhar yang menampung warna hitam tersebut.
Pun demikian, pertanyaan sentralnya adalah sejauh manakah daya serap masyarakat Aceh terhadap sistem nilai dalam Islam? Sudahkah ia melewati tahapan yang cenderung parsial menuju kepada rumusan yang lebih komprehensif dan totalitas? Ataukah masih berkutat seputar partikel-partikel luaran dan terjebak dalam kerangka simbolis yang sempit? Adakah ia Islam kultural yang diwarisi ataukah Islam substansial?
Pertanyaan-pertanyaan yang demikian menjadi signifikan sebagai refleksi terhadap fenomena sosio-historis keagamaan di Aceh. Bahkan, ia sebenarnya harus mengemuka dalam atmosfer kesadaran kolektif (collective consciousness) sebagai konsekuensi logis dari keistimewaan keberadaan syariat Islam di Bumoe Serambi Makkah. Di tengah usianya yang hampir memasuki dekade yang ketiga, eksistensi syariat Islam sejauh perjalanan tersebut seharusnya telah bergerak secara progresivitas dalam upaya penerapannya secara menyeluruh. Paling tidak, adakah pemegang kuasa atau pun elit pemerintah dalam tahapan awalnya telah berhasil dalam mengedukasi publik secara masif melalui wacana dan narasi berkaitan universalitas syariat Islam?
Dalam konteks tersebut, dibutuhkan konstruksi sosial sehingga dapat memaknai kembali entitas Islam secara lebih luas. Islam tidak hanya sebatas warisan kultural yang diterima sebagaimana adanya, namun senantiasa dalam proses mengkaji, menelusuri dan menggali lagi berbagai nilai-nilai Islam yang masih tertimbun dalam lapisan teks keagamaan. Penulis menyebutnya sebagai fenomena “perkembangan paradigma” yang sesuai dengan falsafah pembaruan “tajdid”. Bukannya konsepsi “pergeseran paradigma” (paradigm shift) ala Kuhnian (Thomas Kuhn) yang cenderung bersifat meruntuhkan (deconstructive) ketimbang memperbaiki (islah) bangunan pemikiran klasik.
Realitanya, permasalahan berkaitan dengan sosial atau lebih tepatnya keamanan sosial (al-amn al-ijtima‘i) tampaknya belum tersentuh dalam narasi penerapan syariat Islam atau pun hanya sebagai wacana pinggiran (marginal discourses). Meminjam istilahnya Yusuf Qardhawi, adanya sebagian tujuan syari’at (maqasid al-syari’ah) yang belum mendapatkan haknya sebagaimana semestinya seperti maqasid berkaitan dengan sosial. Mayoritasnya adalah yang berkaitan dengan dimensi individual tambahnya; seperti menjaga agama, akal, jiwa dan harta. Lalu di manakah kebebasan, kesetaraan dan keadilan? (Yusuf Qardhawi dalam “seminar al-sunan” yang diselenggarakan oleh Ma‘had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami).
Padahal, syariat Islam sangat luas mencakupi berbagai aspek baik itu akidah, ibadah, muamalah, dan baik secara individual maupun sosial. Makanya atas dasar tersebut, Muhammad Tahir ibnu Asyur dalam bukunya “Maqasid Syari’ah al-Islamiyah” kemudian mengembangkan berupa maqasid ammah (universal) dengan memfokuskan pada apa yang disebutnya dengan “menjaga tatanan kehidupan umat” (hifdh nidham al-ummah). Kemaslahatan yang diinginkan oleh syariat ungkapnya bukan hanya kesesuaian dalam berkeyakinan (aqidah) dan dalam melakukan ibadah, namun syariat juga menginginkan kesesuaian kondisi manusia dan urusan-urusan mereka dalam kehidupan sosial (Muhammad Thahir ibnu Asyur, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah 2011; 105).
Manusia dengan “kesadaran kolektif” tentunya sangat tidak aman dan nyaman apabila masih didera oleh polemik lingkungan berupa pencemaran, penebangan hutan liar dan krisis air bersih. Batin sosial tentunya tidak aman dan nyaman jika keadaan penduduknya masih ada yang di bawah garis kemiskinan. Logika publik yang sehat tentunya tidak aman dan nyaman dengan budaya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (ureung droe) dalam ruang-ruang birokrasi yang mencederai prinsip kejujuran, kesetaraan dan keadilan.
Dalam konteks pendidikan misalnya, Adakah mekanisme penyaluran dana pendidikan (scholarship) sudah bersih dan transparan “bersyari’ah?” Ataukah masih terdapat oknum-oknum yang masuk melalui jalur-jalur bawah tanah dan pintu belakang?
Permasalahan-permasalahan seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, lingkungan, dan pembangunan manusia (human development) pada kenyataannya tidak terlepas dari perhatian syariat Islam.
Sejumlah sarjana Islam kontemporer seperti Muhammad Thahir Ibnu Asyur, ‘Alal al-Fasi, Yusuf Qardhawi, Jaser Audah, Jamaluddin Athiyyah, dan Ahmad Raisuni memasukkan berbagai perbahasan tersebut kepada apa yang dikenal dengan maqasid umum (maqasid al-ammah) syariat.
Bahkan, dalam beberapa teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) menyiratkan bahwa keadilan sosial menjadi salah satu aspek fundamental dan substansial dari misi pengutusan para rasul. Bukankah Allah SWT telah berfirman; “Sungguh, kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil” (al-Hadid: 25). Ayat ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Jaser Audah menunjukan bahwa keadilan merupakan tujuan utama (maqsad ra’isiy) dari perkara diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Keadilan, ungkapnya merupakan bagian dari maqasid umum dalam syariah. (Jaser Audah, Baina al-Syari‘ah wa al-Siyasah 2013: 30).
Dengan demikian, keamanan sosial sebagai salah satu pesan substansial dalam spirit “maqasid al-syari’ah” seharusnya juga menjadi skala prioritas dan wacana mendesak dalam formulasi “grand design” syariat Islam di Aceh. Keamanan Sosial dengan keadilan sebagai salah satu pijakan dasarnya merupakan kunci dalam mewujudkan cita-cita kolektif berupa “tatanan kehidupan umat”, atau pun meminjam istilahnya Jamaluddin Athiyyah sebagai apa yang disebut dengan maqasid kebangsaan (maqasid al-ummah) (Jamaluddin Athiyyah, Nahwa Taf‘il Maqasid al-Syari’ah 2003; 148 ).
Melalui perspektif yang lebih menyeluruh, eksistensi syariat Islam membuktikan bahwa selain untuk misi tauhid, Islam juga berperan dalam mengurusi kehidupan manusia yang lebih baik dan berperadaban (madani). Keistimewaan penerapan syariat Islam seharusnya menjadi sebagai sebuah momentum dalam memajukan peradaban, bukan sebaliknya. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.
No comments:
Post a Comment